REPUBLIK
ISLAM IRAN ADALAH NEGARA ISLAM SEDANGKAN ARAB SAUDI ADALAH NEGARA SYSTEM TAGHUT DESPOTIC
INILAH
PERBEDAAN ARAB SAUDI DENGAN IRAN
9 PERBEDAAN
SYARI’AT ISLAM ANTARA KERAJAAN ARAB SAUDI DENGAN REPUBLIK ISLAM IRAN
hsndwsp
Acheh - Sumatra
di
Republik Islam Iran merupakan negara Islam yang mengusung
syariat Islam tinggi-tinggi sebagai dasar negaranya. Tidak ada negara maju dengan syariat Islam kecuali Republik Islam Iran (RII)
Berikut, 9 perbedaan antara Kerajaan Arab Saudi dengan
Republik Islam Iran, ditinjau dari sisi syariat Islam:
Pertama, Kerajaan Arab Saudi bersifat kerajaan yang
mengadopsi sistem pemerintahan jahiliyah yang kalau sekiranya itu baik, tentu
Rasulullah Saww akan melakukannya. Konstitusi
negara Saudi mengacu pada Al-Qur’an dan Assunnah berdasarkan pemahaman Salafush
Saleh yang telah disesuaikan dengan kehendak kerajaan, yang tidak sesuai dengan
kepentingan raja akan direvisi, dihapus atau mengalami adaptasi/pemakluman yang
penting rajanya masih shalat. Keseluruhan pejabat pentingnya termasuk kepala
negara/raja secara mutlak ditetapkan hanya untuk keluarga Su’ud, dan kabilah
lain diharamkan untuk bisa menjadi pejabat apalagi kepala negara.
Republik Islam Iran dalam memilih pemimpin tertinggi
[Rahbar/Wali Faqih] mengadopsi sistem syura yang terdiri dari ulama-ulama besar
yang ahli dan menguasai ilmu keislaman sehingga pemimpin tertinggi diatas
presiden terpilih dari orang-orang yang memang selain ahli Islam juga ahli ilmu
ketatanegaraan [ini pernah dilakukan oleh khalifah Umar bin Khattab untuk
menetapkan khalifah penggantinya], sementara pemilihan Presiden diserahkan
kepada rakyat dengan mengadopsi sistem
demokrasi yang telah disesuaikan dengan nilai-nilai syariat Islam.
Jika Su’ud mendirikan nama negara dengan nama kabilahnya dan
memperuntukkan kedudukan raja dan posisi penting hanya untuk keturunannya tidak
peduli layak atau tidak, Imam Khomeini mendirikan negara dengan nama
al-Jumhuriyah al-Islamiyyah Iran [Republik Islam Iran] dan mewariskan sistem
Wilayatul Faqih yang hanya membolehkan orang-orang yang layak dan kafabel untuk
menjabat kedudukan penting dipemerintahan, darimanapun asalnya.
Jika di Saudi, kedudukan ulama dibawah raja dan tidak
memiliki kedudukan politik dan hanya mengurusi masalah fiqh, fatwa-fatwanya pun
mendapat intervensi dari kerajaan, sementara di Iran posisi ulama diatas
Presiden dan memiliki kewenangan dan
kekuasaan yang lebih besar dari Presiden. Fatwa dan intruksi ulama yang menjadi
wali faqih, wajib dikerjakan presiden.
Kedua, Kerajaan Arab Saudi ketika mendapat ancaman agresi
dari Irak dibawah rezim Saddam Husain, mengemis bantuan keamanan dari Amerika
Serikat, sehingga sampai saat ini ada 5 pangkalan militer AS di wilayah Arab
Saudi yang mendapat legitimasi fatwa mufti Arab Saudi, hubungan diplomatik
antara kedua negara ini juga sangat akrab, dilihat pejabat penting kedua negara
saling mengunjungi. Persenjataan dan
semua kebutuhan militer Arab Saudi disediakan dan dibuat oleh AS, sehingga
tidak satu kalipun kita mendengar Arab Saudi memiliki ilmuan yang ahli membuat
senjata sendiri ataupun menemukan
senjata model mutakhir .
Sedangkan Iran pasca terjadi revolusi Islam, AS justru
diusir dari Iran, perusahaan-perusahaannya dinasionalisasi, aset-asetnya
dibekukan, dan sampai saat ini jangankan pangkalan militer, kedubes AS saja
tidak ada di Iran. Sejak 1979 tidak ada satupun presiden AS yang mengunjungi Iran, hubungan diplomatik
antar kedua negara ini sangat tegang, bahkan saling menebar ancaman. Berbeda
dengan Saudi yang menggantungkan kebutuhan militernya pada AS, Iran memproduksi
sendiri.
Bahkan ilmuan-ilmuan Iran berhasil menguasai tekhnologi
nuklir yang membuat AS khawatir, sehingga merasa perlu mengajak negara-negara
lain untuk mengembargo Iran agar menghentikan pengembangan tekhnologi
nuklirnya. Iran tidak hanya produktif menemukan senjata mutakhir, juga berhasil
membuat satelit secara mandiri tanpa bantuan dari satu negara manapun. Nama
satelitnya Amid, yang artinya harapan.
Ketiga, Kerajaan Arab Saudi mengharamkan orang-orang kafir
menjabat dalam pemerintahannya namun tidak mengharamkan membantu orang-orang
kafir untuk memerangi umat Islam khususnya menjaga eksistensi Israel dan
menjaga kepentingan-kepentingan AS di Timur Tengah. Raja dan pejabat-pejabat
penting Saudi akrab dan menjalin hubungan yang erat dengan tokoh-tokoh penting
dari kalangan orang-orang kafir.
Bahkan dalam operasi penyerangan ke Yaman, Arab Saudi
melakukan konsultasi dan meminta pertimbangan dari sekutunya yang merupakan
negara-negara non muslim. Di Arab Saudi, AS dan Israel dilarang keras untuk
dikecam ditempat-tempat umum, termasuk membakar bendera dan simbol-simbol kedua
negara yang menjadi musuh umat Islam tersebut.
Republik Islam Iran sebagai negara republik yang mengadopsi
sistem demokrasi, maka perwakilan-perwakilan kelompok minoritas mendapat hak
diparlemen, bahkan termasuk Yahudi namun dengan syarat perwakilan-perwakilan
tersebut anti Zionisme dan anti AS. Komunitas Yahudi Iran ketika diminta rezim
Israel untuk bergabung dengan Israel, dengan tegas mereka menolak, bahwa
pendirian negara Israel adalah bid’ah dalam agama Yahudi.
Di Iran, AS dan Israel sebagai musuh umat Islam sering dikecam
dan dilaknat di mimbar-mimbar dan tempat-tempat terbuka oleh para khatib dan
orator. Setiap aksi demonstrasi rakyat
Iran menentang kebijakan luar negeri AS dan Israel, selalu ada aksi pembakaran
bendera dan simbol penting kedua negara tersebut.
Keempat, Arab Saudi melarang pembangunan ibadah orang-orang
kafir, namun memberi izin seluas-luasnya untuk orang-orang kafir menanam
investasi dan mengembangkan bisnisnya di wilayah Arab Saudi. Karenanya jangan
heran, jika mall-mall mewah dan gedung-gedung pencakar langit di kota-kota
besar Arab Saudi dipenuhi oleh produk-produk AS dan Barat, yang tidak jarang
keuntungannya justru untuk menjajah dan memperbudak negara-negara muslim.
Republik Islam Iran sebagai negara yang toleran pada
pengikut agama-agama dunia, tempat-tempat ibadah jelas saja diperbolehkan untuk
didirikan, termasuk masjid yang khusus dikelola umat muslim Sunni, di Tehran
ibu kota Iran terdapat 7 masjid Ahlus
Sunnah ditempat-tempat strategis. Meskipun hampir 100% warga kota Tehran adalah
muslim Syiah. Kedutaan besar
negara-negara sahabat yang Sunni, tetap mendapat izin untuk mendirikan masjid
di areal kedutaan mereka.
Kelima, Arab Saudi membolehkan shalat Jum’at diselenggarakan
disetiap masjid, meskipun masjid tersebut saling berdekatan. Sedangkan Republik
Islam Iran tidak membolehkan shalat Jum’at diselenggarakan di satu kota kecuali
di satu tempat. Sehingga shalat Jum’at di kota-kota besar Iran dihadiri sampai jutaan jama’ah yang meluber sampai kejalan-jalan. Tentu hal
ini membuat hari Jum’at menjadi semakin semarak, dan implementasinya sebagai
hari raya umat Islam bisa benar-benar dirasakan, terlebih lagi, jamaah jum’at
juga diikuti oleh kaum muslimah Iran.
Keenam, Arab Saudi mengharamkan nikah mut’ah namun sesuai
fatwa mufti kerajaan Syaikh bin Baz nikah misyar diperbolehkan. Nikah misyar
adalah nikah dengan niat cerai yang memang pernikahan tersebut diniatkan tidak
akan berlangsung dalam tempo yang lama. Dengan kebolehan ini, turis-turis Arab
ketika berwisata ke Indonesia tidak jarang dari mereka sembari menikah dengan
warga setempat, dengan niat jika masa liburan telah habis, maka akan
menceraikan istri yang dinikahinya di Indonesia. Era Muslim pernah menulis,
Indonesia dimata turis Arab adalah obyek wisata seks. Sementara Iran
membolehkan nikah mut’ah dengan ketentuan-ketentuan yang ketat dan diatur UU
karena itu yang mempraktikkannya secara resmi sangat jarang, sementara nikah
misyar diharamkan di Iran karena memang tidak ada tuntunannya dalam syariat.
Di Saudi praktik poligami sangat membudaya dan familiar,
terutama dari kalangan keluarga kerajaan dan ulama-ulama, sementara di Iran
poligami sangat sedikit dipraktikkan. Perempuan-perempuan di Iran mendapatkan
hak politik, bahkan menduduki jabatan penting pemerintahan, seperti menteri,
wapres dan juru bicara kepresidenan. Sementara di Saudi, jangankan menjabat
kedudukan politik, perempuan tidak memiliki hak suara politik sama sekali,
bahkan sekedar menyetir mobil pun aturan kerajaan menyebutkan, haram bagi
perempuan untuk melakukannya.
Ketujuh, Arab Saudi menghancurkan patung-patung dan
tempat-tempat yang dikeramatkan termasuk
peninggalan-peninggalan situs Islam yang berharga: pemakaman baqi yang
diratakan dengan tanah, rumah istri Nabi Sayyidah Khadijah dihancurkan kemudian
diatasnya dibangun WC umum, sementara gedung-gedung pencakar langit,
hotel-hotel dan tempat perbelanjaan yang super mewah dibiarkan menjamur, bahkan
disisi Ka’bah dibangun menara jam super tinggi dengan simbol tanduk syaitan
dipuncaknya.
Sementara di Iran kuburan-kuburan dijaga dan dilestarikan.
Kuburan ulama-ulama dan pahlawan-pahlawan nasional serta tokoh-tokoh Iran tempo
dulu dibangun megah dan asri sehingga
menjadi tempat wisata dan ziarah bagi orang-orang Iran. Tujuannya, selain untuk
mengingatkan akan kematian, meski dalam keadaan sedang bersantai dan berlibur,
juga untuk merawat ingatan akan masa lalu, bahwa kebesaran dan kemenangan hari
ini, berkat perjuangan dan pengorbanan orang-orang terdaulu.
Kedelapan, Ketika rezim Israel memborbardir Gaza dan
Palestina, ulama-ulama dan pejabat penting Iran sontak mengecam dan mengutuk
agresi tersebut, bahkan sampai saat ini, tema-tema khutbah dan ceramah
ulama-ulama besar Iran melulu seputar dukungan moralitas rakyat Iran akan
perjuangan rakyat Palestina untuk mencapai kemerdekaannya. Iran membantu
persenjataan Hizbullah dan HAMAS dalam kontak senjata dengan militer Israel.
Sementara ulama-ulama Arab Saudi bungkam saja dengan agresi
militer Zionis yang membantai umat Islam di Gaza, bahkan sebaliknya ketika
Hizbullah yang berperang dengan Zionis mereka gelari Hizbusysyaitan dan
mengharamkan untuk membantu dan mendukung Hizbullah, karena Hizbullah bermazhab
Syiah. Jika Iran mendukung HAMAS yang menuntut kemerdekaan Palestina dan
menolak keberadaan Israel, Saudi mendukung PLO yang menerima kedaulatan Israel.
Ke Sembilan
Ketika Syiah Houthi berhasil menduduki Yaman, dan mengusir
presiden Mansour Hadi yang didukung Arab Saudi melalui gerakan rakyat yang
didukung semua elemen rakyat Yaman, Arab Saudi mengerahkan 150 jet tempur untuk menyerang Yaman yang
dibantu oleh 10 negara bahkan termasuk AS dan jet tempur Israel.
Sementara Iran hanya membantu Syiah Houthi dalam bentuk
dukungan moral, karena yakin, tanpa perlu turut campur langsung dalam konflik,
rakyat Yaman adalah pejuang tangguh yang mampu
mengatasi kesulitannya sendiri, sebagaimana rakyat Iran diawal
revolusinya yang diserang Irak yang didukung negara-negara Arab, Barat, AS dan
Israel, tanpa perlu mengemis bantuan dari negara lain, kecuali bergantung kepad
Allah Swt. Saudi?.
Diancam akan diserang oleh Saddam Husain dan khawatir akan
perkembangan Iran, buru-buru bersembunyi dibalik ketiak AS, meskipun harus
menjadi negara boneka yang bekerja untuk kepentingan Amerika Serikat di Timur
Tengah.
https://syiahali.wordpress.com/2015/06/21/inilah-perbedaan-arab-saudi-dengan-iran-9-perbedaan-syariat-islam-antara-kerajaan-arab-saudi-dengan-republik-islam-iran/
https://www.youtube.com/watch?v=epZJ-QCjKmA
https://www.youtube.com/watch?v=fCxbpBzlaYw
https://www.youtube.com/watch?v=QD_6JO1D4VQ
https://www.youtube.com/watch?v=r-nHSrhuQgs
https://www.youtube.com/watch?v=P8x4C1jvRTs
https://www.youtube.com/watch?v=nE-7inwOc5Y
Billahi fi sabililhaq
hsndwsp
Acheh Sumatra
di
Ujung Dunia