Kamis, 31 Januari 2019

INNAD DIINA 'INDALLAHIL ISLAM (QS, ALI IMRAN AYAT 19)

  




SEJAK DARI NABI ADAM SAMPAI DENGAN NABI

 MUHAMMAD HANYA SATU AGAMA YAITU ISLAM.

 DISEBABKAN SENANTIASA DIPELINTIR OLEH 
MANUSIA

 KUTUB QABIL ALLAH MENGUTUS RASUL-RASULNYA

 SILIH BERGANTI

hsndwsp

Acheh - Sumatra

di

Ujung Dunia



Bismillaahirrahmaanirrahiim
Ketika saya menulis tentang kebenaran Jokowi dan Ahok, banyak komen yang perlu saya respon balik. Diantaranya kata mereka wajar calon isteri Ahok memilih jadi Kristen/Nasrani dengan alasan mereka bahwa Kristen/Nasrani lebih baik dari Muslim. Allah berfirman: " ’innad Diina ‘indallahil Islam" (QS, Ali Imran 19). Yang artinya "Sesungguhnya agama disisi Allah hanyalah Islam". Di ayat yang lain Allah berfirman: "Barang siapa mencari agama selain Islam, tidak akan diterima" (QS, Ali Imran 85). Islam adalah agama yang hanya satu-satunya disisi Allah melalui para RasulNya sejak dari nabi Adam hingga nabi Muhammad saww sebagai penutup semua nabi. Adapun Muslim adalah pemeluk Islam dimana kalau ada pengikut non Moslem yang lebih unggul dari Muslim, berarti itu bukan Muslim benaran tetapi Muslim KTP. Persoalannya mereka yang keliru memahaminya berarti belum menemukan "kata kunci". Artinya mereka hanya membandingkan antara Kristen/Nasrani Jimmi dengan Muslim KTP, bukan dengan Muslim benaran/Muslim origine.

Sebagaimana orang Kriten/Nasrani banyak versinya, Muslim juga demikian. Andaikata saya diminta untuk memilih antara Ahok dan Anies Baswedan, saya dapat dipastikan akan memilih Ahok. Realitanya Anies mengaku Muslim tetapi dia tidak memimpin secara Islami sementara Ahok mengaku Kristen/Nasrani tetapi ketika dia memimpin di Belitung dan Jakarta, dia memimpinnya secara Islami, sebagaimana Jokowi memimpin Indonesia. Realitanya Jokowi dan Ahok adalah representant buat Indonesia yang didambakan mayoritas Rakyat Indonesia, sungguhpun dibenci oleh kaum yang radikal, rasis dan arogan.

Perlu digarisbawahi bahwa namun demikian Jokowi dan Ahok masih belum apa- apa jika dibandingkan dengan Mahmoud Ahmadinejad, dimana sungguhpun Jokowi dan Ahok bersih dari praktek korupsi, keduanya masih dalam kondisi kaya dan masih menerima gaji dari kerjanya sebagai Presiden dan Gubernur, sementara Ahmadinejad bukan orang kaya dan juga bukan orang miskin, hanya sekedar berkecukupan. Tetapi hanya Ahmadinejadlah yang mampu meneladani Rasulullah saww, tidak mau menerima gajinya sebagai presiden RII. Sementara rumahnya hanya rumah warisan orangtuanya di kawasan kumuh saat itu, dimana hanya memiliki 2 buah kamar. Saat Ahmadinejad menjadi Presiden, diingatkan para mentrinya agar tidak memperkaya diri dengan jabatan yang dimilikinya:

https://achehkarbala.blogspot.com/2017/04/mahmoud-ahmadinejad-adalah-prototype_27.html

Perlu juga digarisbawahi bahwa betapapun Jokowi dan Ahok adalah representant buat contoh kepemimpinan di Indonesia, semoga Jokowi tetap memimpin Indo nesia kedua kalinya agar membuahkan pemimpin-pemimpin yang representant lainnya dimasa yang akan datang. Betapa ruginya kalau oposisi Jokowi dan Ahok tidak jujur dalam pemilu 2019 ini, hingga posisi Jokowi dan Ahok digeser para oposisi secara zalim. Pengalaman kita di Timur Tengah saja yang paska Revolusi Rakyat, tidak adil dalam pemilihan hingga pemimpin yang didukung Rakyat mayoritas tergeser secara zalim. Secara umum setiap pemilihan di dalam negara yang penduduknya mayoritas Muslim, namun mereka diperintahkan dalam system Thaghut, pemilihan senantiasa tidak adil. Mereka tidak meneladani Rasulullah, Para Imam dan Ulama warasatul Ambya. Panutan mereka adalah Muawiyah bin Abi Sofyan, Yazid bin Muawiyah dan ulama palsu alias Bal'am dalam beragama dan bernegara. Itulah sebabnya kaum mustadhafin senantiasa hidup menderita di dalam negara kaum Muslimin yang bersystem Taghut. Kita bisa melihat realitanya di Timur Tengah dan Indonesia saat dikuasai kaum Qabil (baca sejak Suharto sampai dengan Yudhoyono) dimana kaum Mustadhafin hidup menderita akibat persekongkolan "Fir'un, Karun, Hamman dan Bal'am".

Dari itu kita himbau seluruh rakyat Indonesia agar sadar bahwa kendatipun kita mengaku beriman kepada Allah dan hari Kemudian, kita sesungguhnya belum beriman selagi hak kaum mustadhafin kita abaikan, kita tidak memihak mereka tetapi kita terlanjur "jatuh hati" kepada "pemimpin" yang curang dan korrupt alias manu sia-manusia kutub Qabil.

Terakhir kita tidak boleh lupa bahwa Ahok adalah Non Moslem yang bukan saja baik hubungannya demngan kaum Muslimin tetapi juga memberdayakan kaum Muslimin dan non Muslim saat berkuasa, membangun fasilitas-fasilitas Islam seperti Mesjid-mesjid. Justeru itu keliru 180 derajad para Alim Indonesia yang mengira Ahok masuk fenomena Almaidah 51 (Nasrani Harbi) tetapi Ahok termasuk dalam fenomena Al Maidah 82 (Nasrani Zimmi). Di ayat 82 tersebut Allah tidak mengatakan benarnya agama Nasrani/Kristen tetapi Allah hanya menginfokan kita kaum Muslimin bahwa mereka adalah kaum yang baik hubungannya dengan kita dan tidak menyombongkan diri. Mayoritas non Moslem Zimmi/Jimmi ada di Rusia, China dan benua Amerika Latin (baca negara-negara tersebut dianggap sebagai "halaman belakang" oleh AS namun mereka menjadikan diri mereka sendiri sebagai "halaman samping" bagi Republik Islam Iran, Rusia dan China).
Prediksi saya:

Kembali masalah Ahok. Kabarnya Ahok tamat membaca Qur-an saat dipenjara. Lalu apa hasilnya, kenapa dia tidak menemukan kebenaran hingga masuk Islam kalau memang sudah tamat membacanya? Apanya yang salah? Qur-an itu bukan hanya untuk dibaca doang tetapi sedikitpun tidak bermanfaat kalau tidak dipahami maksud Allah yang sebenarnya. Dari permulaannya Allah telah menginfokan kita bahwa Kitab Al Qur-an itu tidak ada keraguan sedikitpun padanya, adalah sebagai PETUNJUK bagi orang-orang yang taqwa (Hudallinnas). Kalau hanya sekedar membaca telusurilah surah Jum’at ayat 5 s/d ayat 8), dimana Allah menginfokan kita bahwa perumpamaan kaum Yahudi yang dipikulkan kitab Taurah tetapi mereka tidak memikulnya, adalah seperti Keledai yang membawa kitab kitab tebal di padang pasir. Kendatipun kitab-kitab tersebut berhimpitan dengan punggung keledai namun sang keledai tidak pernah mengerti apa yang terkandung dalam kitab-kitab tersebut. Dalam ayat tersebut Allah telah mengkeledaikan orang-orang Yahudi, sayangnya kini geleran kita dikeledaikan Yahudi. Artinya apa bedanya Yahudi yang diumpamakan Allah dalam surah Jum’at tersebut dengan kita kaum Muslimin, dimana kita memang semuanya punya kitab Qur-an masing-masing dirumah tetapi kita tidak "memikulnya" kecuali sekedar membaca-baca saja macam aplikasi Ahok di penjara, hingga mustahil dapat Hidayah Allah swt. Andaikata di rumah kita ada Qur-.an terjemahan, itupun tidak kita baca secara teliti kecuali sekedar baca saja. Logikanya bahwa Qur-an itu berbahasa Arab tetapi mengapa umumnya orang Arab keliru dalam beragama? Kenapa Kerajaan Arab as Saud kena "kutukan Allah" akibat melanggar surah Al Maidah ayat 51? Kenapa kita saat berbicara Arab as Saud tidak mampu memahami hanya gara-gara "Tanah Suci" itu dikuasai mereka yang beraliansi dengan Zionis tetapi menzalimi bangsa Palestina? Kenapa RII yang mati-matian membela Palestina, Al Qud dan Gaza tetapi kita mampu dikecoh oleh fitnah Arab as Saud?

Kesimpulannya kekeliruan para Alim palsulah, dimana-mana hampir diseluruh dunia makanya kita kaum Muslimin dan non Muslim gagal memahami Islam yang sebenarnya. Kita hanya mengaku Allah dan Rasulnya tetapi orang yang ditunjuk Allah dan RasulNya tidak kita ta’ati, tetapi malah kita benci. Sebaliknya kita bersatupadu dengan orang-orang yang beraliansi dalam surah al Maidah 51. Kita terlalu banyak ilmu tetapi sebenarnya kita adalah: "NOL NOL YANG MENGANGA":

https://achehkarbala.blogspot.com/2016/10/puisi-philosofis-4.
html?fbclid=IwAR2JOJ9-hp7UunTpT0kXw7RSqeVHuYbX6rArVH-uZfotCgWiOK3BbzNy854
https://achehkarbala.blogspot.com/2016/10/puisi-philosofis-4.
html?fbclid=IwAR2JOJ9-hp7UunTpT0kXw7RSqeVHuYbX6rArVH-uZfotCgWiOK3BbzNy854

Billahi fisabililhaq
hsndwsp
Di Ujung Dunia

Kamis, 17 Januari 2019

ANTARA HABLUM MINALLAH DAN HABLUM MINANNAS








PENGUASA DESPOTIC, PARA POLITIKUS JAHAT
PARA KORUPTOR ALIAS PENCURI BERDASI DAN PARA
BAL’AM/ULAMA PALSU
MAU LARI KEMANA KELAK?,
BERTAUBATLAH SEBELUM TERLAMBAT
hsndwsp
Di
Ujung Dunia



Secara sederhana boleh disimpulkan bahwa urusan ibadah adalah urusan antara seorang hamba dan Tuhannya – hablum minallah, sedangkan urusan mu’amalah adalah urusan antara hamba dan hamba Allah yang lain -- hablum minannas. Yang pertama disebut juga urusan ritual, yang kedua disebut juga urusan sosial. Selanjutnya mari kita buat perbandingan kedua urusan ini dalam keseluruhan ajaran Islam.'

Islam ternyata adalah agama yang menekankan urusan muamalah lebih besar dari urusan ibadah. Islam ternyata lebih banyak memperhatikan aspek kehidupan sosial daripada aspek kehidupan ritual. Islam adalah agama yang menjadikan seluruh bumi ini sebagai Mesjid, tempat mengabdi kepada Allah. Muamalah jauh lebih luas daripada ibadah (sekali lagi, dalam arti khusus)

Beberapa alasannya ialah:
Pertama, dalam Qur-an atau kitab-kitab Hadist proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah. Menurut Imam Khomaini, dalam kitab al Hukumah al Islamiyah, perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan social adalah satu berbanding serratus. Untuk satu ayat ibadah ada seratus ayat mu ’amalah. Tanda-tanda orang beriman terdapat dalam surat al Mu’minun (23: 1-9): Orang beriman itu ialah orang yang khusyuk’ dalam shalatnya (ibadah), menghindarkan diri dari perbuatan yang tidak bermanfaat (mu’a malah), menjaga amanah dan janjinya (muamalah), dan me melihara shalatnya (ibadah). Dari sekian tanda-tanda orang beriman hanya dua yang menyangkut ‘ubudiah.

Dan terdapat juga tanda-tanda orang taqwa dalam surah Ali Imran (3:133-135): Infaq dalam suka dan duka (muamalah), menahan amarah (mu’a malah), mema afkan manusia (muamalah), berbuat baik (muamalah dan ibadah), zikir (ibadah), bila berbuat dosa, menganianya atau menganianya dirinya (muamalah dan iba dah) serta meminta maaf atas dosa-dosanya (ibadah).

Didalam buku-buku Hadist, bab ibadah hanya merupakan bahagian kecil dari seluruh hadist, termasuk dalam kitab hadist manapun, baik sunni maupun syi’i.

Tetapi anehnya dewasa ini ummat Islam lebih memperhatikan urusan ibadah da ripada urusan muamalah. Kadang-kadang perbedaan kecil dalam iba dah dibe sar-besarkan sehingga mempertajam perpecahan ummat Islam. Cara beribadah berdasarkan fiq tertentu dijadikan "merek dagang" golongan. Yang berbeda baca an ruku’nya saja dipandang sebagai bukan sau dara. Di Afganistan – konon – per nah seolang mushalli dipukul telunjuknya sampai patah, hanya disebabkan meng gerak-gerakkan telunjuknya pada waktu tasyahud. Di Indonesia, di beberapa kam pung shalat Jum’at dipisah kan, dan masjid baru dibuat berdam pingan dengan mesjid lama, hanya disebabkan perbedaan azan Jum’at. Kita sering berlama-lama membicara kan urusan ‘ubudiah dan melupakan mu’amalah. Sehingga ada pe ngajian yang bertahun-tahun hanya membahas urusan ibadah – dari istinja’ sam pai haid dan nifas, dari takbiratul ihram sampai do’a qunut.

Bila kita perhatikan al Qur-an dan Hadist, sepatutnya kita lebih banyak mem bicarakan mu’amalah ketimbang ibadah. Akibatnya kita seperti dikatakan Syaikh al Ghazali dan Sayid Qutub, kita bertengkar dalam urusan ibadah, sementara satu-demi satu bidang kehidupan diambil oleh musuh-musuh Islam. Kita ribut tentang bid’ah dalam shalat dan shaum, tetapi dengan tenang melakukan bid’ah dalam urusan ekonomi dan urusan politik.

Kedua, alasan lain lebih ditekankannya mu’amalah dalam Islam ialah adanya ke nyataan bahwa bila urusanibadah bersamaan waktunya dengan urusan mu’a malah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan).

Ada sebuah Hadist dalam kitab Bukhri dan Muslim, dari Anas bin Malik, Rasulullah saww berkata: “Aku sedang shalat dan aku ingin memanjangkannya, tetapi aku mendengar tangisan bayi. Aku pendekkan shalatku, sebab aku maklum akan kece masan ibunya akibat tangisan itu”. Begitulah Nabi memendekkan shalatnya dise babkan memikirkan kecemasan seorang ibu. Dalam Hadist lain Rasulullah mengi ngatkan imam shalat supaya memendek kan shalatnya, bila di tengah jamaah ada yang sakit, orang lemah, orang tua, atau orang yang mempunyai keperluan.

Siti Aisyah berkata: “Rasulullah shalat di rumah, dan pintu terkunci. Lalu aku datang minta dibuka pintunya, Rasulullah saww berjalan membuka pintu, kemudian kembali ke tempat shalatnya”.

Ini semua membuktikan Islam itu mengutamakan aspek-aspek sosial atau muama lah diatas ibadah (hablum minallah).

Masih banyak contohnya, kita kemukakan satu lagi. Suatu hari setelah ‘asar, Ibnu Abbas berkhotbah, matahari sudah tenggelam, bintang-gemintang mu lai muncul, Ibnu Abbas masih juga berkhutbah. Orang-orang berteriak, "As Shalah!, as Shalah". Ibnu Abbas terus saja berkhutbah. Seorang lelaki dari Bani Tamim mendekati Ibnu Abbas, “Shalah-shalah”. Dengan kesal Ibnu Abbas berkata: “Kamukah yang me ngajarkan kepadaku Sunnah natau aku kah yang mengajarkan kepadamu”. (Mak sudnya siapakah yang lebih mengetahui Sunnah Rasul daripada Ibnu Abbas. Bukankah Rasulullah mendoakan supaya Ibnu Abbas difakihkan dalam urusan aga ma.

“Aku pernah melihat Rasulullah saww menjamak zuhur dengan asar, maghrib dengan ‘isya. “Saya menduga Rasulullah melakukannya dalam suatu urusan kemasyaraka tan yang penting, sebagaimana Ibnu Abbas menangguhkan shalat magrib untuk menyelesai kan khutbahnya. Yang meriwayatkan hadist ini Abdullah bin Syafiq merasa heran. “Hatiku tidak enak,” kata Abdullah, lalu aku mendatangi Abu Hurai rah; aku tanyai dia tentang hal itu, dan Abu hurairah menganggap benar ucapan Ibnu Abbas,”. (Riwayatkan Bukhari, Muslim, Malik dan Ahmad).

Ketiga ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberikan ganjaran yang lebih besar daripada ibadah yang bersifat perorangan. Justeru itu, shalat jama’ah lebih tinggi nilainya munfarid (sendirian) dua puluh tujuh derajad menurut riwayat-riwayat yang sahih dalam Bukhari, Muslim dan ahli hadist yang lain. Dalam riwayat Ahmad, Abu Daud, an Nasai, Ibnu Majah dari Ubai bin Ka’ab, Rasulullah berkata:

“Shalat seorang lelaki dengan orang lain lagi lebih suci daripada shalatnya sendiria; shalatnya dengan dua orang lain lebih suci dari shalatnya dengan seorang lain; makin Banyak teman shalat makin dicintai Allah Azza wa Jalla.”

Shalat jama’ah, Shalat Jum’at, ibadah Haji, karena melibatkan segi sosial, menda patkan perhatian perhatian besar dari ajaran Islam. Ibadah-ibadah itu tidak hanya ritual.

Keempat, bila uirusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau bathal, disebab kan melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya(tebusannya) ialah me lakukan se suatu yang berhubungan dengan mu’amalah. Bila shaum tidak mampu dilaku kan, maka fidyah – makanan bagi orang miskin – harus diba yarkan. Bila suami isteri ber campur siang hari di bulan Ramadhan – atau ketika dalam keadaan haidh – tebu sannya adalah memberi makan kepada orang miskin. Dalam hadist qudsi, salah satu tanda orang-orang yang diteri ma shalatnya ialah menyantuni orang - orang lemah, menyayangi miskin, anak yatim, janda, dan yang mendapat musibah. (Say yid Sabiq, Islamuna, Beirut; Dar Al Kutub al ‘Arabi, tanpa tahun, hal, 119)

Sebaliknya bila orang tidak baik dalam urusan mu’amalah, urusan ibadah tidak dapat menutupinya. Yang merampas hak orang lain tidak dapat menghapus dosa nya dengan shalat tahajjud. Yang berbuat zalim tidak hi lang dosanya dengan membaca zikir walau seribu kali, bahkan, dari bebera pa keterangan, kita menda pat kesan bahwa ibadah ritual tidak diterima Allah, bila pelakunya melanggar norma.-norma muamalah. “Ditanyakan ke pada  Rasulullah saww bahwa seorang wanita shaum di siang hari, dan ber diri shalat di malam hari, tetapi ia menyakiti tetangganya. Rasulullah saww menjawab: “Perempuan itu di Neraka”

Disini nampak betapa shalat dan shaum menjadi tidak berarti disebabkan pelaku nya merusak hubungan baik dengan tetangganya. Dalam hadist-hadist lain, orang -orang yang tidak baik dengan tetangganya, yang memu tuskan silaturrahim, yang merampas hak orang lain, bukan saja tidak diterima ibadahnya, bahkan tidak ter masuk orang yang beriman. Nabi berkata:

 “Tidak beriman kepadaku orang yang tidur kenyang, sementa ra tetangga nya kelaparan”.

“Tidak masuk Surga orang yang memutuskan silaturrahmi”
“Tidak masuk surga orang yang dalam hatinya ada perasaan takabur, walau sebesar debu”.

Dalam al Qur-an orang-orang yang shalat akan celaka, apabila menghardik anak yatim, tidak memberi makan orang-orang miskin, riya dalam amal, dan tidak mau memberi pertolongan (QS, al Ma’un)

Dalam hadist lain diriwayatkan tentang orang muflis (orang bangkrut) pada hari kiamat, yang kehilangan seluruh ganjaran shalat, shaum dan hajinya, disebabkan merampas hak orang lain, menuduh orang yang tidak bersalah, atau menyakiti hamba Allah.

Kelima, melakukan amal baik dalam bidang kemasyarakatan, mendapat ganjaran yang lebih besar daripada ibadah sunnah, sebagaimana disebut kan dalam hadist-hadist berikut:

"Orang yang bekerja keras  untuk menyantuni janda dan orang-orang miskin ada lah seperti pejuang di jalan Allah (atau ku kira beliau berkata) dan orang yang terus-menerus shalat malam dan terus menerus melakukan shaum"

"Maukah kamu kuberitahukan derajat apa yang lebih utama daripada shalat, shi yam dan sadaqah (shahabat menjawab: Tentu, ya Rasulullah). Yaitu mendamai kan dua pihak yang bertengkar" (Riwayat Abu Daud, at Turmuzi dan Ibnu Hibban)

"Berfikir satu saat adalah lebih baik daripada  bangun shalat satu malam" (Riwayat Ibnu Hibban)

"Mencari ilmu satu saat adalah lebih baik daripada shalat satu malam dan mencari ilmu satu hari adalah lebih baik daripada shaum 3 bulan" (Riwayat ad Dailami)

“Barang siapa bangaun diwaktu pagi dan berniat mnenolong orang yang ter anianya dan memenuhi keperluan orang, baginya ganjaran seperti haji mab rur. Hamba yang paling dicintai Allah ialah yang paling bermanfaat bagi ma nusia, dan amal yang paling utama ialah memasukkan rasa baha gia pada hati orang yang beriman – menutup rasa lapar, membebaskan dari kesulitan, atau membayar kan hutang”(Riwayat Ibnu Hajar al Asqalani,dalam Nashaih al ‘Ibad, Bandung; al Ma’arif tanpa tahun, hal 4)

Hadist-hadist diatas menunjukkan bahwa amal-amal baik dalam muamalah (iba dah sosial), seperti menyantuni kaum dhuafa, mendamaikan pihak yang berteng kar, berfikir, mencari ilmu dan meringankan penderitaan orang lain, adalah lebih besar ganjarannya daripada ibadah-ibadah sunnah.

Bila saya menunjukkan bahwa muamalah itu penting, saya sama sekali tidak memandang enteng shalat, shaum, haji dan ibadah-ibadah ritual/mahdhah lain nya. Saya hanya ingin menempatkan muamalah pada proporsi yang tepat dalam ajaran Islam. Saya hanya ingin mengingatkan bahwa kita tidak boleh merasa puas menjadi muslim hanya karena kita telah shalat, shaum, zakat dan haji. Diluar itu mas alah muamalah masih terbentang luas.

Sebagai akhir pembicaraan ini saya paparkan sekelumit kehidupan Ibdu ‘Abbas: Suatu hari Ibnu Abbas i’tikaf di mesjid  Rasulukllah saww. Kemudian masuk seorang lelaki mengucapkan salam dan duduk. Ibnu Abbas berkata: “Hai fulan, aku lihat engkau sedih sekali“ . Orang itu menjawab: “Benar wahai putra paman Rasulullah. Aku harus memenuhi hak si fulan (mungkin hutang) yang demi pemilik kubur ini (ya’ni Rasulullah saww)—aku tidak sanggup membayarnya”. “Bagaimana kalau aku bantu engkau berbicara kepada nya?” Ia berkata: “Silakan kalau anda mau melakukannya”. Lalu  Ibnu Abbas membantu melepaskan kesulitan sahabatnya. Sahabatnya berkata, “Anda lupa akan  ‘Itikaf  yang anda lakukan”. Ibnu Abbas menya hut: “Tidak” Tetapi aku mendengar penghuni qubur ini berkata (kelihatan Ib nu Abbas berlinang air mata): “Barang siapa berjalan memenuhi keperluan sau daranya, dan menyampaikan keinginannya, itu lebih baik daripada i’tikaf sepuluh tahun. Dan barangsiapa i’tikaf satu hari, untuk mencari redha Allah, Allah jadikan penghalang antara ia dan Neraka tiga khandaq, yang jauhnya lebih jarak dari bumi dan langit”. (Riwayat Muhammad Yusuf al Kandahlawi, Hayah ash Shaha bah, Beirut: Dar al-Fikr, 1981, hal. 2:540)

Secara keseluruhan, peranan Muslim sebagai anggota masyarakat, dipadat kan dalam ucapan Imam Ali Zainal Abidin, cucu Rasulullah saww:

“Hak saudaramu seagama ialah memelihara keselamatan dan kasih-sayang mereka, menyayangi orang yang jeklek diantara mereka, berlakju lemah-lem but kepada mereka dan berusaha memperbaiki mereka, berterimakasih ke pada mereka yang berbuat baik, menahan diri untuk tidak menyakiti mere ka, mencintai untuk mereka apa apa yang engkau cinta untuk dirimu, membenci pada mereka apa yang kau benci pada dirimu, jadikanlah yang tua seperti bapakmu, yang muda seperti saudaramu, wanita tua sebagai ibumu dan anak-anak kecil seperti anakmu”


“Dipaparkan di medan Internet oleh Angku di Tampokdjok Awegeutah, Acheh – Sumatra, agar manusia yang sadar, dapat memperbaiki kesalahan nya”


Billahi fi sabililhaq
     hsndwsp
          di


   Ujung Dunia









In English:


ANTARA HABLUM MINALLAH DAN HABLUM MINAN NAS











  
DESPOTIC AUTHORITY, EVIL POLITICS PASSENGERS AND PARA CORRUPTORS BAL'AM / FAKE ULAMA. WHERE DO YOU WANT TO RUN.
Repent before it is too late

hsndwsp
at the end of the world




Simply it can be concluded that the business of worship is a business between a servant and his God - hablum minallah, while mu'amalah affairs is the business between servants and other servants of God - hablum minannas. The first is also called ritual affairs, the second is also called social affairs. Next let us make a comparison of these two matters in the whole teaching of Islam. '


Islam turns out to be a religion that emphasizes muamalah affairs greater than matters of worship. Islam is more concerned with aspects of social life than the aspect of ritual life. Islam is the religion that makes the whole earth a Mosque, a place of service to God. Muamalah much broader than worship (again, in a special sense)


Some of the reasons are:


First, in the Qur'an or Hadist books the greatest proportion of the two sources of Islamic law concerns muamalah affairs. According to Imam Khomaini, in the book al Hukumah al Islamiyah, the comparison between the verses of worship and the verses concerning social life is one versus the serratus. For one verse of worship there are a hundred verses of mu 'amalah. The signs of the faithful are contained in the epistle of the Mu'minun (23: 1-9): The believer is a solemn person 'in his prayer (worship), avoids unnecessary deeds (mu'a instead), maintains trust and his promise (muamalah), and me keep the prayer (worship). Of the few signs of the faithful only two are concerned with 'ubudiah.


And there are also signs of the taqwa in surah Ali Imran (3: 133-135): Infaq in joy and sorrow (muamalah), restraining anger (mu'a instead), mema afkan man (muamalah), do good (muamalah and worship), dhikr (worship), when sins, threatens or abuses him (muamalah and compassionate dah) and apologizes for his sins (worship).


In the books of Hadith, the chapters of worship are only a small part of all the hadith, including in any Hadith book, both sunni and syi'i.


But strangely nowadays Muslims pay more attention to matters of worship and ritual muamalah affairs. Sometimes small differences in compassion have been greatly sharpened to sharpen the divisions of the Muslims. Ways of worship based on a particular fiq are made "trademarks" of classes. Different read ruku'nya just seen as not sau dara. In Afghanistan - supposedly - ever a person mushalli beaten his finger until broken, just caused to move his finger at the time tasyahud. In Indonesia, in some kam pung shalat Jum'at separated right, and the new mosque is made with the old mosque, only due to the difference of Friday prayer. We often linger to talk about the business of 'ubudiah and forget about mu'amalah. So there are peasants who for years only discuss the affairs of worship - from the wife 's menstruation and postpartum, from takbiratul ihram to do'a qunut.


When we consider the Qur'an and the Hadith, it is fitting that we should talk more about mu'am'ah instead of worship. As a result we are as Shaykh al-Ghazali and Sayid Qutub, we quarrel in matters of worship, while one by one the sphere of life is taken by the enemies of Islam. We fuss about heresy in prayer and shaum, but calmly bid'ah in economic affairs and political affairs.


Secondly, another reason he emphasizes mu'amalah in Islam is the fact that if the matter together with the time mu'a malah affairs are important, then worship can be shortened or suspended (certainly not abandoned).


There is a Hadith in the book of Bukhri and Muslim, from Anas bin Malik, Rasulullah saww said: "I am praying and I want to extend it, but I hear the cry of a baby. I shortened my prayer, because I know his mother's discomfort due to the crying ". That is how the Prophet shortened his prayers as he thought of the anxiety of a mother. In another Hadith the Prophet urged the prayer imam to shorten his prayers, if in the middle of the congregation there are sick, weak people, parents, or people who have the need.


Siti Aisyah said: "The Messenger of Allah prayed at home, and the door was locked. Then I came to open the door, Rasulullah saww walking open the door, then returned to his prayer ".


Third worship that contains the aspect of society is given a greater reward than individual worship. In fact, the jama'ah prayer is worth more than twenty-seven degrees according to the valid narrations in Bukhari, Muslim and other hadith scholars. In Ahmad's report, Abu Daud, an Nasai, Ibn Majah of Ubai bin Ka'ab, the Messenger of Allah said:


This all proves that Islam prioritizes social aspects or muama is over worship (hablum minallah).


There are still many examples, we mention one more. One day after the 'asar, Ibn Abbas preaches, the sun is drowning, the stars are coming, Ibn Abbas still preaches. People shouted, "As Shalah !, as Salalah". Ibn Abbas continued to preach. A man from Bani Tamim approached Ibn Abbas, "Salalah-shalah". With annoyed Ibn Abbas blessingsaid: "Are you the one who taught me the Sunnah or I have taught you". (Who wants to know the Sunnah


of the Prophet more than Ibn Abbas, does not the Prophet pray for Ibn Abbas to be forgiven in the affairs of the religius.

"I've seen Rasulullah saww menjamak zuhur with asar, maghrib with 'isya. "I suspect the Messenger of Allah did so in an important social affair, as Ibn Abbas suspended the evening prayer to finish his khutbah. It is narrated that this hadith by Abdullah bin Syafiq is astonished. "My heart is not good," said Abdullah, then I went to Abu Hurai rah; I questioned him about it, and Abu Hurairah considered the words of Ibn Abbas, ". (Narrated Bukhari, Muslim, Malik and Ahmad).

Here it appears that prayer and shaum become meaningless because the perpetrator damages his good relationship with his neighbor. In other hadiths, those who are not good with their neighbors, who keep silaturrahim, seizing the rights of others, are not only unacceptable to the worship, not even the believers. The Prophet said:

"Prayer of a man with another man is more holy than his own prayer; his prayer with two others is more holy than his prayer with another; more and more friends pray more beloved Allah Azza wa Jalla. "

Prayers jama'ah, Prayers Friday, Hajj, because it involves the social aspect, menatas attentive attention from the teachings of Islam. Those worship services are not just rituals.Fourthly, if the act of worship is done imperfectly or spiritually, because it violates certain taboos, then kifaratnya (ransom) is to do something related to mu'amalah. If shaum can not be done, then fidyah - food for the poor - must be paid. When the husband and wife mixed during the day in the month of Ramadan - or when in a state of haidh - cane sannya is to feed the poor. In the hadith qudsi, one of the signs of the people who receive the prayers is to help the weak, love the poor, the orphans, the widows, and the unfortunate ones. (Say yid Sabiq, Islamuna, Beirut, Dar Al Kutub al 'Arabi, without years, p. 119)

Conversely if people are not good in mu'amalah affairs, the business of worship can not cover it. Who deprives the rights of others can not wash away their sins by praying tahajjud. The wrongdoers do not shed their sins by reading dhikr though a thousand times, in fact, from some information, we have the impression that ritual worship is not accepted by Allah, if the perpetrator violates the norms-the norm of muamalah. "Asked Rasulullah saww that a woman shaum during the day, and praying at night, but he hurt his neighbor. Rasulullah saww replied: "The woman is in Hell"

"Shall I tell you what degree is more important than prayer, shi yam and sadaqa (shahabat replied: Of course, O Messenger of Allah), that is to call the two quarrels" (Abu Daud, Turmuzi and Ibn Hibban) "I do not believe in a man who slept full, while his neighbor is hungry".

"Not in Heaven the one who breaks the silaturrahmi"

"Not to enter the heaven of a man in whose heart there is a feeling of arrogance, though as big as dust".

In the Qur'an the people who pray will be wretched, if they rebuke the orphans, do not feed the poor, riya in charity, and do not want to give help (QS, al Ma'un)

In another hadith narrated about the muflis (bankruptcy) on the Day of Judgment, who lost all the rewards of prayer, shaum and hajinya, due to seize the rights of others, accuse the innocent, or hurt the servant of God.

Fifth, doing good deeds in the field of society, received a greater reward than the sunnah worship, as mentioned in the following hadiths:

"The one who works hard to help the widow and the poor is like a warrior in the way of Allah (or I think he speaks) and the person who constantly prays night and continues to do shaum"

"Thinking one moment is better than waking up one night" (Historical Ibn Hibban)

"Seeking knowledge one moment is better than one-night prayer and seeking one day's knowledge is better than shaum 3 months" (History ad Dailami)

"Whoever bangaun in the morning and intend mnenolong people who terianya and meet the needs of people, for him rewards like hajj mab rur. The most beloved servant of God is the most beneficial to mankind, and the most important charity is to include a sense of baha gia in the heart of the believer - closing the hunger, freeing from trouble, or paying the debt "(Ibn Hajar al Asqalani, in Nashaih al 'Ibad, Bandung, al Ma'arif without years, p. 4)

The above hadiths show that good deeds in muamalah (compassion and social), such as sponsoring the dhuafa, reconciling the affluent, thinking, seeking knowledge and alleviating the suffering of others, are greater than the sunna worship.

As the end of this conversation I describe a bit of Ibdu 'Abbas's life: One day Ibn Abbas i'tikaf in mosque Rasuluklblah saww. Then enter a man to say hello and sit down. Ibn Abbas said: "Hi fulan, I see you very sad". The man replied: "Yes, O son of the Prophet's uncle. I have to fulfill the right of the fulan (perhaps debt) for the sake of the oof the owner of this grave (ya'ni Rasulullah saww) -I can not afford it ". "What if I help you talk to him?" He said: "Please if you will do it". Then Ibn Abbas helped release his friend's troubles. His best friend said, "You forgot the 'Itikaf you did'. Ibn Abbas called: "No" But I heard the inhabitants of this qubur say (looks Ib nu Abbas teary-eyed): "Whoever walks meets the needs of his sau, and conveys his wishes, that's better than ten years. And whoever i'tikaf one day, to seek redha Allah, Allah make barrier between him and hell three khandaq, which is far more distance from earth and sky ". (Muhammad Yusuf al Kandahlawi, Hayah ash Shaha bah, Beirut: Dar al-Fikr, 1981, pp. 2: 540) When I point out that muamalah is important, I do not at all take lightly on prayer, shaum, hajj and other ritual / mahdhah services. I just want to put muamalah in the right proportions in the teachings of Islam. I just want to remind you that we should not be content to be Muslim just because we have prayer, shaum, zakat and hajj. Beyond that the problem is still widespread muamalah Overall, the role of Muslims as members of society, compressed in the words of Imam Ali Zainal Abidin, grandson of Rasulullah saww: "Presented on the Internet field by Angku in Tampokdjok Awegeutah, Acheh - Sumatra, so that the conscious human being can correct his mistakes" "The right of your religious brother is to preserve their salvation and compassion, to love the righteous among them, to be weak to them and to try to improve them, to thank those who do good, to refrain from hurting them, to love they are what you love for you, hate them what you hate to you, make the old like your father, the young as your brother, the old lady as your mother and the little children like your son " (Excerpts of the book "Alternative Islam", by Propessor Doctor Jalaluddin Rahmad M.SI)



Billahi fi sabililhaq 
hsndwsp 
at the 
End of the world