Sabtu, 21 Juli 2018

TEOLOGI PEMBEBASAN ALI SYARIATI: BAGIAN PERTAMA



 
Syahid DR 'Ali Syari'at
 
Syahid DR 'Ali Syari'at


Oleh: DR. Sabara, M. Fil.I
A. Mukaddimah


  Bagi Dia, Tauhid berarti Keesaan (Oneless)
Bagi kita, Tauhid adalah kesatuan (unity)
KepadaNya, Tauhid berarti penghambaan
Kepada kita, Tauhid bermakna pembebasan
Untuk Dia, Tauhid adalah pemujaan tanpa syarat
Untuk kita, Tauhid adalah persamaan tanpa kelas.

 
 Bismillaahirrahmaanirrahiim

Banyak di antara kita yang memiliki kesulitan besar dalam memahami bagaimana Tauhid terkait dengan pembebasan. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena kita telah dikondisikan untuk memiliki tingkat keimanan yang terbatas hanya pada taqlid dan ritus, Ibadah keagamaan dan dogma teologis. Iman (keyakinan) kita seperti jubah di dalam masjid. Walhasil, Islam dengan Tauhid sebagai fondasi ajaran menjadi tak bertuah bagi kemanusiaan, jangankan menjadi rahmat, justru Islam sering dijadikan dalih (pembenaran) yang melanggengkan kezaliman (hal yang sejatinya paling dilawan oleh Islam).

 Secara praksis, menurut Hassan Hanafi, teologi yang diyakini secara dogmatik tak mampu menjadi "pandangan yang benar-benar hidup" yang memberi motivasi tindakan dalam kehidupan kongkret manusia. Hal ini dikarenakan penyusunan doktrin teologi tidak didasarkan atas kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Sehingga muncul keterpecahan (split) antara keimanan teoritis dan keimanan praktis dalam umat Islam, yang pada gilirannya akan menghasilkan sikap-sikap moral ganda atau "sinkretisme kepribadian". Fenomena sinkretis ini tampak jelas, menurut Hassan Hanafi, dengan adanya paham keagamaan dan sekularisme (dalam kebudayaan), tradisional dan modern (dalam peradaban), Timur dan Barat (dalam politik), Konservatisme dan progresifisme (dalam sosial), serta kapitalisme dan sosialisme (dalam ekonomi).

Melihat efek regresif dari teologi dogmatik yang hari ini menjadi mainstreem utama dalam khasanah teologi Islam yang dianut oleh mayoritas umat Islam, meniscayakan perlunya digagas suatu konstruk teologi Islam yang mampu menjawab persoalan-persoalan umat Islam, perlu dikonstruk teologi yang mempu memantik spirit, menjadi inspiring, dan menjadi pandangan dunia yang membebaskan umat Islam dari keterjajahan, keterbelakangan, dan keterbodohan. Rekonstruksi teologi Islam adalah satu hal yang sangat urgen dalam rangka pembenahan kondisi umat Islam menuju keadaan yang lebih baik. Teologi islam yang lebih bercorak liberasi (membebaskan) adalah corak teologi yang sangat dibutuhkan dalam menjawab kondisi kekinian umat Islam yang terpuruk pada keterbelakangan dan ketertinggalan dari umat-umat yang lain. Dalam rangka menyusun format kerangka teologi yang bersifat liberasi sangat dibutuhkan penafsiran baru yang rasional dan ilmiah, serta tetap berdasarkan pada nash suci (Alquran dan hadis) sebagai rujukan doktrinal dalam menyusun kerangka teologi yang konstruktif bagi umat Islam.

Menurut Toshio Kuroda, dalam menyusun konstruk teologi yang memiliki relevansi dalam menjawab persoalan-persoalan yang senantiasa muncul dalam perjalanan manusia sepanjang zaman. Didasarkan pada keyakinan bahwa Islam adalah norma kehidupan yang sempurna dan mampu beradaptasi pada setiap bangsa dan setiap waktu. Firman Allah adalah abadi dan universal yang menyangkut seluruh aktivitas dari seluruh suasana aktivitas kemanusiaan tanpa perbedaan apakah ia aktivitas mental atau aktivitas duniawi.

Berdasarkan pernyataan Toshio Kuroda tersebut, dapat disimpulkan bahwa Islam mencakup bidang-bidang keduniaan, mental, dan sekaligus ketuhanan. Dengan demikian teologi (Tauhid) memiliki fungsi vital dalam pemikiran umat Islam, dalam lembaga-lembaga sosial politik Islam, dan dalam peradaban.

Tauhid haruslah bermakna penyatuan atau kesatuan antara dimensi transenden (spiritual) dan imanen (sosial). Antara realitas ilahiyah yang transenden dengan realitas alam dan manusia yang imanen tak memiliki keterpisahan yang kaku sehingga harus diposisikan secara biner. Dalam pandangan Murtadha Muthahhari, konstruksi teologi yang akhirnya menjadi sebuah pandangan dunia (world view) Tauhid yang bersifat unipolar dan uniaxial.

Secara universal, seluruh aspek kehidupan sosial Islam harus diintegrasikan ke dalam "jaringan relasional Islam". Jaringan ini diderivasikan dari pandangan dunia Tauhid, yang mencakup aspek keagamaan dan keduniawian, spiritual dan material, individual dan sosial. Jaringan relasional Islam ini akhirnya teruji dalam bentuk praksis ibadah ritual yang merupakan kewajiban yang mesti dijalankan oleh umat Islam. Selain itu, perlu digagas relasi Tauhid dan pembebasan, implementasi Tauhid dalam konteks penindasan, dan masyarakat seperti apa yang diinginkan dalam konteks Tauhid.

Ali Syari'ati merupakan salah seorang tokoh intelektual muslim abad modern yang concern pada tema-tema pembebasandari agama. Berbasis pandangan dunia Tauhid beliau menjadi propagandis yang membakar semangat anak muda Iran di tahun 1970-an untuk bangkit melawan penindasan rezim Pahlevi. Tak bisa dipungkiri, beliau adalah salah seorang tokoh teologi pembebasan Islam, yang bahkan mempersembahkan nyawanya untuk misinya tersebut.
Biografi Singkat Ali Syari'ati

Ali Syari'ati terlahir dengan nama Ali Mazinani, pada tanggal 24 November 1933 di Mazinan, sebuah daerah dekat kota suci Masyhad, sebuah kota yang dianggap suci oleh para penganut Syiah imamiyah Itsna ‘Asyariyah, karena di kota tersebut dimakamkan imam mereka yang kedelapan, yakni imam Ali bin Musa al-Ridha. Ayah beliau adalah Muhammad Taqi Syari'ati dan ibu beliau bernama Zahrah. Nama Syari'ati sendiri yang kemudian dikenal sebagai namanya, beliau gunakan pertama kali pada paspornya untuk mengelabui petugas imigrasi, sewaktu beliau akan meninggalkan Iran menuju Inggris, pada tanggal 16 Mei 1977 (beberapa hari sebelum beliau meninggal).

Orang tua beliau adalah tokoh masyarakat yang cukup disegani ditengah-tengah masyarakatnya sebagai tokoh spiritual. Meskipun demikian, keluarga Syari'ati tetaplah hidup sederhana selayaknya penduduk desa yang lain. Dari keluarganya inilah Ali Syari'ati membentuk kepribadiannya, mentalitas, dan jati dirinya, utamanya melalui sang ayah yang berperan sebagai orang tua, guru, dan pembimbing spiritualnya. Masa muda Syari'ati dihabiskan dengan belajar, membantu orang tuanya mencari nafkah dan ikut aktif dalam perjuangan-perjuangan politik dan melakukan propaganda menentang rezim Syah Pahlevi yang sedang berkuasa di Iran pada saat itu.

Selain terpengaruh oleh ayahnya, pembentukan jiwa Ali Syari'ati juga cukup terpengaruh oleh kakeknya Akhund Ahmad dan paman dari ayahnya Najib Naysapuri. Dari merekalah Ali Syari'ati kecil mempelajari fiqih, sastra, dan filsafat. Ali Syari'ati cukup mewarisi tradisi keilmuan yang diturunkan dari ayahnya, kakeknya, dan paman ayahnya.tersebut. Hal ini tebukti dengan jejak langkah Ali Syari'ati selanjutnya yang memiliki kecendrungan yang cukup tinggi terhadap berbagai jenis keilmuan dan gerakan sosial keagamaan sebagaiamana ayah, kakek, dan paman ayahnya tersebut.

Syari'ati kecil memulai pendidikan formalnya di sebuah sekolah swasta di Masyhad. Pada saat usianya yang menginjak masa remaja, Syari'ati cukup intens melakukan pengkajian terhadap filsafat, mistisisme, sastra, dan masalah-masalah kemanusiaan.. Ketika memasuki usia dewasa, Ali Syari'ati telah aktif menyibukkan dirinya dalam kegiatan-kegiatan sosial politik keagamaan. Di usianya yang masih terbilang muda, Syari'ati aktif di "Gerakan Sosialis Penyembah Tuhan" yang didirikan oleh ayahnya.

Pada tahun 1950-1951, ketika usia beliau masih 17 tahun, Ali Syari'ati terlibat dalam gerakan nasionalisme yang dilancarkan oleh

Perdana Mentri Iran, Muhammad Mussaddeq untuk menggulingkan rezim Syah Pahlevi. Setelah Mussaddeq gagal dalam melancarkan kudetanya pada tahun 1953, Ali Syari'ati bergabung bersama ayahnya ikut aktif dalam "Gerakan Perlawanan Nasional" cabang Masyhad yang didirikan oleh Mehdi Bazargan. Akibat gerakannya itu, beliau bersama ayahnya dipenjara selama delapan bulan di penjara Teheran.Masih pada tahun 1950-an ini juga, Syari'ati mendirikan Asosiasi Pelajar di Masyhad dan melakukan gerakan untuk menasionalisasi perusahaan industri minyak Iran.

Pada tahun 1959, Ali Syari'ati lulus sebagai sarjana sastra dari Universitas Masyhad. Selanjutnya pada tahun 1960, beliau mendapat bea siswa dari pemerintah untuk melanjutkan study di Universitas Sorbone di Prancis. Di Prancis inilah Syari'ati tinggal selama lima tahun dan banyak menimba beragam ilmu serta terlibat aktif dalam berbagai gerakan pembebasan. Di Prancis, beliau banyak berkenalan dan berguru pada beberapa filosof  dan ilmuwan terkemuka Prancis, seperti Alexist Carrel, Jean Paul Sartre, Henry Bergson, Frans Fanon, Louis Massignon, Albert Camus, dan tokoh-tokoh pemikir Prancis yang lainnya. Diantara tokoh Prancis yang sangat mempengaruhi pemikiran beliau adalah Alexist Carrel, seorang ilmuwan Prancis. Bahkan beliau menerjemahkan dan mengembangkan buku karangan Alexist Carrel yang berjudul de Prayer kedalam bahasa Arab dengan judul al-Du'a. Diantara tokoh pemikir eksistensialisme yang cukup mempengaruhi pemikiran Ali Syari'ati adalah Jean Paul Sartre, Soren Abeye Kierkegard, dan Nikholas Bordayev. Selain itu Syari'ati juga banyak mengkaji pemikiran-pemikiran Marxisme yang sedang booming pada masa itu di dunia.

Selama di Prancis, beliau aktif dalam gerakan politik pembebasan iran bersama Mustafa Chamran dan ibrahim Yazdi. Di saat yang sama, beliau juga aktif dalam gerakan "Front Nasional Kedua". Selama tinggal di Prancis, Syariati juga ikut aktif dalam gerakan pembebasan Aljazair.Setelah beliau berhasil menyelesaikan program doktoralnya di Prancis, pada bulan September 1964, beliau meninggalkan Prancis dan kembali ke kampung halamannya di Iran.

Sesampainya di Iran, Syari'ati ditangkap dan ditahan selama 1,5 bulan atas tuduhan terlibat aktif dalam gerakan politik melawan pemerintah selama beliau di Prancis. Setelah dibebaskan, beliau kemudian diterima mengajar di Universitas Masyhad. Selain itu, Syari'ati juga mengajar di beberapa sekolah di Masyhad. Karena aktivitas politiknya yang cukup membahayakan, Syari'ati kemudian dikeluarkan dari Universitas Masyhad, dan selanjutnya beliau bersama Murtadha Muthahhari, Husein Behesyti, serta beberapa ulama Syiah yang lain mendirikan lembaga pendidikan Huseiniyah Irsyad, Syari'ati sendiri terlibat sebagai salah satu pengajarnya. Masa antara tahun 1967-1873 adalah masa di mana Syari'ati menyibukkan dirinya untuk mengajar di Huseiniyah Irsyad serta terlibat aktif dalam gerakan-gerakan politik melawan rezim Syah. Selama mengajar di Huseiniyah Irsyad beliau banyak memberikan kuliah yang cukup membakar semangat anak muda Iran untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah. Akibat kegiatannya ini, akhirnya beliau kembali dipenjarakan selama lima ratus hari oleh pemerintah. Syari'ati baru dibebaskan oleh pemerintah Iran pada bulan Maret 1975, itu pun setelah adanya desakan dari berbagai organisasi internasional serta para tokoh intelektual Prancis dan Aljazair.

Setelah dibebaskan, Syari'ati menyadari bahwa dirinya tidak bebas melakukan aktivitas politik selama tinggal di iran. Akhirnya pada tanggal 16 Mei 1977, beliau meninggalkan Iran menuju ke Eropa. Tujuan pertama beliau adalah singgah di inggris dan selanjutnya hendak ke Amerika Serikat untuk mengunjungi anaknya yang kuliah di sana. Tapi, belum sempat beliau pergi ke Amerika, pada tanggal 19 juni 1977, beliau ditemukan meninggal secara misterius di rumah keluarganya, di Schoumpton, Inggris. Pemerintah Iran(rezim Syah) menyebutkan beliau meninggal akibat serangan jantung, namun dugaan terkuat beliau dibunuh oleh agen SAVAK (agen intelejen Iran).

Karena aktivitas politiknya yang begitu padat dan usia beliau yang cukup singkat, Ali syari'ati hanya sempat menulis dua buku secara khusus, yaitu Hajj (Haji) dan Kavir (Gurun Pasir), selebihnya adalah kumpulan kuliah dan ceramah beliau yang kemudian dibukukan. Selain itu juga sempat menerjemahkan dan menggubah beberapa buku, seperti Abu Dzar, Salman al-Farisi, dan de Prayer karya Alexist Carrel. Telah banyak karya beliau yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Pemikiran-pemikiran beliau yang cukup filosofis dan revolusioner telah cukup banyak mempengaruhi pemikiran Islam modern yang berkembang di Indonesia. (Bersambung)

Jumat, 20 Juli 2018

PERJALANAN SYAHID DR ALI SYARI'ATI DALAM PARADIKMA KAUM MUSTADH'AFIN




PARADIGMA KAUM TERTINDAS 

Pengantar Edisi Bahasa Ingris 

oleh 

Hamid Algar


Bismillaahirrahmaanirrahiim

Rangkaian demonstrasi dan pergolakan akhir-akhir ini menentang rezim diktatorial Syah ternyata telah membuktikan dua faktor yang selama ini sering diabaikan orang. Pertama-tama ialah keyakinan rakyat Iran akan kebenaran ajaran Islam. Adapun faktor kedua ialah kemampuan para ulama di negeri itu dalam mengarahkan aspirasi umat. Sekilas pandang mereka yang pernah mengunjungi kota-kota besar Iran mungkin terkesan oleh pengaruh westernisasi (pem-Barat-an) di sana. Dan bahwa bersamaan dengan itu seolah-olah di sana sedang berlangsung suatu transformasi serta“ de-Islamisasi” yang paling radikal di suatu dunia Islam. Padahal, justru di Iranlah terdapat gerakan yang berakar teramat dalam lagi tangguh, bertujuan untuk merebut kembali hegemoni politik dan sosial Islam.

Pimpinan gerakan ini terutama berada di tangan para ulama Syi’ah. Dibandingkan dengan rekan-rekan mereka dari golongan Sunni, maka para ulama Syi’ah ini, karena berbagai alasan ― sosial, historis maupun keagamaan ― telah berhasil memelihara kebebasan mereka dari rezim yang sedang berkuasa serta lebih tegas memihak kepada penderitaan rakyat. Tetapi, selain kaum ulama, ternyata terdapat pula suatu kelompok lain yang turut menentukan jalan gerakan tersebut. Kelompok yang dimaksud terdiri dari para cendekiawan dan pemikir. Terutama setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua, golongan ini berusaha mengintegrasikan nilai-nilai pendidikan modern dengan kepercayaan tradisional. Hasilnya ialah berkembangnya suatu idiom Islamiah baru yang mampu melibatkan mereka yang berlatar belakang pendidikan sekular. Menonjol dari kelompok ini ialah Muhandis Bazargan, bekas guru besar Universitas Teheran dan Dr. ‘Ali Syari’ati penulis koleksi ini.

Koleksi buah pikiran Syari’ati berikut didahului dengan riwayat hidup singkat yang disusun oleh seorang yang pernah akrab dengannya. Namun, kiranya masih ada beberapa hal yang patut dicatat. Dia dilahirkan pada tahun 1933 di sebuah desa dekat Sabzavar di tepi gurun Kavir. Yang mendidiknya pertama kali ialah ayahandanya sendiri, Muhammad Taqi Syari’ati, salah seorang ulama Iran terkemuka abad ini. Kemudian dia meneruskan pelajarannya di Masyhad dan sekaligus bermula pulalah karir perjuangan politik, sosial dan intelektualnya. Tahun-tahun menyusul penggulingan perdana menteri Musaddiq ditandai dengan tekanan-tekanan politik yang dilancarkan rezim Syah. ‘Ali Syari’ati sendiri harus mendekam selama beberapa bulan dalam penjara.

Pada tahun 1959 dia meneruskan studinya ke Paris dalam bidang sosiologi. Tetapi di sini pun dia tidak membatasi diri pada kegiatan kemahasiswaan konvensional. Secara aktif dia turut serta dalam organisasi yang berorientasi Islam, menentang rezim Syah. Pada tahun 1964, sepulangnya ke Iran, dia ditangkap. Setelah enam bulan, karena desakan dunia internasional atas pemerintah Iran, dia dibebaskan kembali. Dia dibolehkan mengajar, antara lain di Universitas Masyhad. Tetapi kemudian dia dipaksa ke luar dari universitas itu. Bersamaan dengan itu bermulalah periode yang agaknya paling kreatif dalam hidupnya, meskipun berlangsung singkat. Dia menyampaikan ceramah-ceramahnya di Husainiyah-i Irsyad, suatu pusat Islam di Teheran yang aktif menyelenggarakan pertemuan-pertemuan ataupun ceramah-ceramah Islam dan selalu mendapat kunjungan padat. Dalam ceramah-ceramahnya di Husainiyah-i Irsyad maupun di tempat-tempat lain ‘Ali Syari’ati memperkembangkan teori-teorinya tentang sosiologi dan sejarah Islam. Sebagian tertera pada buku ini. Maka tidaklah mengherankan bila Husainiyah-i Irsyad lalu ditutup oleh pemerintah. ‘Ali Syari’ati sendiri kembali meringkuk dan menderita dalam tahanan, kali ini selama delapan belas bulan. Tidak lama setelah ke luar dari penjara, dia pergi ke Inggris, di mana dia wafat pada 19 Juni 1977. Sebab kematiannya cukup misterius, sehingga banyak orang mengaitkannya dengan kegiatan polisi rahasia Iran di kala itu. Dia dimakamkan di Damsyik, bersebelahan dengan makam Hazrat Zainab Rahimahullah.

Judul koleksi ini, On the Sociology of Islam, kiranya memerlukan sekadar penjelasan. Buku ini tidak bermaksud untuk mengungkapkan kerangka sosiologi Islam secara lengkap. Dan Syari’ati sendiri tidak pernah berpretensi demikian. Dia bahkan menulis:  Apa tidak percaya bahwa apa yang kukatakan sudah merupakan kebenaran final; apa yang kukemukakan sekarang mungkin saja besok akan kuralat atau kusempurnakan (Islam Syinasi, Jil. I, hal. 47).

Bagaimanapun juga, dengan pendapatnya yang orisinil dan berani dia telah menghadirkan sejumlah wawasan segar tentang sosiologi Islam. Inilah yang kami usahakan penerjemahannya, kiranya bisa menggugah pikiran para intelektual Muslim. Buku ini terdiri atas sejumlah topik yang tidak sepenuhnya sosiologis. Namun karena nada sosiologis yang terkandung sarat di dalamnya maka judul On the Sociology of Islam kiranya bisa diterima.

Kebanyakan buku Syari’ati berasal dari ceramah-ceramah yang pernah disampaikannya. Gaya ceramah ini jelas dari beberapa pokok pikiran tertentu yang dikemukakannya berulang kali. Karena itu sengaja kami menghapus atau meringkas beberapa ungkapan aslinya, tanpa mengganggu jalan pikiran penulisnya. Selain itu, terjemahan ini adalah utuh dan refleksi dari karya aslinya. Penjelasan berupa catatan kaki yang ditambahkan oleh penerjemah dibubuhi tanda (HA). Catatan kaki seIebihnya adalah Syari’ati sendiri.

Hamid Algar (Berkeley, Sya’ban 1398/Juli 1978).

Sumber Bahasa Indonesia: Ali Syari’ati, Paradigma Kaum Tertindas (Sebuah Kajian Sosiologi Islam), Penerjemah Saifullah Mahyudin dan Husen Hashem, Penerbit Al-Huda Muharram 1422/April 2001.

  
Diposting oleh Blog Kaum Hawa di 08.47

SIMAKKLAH APA KATA RAUSYANFIKR DARI REPUBLIK ISLAM IRAN





IMAN DAN ILMU YANG PADU

Karya dan Ide Rausyanfikr yang

belum ada duanya

dari Negara Salman al Farisi

(Syahid Dr Ali Syari’ati)



Bismillaahirrahmaanirrahiim

Karya dan Ide Syari’ati
 Lebih penting daripada kepribadian maupun aktivitas Syari’ati ialah karya dan ide yang diwariskannya, dalam bentuk rekaman ceramah-ceramah, catatan-catatan kuliah, buku-buku serta berbagai artikel yang telah berkali-kali dicetak ulang atau diperbanyak dalam edisi sepuluh ribuan kopi atau lebih. Karya-karya dan ide-ide itu sangat menarik perhatian angkatan muda dan sangat mendalam pengaruhnya atas mereka, sehingga tidaklah mudah menghapusnya begitu saja dari ingatan atau hati mereka. Semua yang diucapkan dan ditulisnya memancarkan keilmuan, iman serta keyakinannya dan membuktikan kemampuan kreatifnya yang luar biasa.
Ia dan waktu tidak lagi membiarkan mereka yang bersih dan murni tanpa kawan. Ia akan membela mereka dan waktu akan membenarkan mereka. Yang palsu tidak akan dapat mencemarkan yang murni, betapapun banyaknya batu yang mereka lemparkan dan anjing yang mereka lepaskan untuk membinasakan mereka (Kavir, hal. 282).

Sepintas kilas membaca karya-karya Syari’ati yang bermanfaat, dalam dan orisinal itu orang akan mengetahui bahwa ia tidak percaya akan karya yang dangkal. Namun, dengan tulisannya yang berbobot dan gaya ungkapannya yang fasih, ia telah berhasil menghidangkan ide-ide filosofis yang paling dalam maupun pembahasan-pembahasan ilmiah dan sosiologis yang paling rumit. Hanya mereka yang penuh purbasangka saja yang tidak menyetujui pendapat ini. Tetapi, beberapa tulisannya rupanya tetap sukar untuk ditangkap, meskipun ia telah mengunakan perumpamaan, kiasan dan bahasa simbolis. Betapapun makna yang disarikannya ke dalam kata-katanya, selalu saja bimbang mengambang dalam pikiran mereka yang terbiasa berpikir dangkal. Mereka yang berpikir unidimensional memang selalu asal mempertanyakan dan membantah. Berhadapan dengan pemikiran yang cermat dan dinamik selalu saja mereka mengajukan keberatan- keberatan picisan. Mereka adalah orang yang lamban pikiran, cacat perasaan dan merupakan prinsip Qurani: Bantahlah mereka dengan cara sebaik-baiknya (QS. 16: 125).

Meskipun teori-teori Syari’ati berorientasi kepada Islam, namun basis epistemologis, filosofis, historis dan sosiologisnya sangat kuat dan tumbuh dari dialektika pengamalan dan pemikiran terus-menerus.

Boleh dikatakan, dalam pandangan Syari’ati, berpikir benar adalah pengantar kepada pengetahuan yang benar, sedang pengetahuan yang benar menjadi pengantar kepada iman. Bersama-sama ketiganya metupakan alat kelengkapan bagi hati nurani yang sadar dan bagi setiap usaha mencapai kesempurnaan, praktis maupun teoretis. Keyakinan dan iman yang dangkal tanpa kesadaran mudah berubah menjadi fanatisme, takhyul dan akan menghambat jalan pembangunan sosial. Tanpa perubahan ideologis tidak akan mungkin ada perubahan sosial yang berarti. Justru perubahan ideologis dan intelektual yang mendalam demikianlah yang teramat diperlukan waktu ini, dalam dunia modern kita yang serba cepat ini. Perubahan demikian harus memancar dari dalam lubuk hati perseorangan, mendahului bermulanya gerakan umum. Kebekuan dan kekakuan dalam bentuk lembaga-lembaga suci yang tidak efektif harus diubah menjadi aktif dan dan berperan jelas dalam gerak eksistensial masyarakat.

Kita bisa beroleh pengetahuan yang benar tentang Islam melalui filsafat sejarah yang berasas tauhid dan melalui sosiologi syirik yang mengungkapkan kenyataan-kenyataan masyarakat sebagaimana adanya. Analisa historis dan simbolis Syari’ati dalam Husain, Pewaris Adam menjelaskan bahwa Islam bukanlah suatu ideologi manusiawi, sehubungan dengan waktu dan tempat tertentu, melainkan bagaikan sebuah sungai yang mengalir sepanjang sejarah ummat manusia, hulunya jauh di gunung sana dan melewati batuan karang akhirnya bermuara ke laut. Sungai yang tidak pernah berhenti mengalir dan pada waktu, waktu tertentu hadirlah Nabi-Nabi dan para pengikut mereka untuk memperderas kembali daya arusnya. Keseluruhan sejarah merupakan perjuangan antara hak dan batil, pertempuran antara monotheis dan politheis, pertarungan antara yang tertindas dan yang menindas, antara yang dizalimi dan yang menzalimi. Secara simbolis pertentangan dan pertarungan ini digambarkan dalam kisah Qabil dan Habil, ataupun (dalam bentuk yang lebih sederhana) dalam pertarungan antara Nabi Musa melawan Fir’aun, Qarun dan Bal’am, yang mewakili kolompok-kelompok yang serba mewah, yang serba kuasa dan yang penuh tipu muslihat, yang terdapat sepanjang sejarah manusia; ketiga-tiganya tergolong musyrikin.

Kelompok pendeta (mala’) dan kelompok mewah (mutrif) bersama-sama merupakan kelas-kelas yang mengeksploitir. Mereka selalu menentang para Nabi. Sedangkan mereka yang teraniaya, mereka yang tertindas dan mereka yang takwa selalu berpihak pada para-nabi dan para syuhada. Buat para penganutnya, kepercayaan akan tauhid tidak dapat dipisahkan dan tanggungjawab serta komitmen sosial dan historis. Karena itu masyarakat yang percaya akan tauhid harus senantiasa dalam keadaan jihad. Perjuangan abadi ini bermula sejak dini sejarah sosial manusia, sejak masa Adam. Sedangkan para pendukung panji perjuangan menegakkan keadilan ini ialah para Nabi dan para shalihin. Dengan demikian gerakan sosial umat manusia berhubungan erat dan selaras dengan pandangan hidup tauhid.

Setelah Rasulullah Saw maka dalam perjalanan sejarah amanah tauhid diteruskan oleh lembaga Imamah, oleh ‘Ali dan keturunannya (12 Imam ma’shum). Tetapi Syi’ah, yang bermula sebagai protes oleh ‘Ali Husain dan Zainab, belakangan diperalat oleh para pemilik kekayaan dan kekuasaan. Dalam masa Safawi maupun sesudah Safawi peranan Imamah terdesak dan lenyap, akibat oportunisme, kebimbangan dan salah paham. Inilah yang dibahas Syari’ati dalam buku-buku serta catatan-catatan kuliahnya: Husain, Pewaris Adam; ‘Ali: Ajaran Tauhid dan Keadilan; Menanti Agama Protes; Ummat dan Imamah; Syi’ah ‘Alawi dan Syi’ah Safawi; Abu Dzar al-Ghaffari; Salman; Syahid; Pertanggungjawaban Penganut Syi’ah. Karya-karyanya di atas mengumandangkan pembelaan Syari’ati akan kebenaran Islam dan sekaligus menggambarkan jalan pikiran serta kedalaman analisa historis dan religiusnya.

Karya pikir Syari’ati lainnya ialah tentang sosiologi syirik, yang merupakan analisa realistis dan kritis tentang masyarakat dewasa ini. Dalam hubungan ini ia membahas peranan berbagai kelompok dan strata masyarakat, terutama golongan intelektual, tentang aneka ideologi dan aliran pemikiran di dunia dan tentang peran berbagai peradaban serta kebudayaan, yang kesemuanya tidak didasarkan atas tauhid. Menurut pendapatnya, manusia dewasa ini, tanpa tauhid, pada hakikatnya mengalami alienasi, dan bahwa ilmunya, tanpa hati nurani, menjadi semacam neo-skolastisisme, sedangkan mereka yang bersikap sok dan pura-pura menggeser kedudukan intelektual sejati. (Lihat Skolastisisme Baru; Peradaban dan Pembaruan; Manusia yang Mengalami Alienasi; Intelektual dan Tanggung-jawabnya; Eksistensialisme dan Nihilisme, dan lain-lain). Ditinjau dari sudut pandangan sosiologis, boleh dikatakan tidak banyak sarjana Iran yang telah meneliti kenyataan masyarakat Islam dewasa ini dengan kacamata realisme yang mendalam seperti halnya Syari’ati. Yang penting baginya bukanlah konsep-konsep yang abstrak, melainkan realitas yang ada ―nilai-nilai, cara-cara tingkah-laku, serta struktur-struktur ide dan kepercayaan yang terdapat dalam masyarakat Islam.

Untuk bisa membuat analisa masyarakat secara tepat, menurut Syari’ati, tidaklah cukup bagi para intelektual untuk hanya mengenal aliran-aliran pikiran Eropa di satu pihak, dan realitas sosial masyarakatnya sendiri di pihak lainnya. Keterbatasan pengetahuan demikian bisa menyesatkan dan memerosokkan mereka kepada kesimpulan yang tidak realistis. Kita hanya mungkin membuat analisa tentang realitas yang ada bila kita mempergunakan istilah-istilah, ungkapan-ungkapan serta konsep-konsep yang terdapat dalam filsafat, kebudayaan, agama dan kesusasteraan kita, yang dalam beberapa hal lebih kaya serta lebih tepat daripada analogi-analoginya dalam bahasa-bahasa asing.

Terjemahan dan pengulangan konsep-konsep stereotip sosiologi Barat yang tumbuh dari analisa masyarakat industri Eropa abad kesembilan belas serta masyarakat imperialis agresif pada media awal abad kedua puluh sama-sekali tidak ada gunanya bagi kita, karena konsep-konsep itu berbeda sama sekali dengan kehidupan kita dewasa ini. Kita harus menganalisa nilai-nilai dan hubungan-hubungan tertentu yang hidup dalam masyarakat kita serta cocok dengan sifat kehidupan sosial kita, susunan psikis kita, begitupun realitas yang ada dalam masyarakat dan reaksi psikologis perseorangan terhadapnya. Untuk ini kita harus memilih apa saja yang hidup dalam sejarah masyarakat Islam di Iran dan mengemukakan suatu sistem konsep dan istilah sosiologis yang komprehensif; atas dasar inilah kita buat analisa kita. Dengan demikian, istilah-istilah seperti umat, imamah, ‘adil, syahid, taqwa, taqlid, shabar, ghaib, syafa’at, hijrah, kafir, syirk, tauhid dan semacamnya kiranya jauh lebih tepat daripada istilah-istilah Eropa.

Syari’ati senantiasa berpegang pada realitas dan menghindari pemikiran abstrak. Ia adalah seorang sosiolog yang realistis dan komit. Dengan pandangan serta pemikiran Islamiyahnya yang khas, ia berhasil mempelajari masyarakatnya sendiri, melampaui sosiologi positivis maupun Marxis. Dan dengan menggunakan metoda historis dan religius yang mendalam, ia telah menambahkan dimensi-dimensi baru pada sosiologi Islam.

Ia telah membuat suatu analisa realistis dan kritik sosiologis mengenai dimensi “statis” masyarakat ―susunan tingkah laku, nilai serta kepercayaan berbagai kelompok religius maupun non-religius dewasa ini― begitupun mengenai dimensi “dinamis”-nya, yakni perubahan-perubahan dan perkembangan-perkembangan historis yang dihayati oleh umat Islam dan masyarakat Iran dalam berbagai era. Menurutnya, ilmu seperti sosiologi tidak pernah “netral”, dan ia tidak bisa menerima pendapat bahwa seorang sosiolog hanya sekedar mengamati masyarakat. Apalagi sekarang ini umumnya konsep netralitas ilmu telah kehilangan arti, sehingga tugas sekedar observasi dan deskripsi telah berganti dengan komitmen dan partisipasi sosial.

Karena itu tepatlah bila karya-karya seru ide-ide Syari’ati kita pelajari dari sudut pandang sosiologi. Ia telah meletakkan dasar-dasar sosiologis Islam yang benar dan bermulti faset. Dalam hal ini ia pun merupakan pionir. Yang penting bagi kita ialah bahwa ia telah mempelajari sejarah, filsafat sejarah dan semuanya dalam kerangka pandangan hidup tauhid. Dengan demikian tauhid menjadi landasan intelektual ideologis, baik untuk filsafat sejarah, mengenai nasib umat manusia dan masyarakatnya di masa silam, begitupun untuk meramalkan keadaan mereka di masa mendatang.

Dengan demikian, seluruh analisa filosofis historis dan sosiologisnya berkaitan erat dengan kepercayaan tauhid, sebagaimana dijelaskannya sendiri secara gamblang. Tauhid bagaikan turun dari langit ke bumi dan sambil meninggalkan lingkaran-lingkaran diskusi, penafsiran dan perdebatan filosofis, teologis dan ilmiah, ia masuk kedalam urusan masyarakat. Di dalamnya tercakup berbagai masalah yang menyangkut hubungan sosial mengenai hubungan kelas, orientasi perseorangan, hubungan antara perseorangan dan masyarakat, berbagai dimensi struktur sosial, superstruktur sosial, lembaga-lembaga sosial, keluarga, politik, kebudayaan, ekonomi, hak milik, etika sosial, pertanggungjawaban perseorangan maupun masyarakat.

Dalam pengertian umum aspek tauhid ini bisa disebut sebagai basis ideologis, sebagai semen perekat intelektual bagi masyarakat yang berorientasi tauhid ―suatu masyarakat yang berdasarkan struktur material dan ekonomis bebas dari kontradiksi dan suatu struktur intelektual dan kepercayaan yang bebas dan kontradiksi. Jadi, masalah tauhid dan syirik senantiasa berkaitan erat dengan filsafat sosiologi yang universal, dengan struktur etis masyarakat serta sistem-sistem hukum dan konvensionalnya.

Pendekatan baru ini, yang menempatkan ide tauhid dalam kehidupan sosial serta mengaitkan pemahaman tentang masyarakat pada konsep tauhid, mengandalkan suatu kehidupan tanpa kontradiksi dan oposisi. Sosiologi Syari’ati adalah refleksi pandangan hidupnya, suatu pandangan hidup yang membuahkan hasil-hasil praktis dalam masyarakat. Menurutnya, dalam kehidupan masyarakat terdapat pertarungan berketerusan antara tauhid sosial dan syirik sosial, pertarungan yang berlangsung sepanjang sejarah. Berikut adalah uraiannya dalam istilah-istilah yang dinamis:

“Sebagaimana halnya pandangan hidup tauhid menafsirkan eksistensi dalam pengertian kesatuan, demikian pulalah tafsirnya mengenai masyarakat manusia. Sebagaimana halnya dalam alam semesta tauhid menolak adanya kekuatan-kekuatan serbaneka dan saling berkontradiksi, menolak serba berhala, menolak serba daya gaib dan supernatural yang dianggap menentukan nasib manusia serta proses alami. Demikian pulalah tauhid dalam masyarakat manusia menyangkal kehadiran dewa-dewa bumi yang menguasai manusia, merampas kekuasaan mereka serta menetapkan sistem-sistem masyarakat dan hubungan sosial yang kompleks di antara kelas-kelas pokoknya. Tauhid menolak kehadiran syirik dalam kehidupan manusia”.

Yang dinilai oleh Syari’ati bukanlah ke-Islaman-nya sang alim ataupun ke-Islaman si awam, melainkan “ke-Islamannya mereka yang sadar dan ingat”. Andalannya ialah Muslim intelektual dan sadar, bukan sang alim dan bukan pula sang awam. Dalam Islam ada dua hal yang satu-sama lain saling mensyaratkan dan saling menyertai, yaitu membentuk diri sendiri dan mengubah diri sendiri; dalam pengertian inilah kita bisa menangkap makna kalimat bersayap ―yang sangat digemari Syari’ati : “Hidup adalah tidak lain daripada Iman dan Jihad”. Maka jelaslah bahwa karya Syari’ati merupakan buah Iman dan Jihadnya.

Catatan:

Terjemahan lengkap dari Ravisy-i Syinakht-i, terdiri dari dua ceramah, disampaikan di Husaiya-i Irsyad pada Aban 1347/Oktober 1968.

2. Gurun Kavir, gurun pasir luas yang meliputi hampir dua pertiga dataran tinggi Iran (HA).
3. Kavir, hal. 88. Selain ayahnya, Syari’ati juga menyebut orang pertama dan paling berpengaruh atas hidupnya: Louis Massignon (orientalis Prancis), Muhammad ‘Ali Furughi (sarjana dan politikus Iran), Jacques Berque (ahli bahasa Arab dan sosiolog Prancis), dan Gurwitsch (sosiolog Prancis). Tetapi mereka ini adalah guru-gurunya dalam pengertian langsung dan biasa.
4. Maksudnya ialah pada tahun-tahun pertama sesudah penggulingan Musaddiq di bulan Agustus 1953 (HA).

Sumber Bahasa Indonesia: Ali Syari’ati, Paradigma Kaum Tertindas (Sebuah Kajian Sosiologi Islam), Penerjemah Saifullah Mahyudin dan Husen Hashem, Penerbit Al-Huda Muharram 1422/April 2001.
Diposting oleh Blog Kaum

Selasa, 17 Juli 2018

PENDIDIKAN ISLAM KAFFAH

 






MENYOROTI PENDIDIKAN ISLAM KAFFAH

by
hsndwsp
Acheh - Sumatra
di
Ujung Dunia



"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu". (TQS al-Baqarah [2]: 208-209).



BERBICARA PENDIDIKAN ISLAM KAFFAH
SALAH SATUNYA ADALAH BERBICARA SYSTEM KEDAULATAN ALLAH
(SYSTEM ISLAM MURNI)



Bismillaahirrahmaanirrahiim
Berbicara tentang dunia pendidikan, tidak akan pernah selesai sebelum menuntaskan pembicaraan tentang ma nusia itu sendiri. Sebagaimana kita ketahui sesungguhnya ma nusialah pelaku pendidikan itu. Keberhasilan kita dalam merumuskan konsep pendidikan, tergantung sangat pada keberhasilan kita dalam mendefinisikan manu sia itu sendiri.


Konsep pendidikan yang kita saksikan dewasa ini di seluruh dunia, masih sangat jauh dari esensi pendidikan kemanusiaan. Di negara-negara yang maju seperti Amerika Seri kat, Perancis, Inggeris, Jerman, Jepang, Australia dan lain-lainnya, secara psykologis mereka sedang mengalami stress berat. Hal ini terjadi disebabkan mereka kehilangan model yaitu sosok manusia yang mampu membimbing mereka ke jalan yang benar. Me reka kehilangan teladan, representant, sosok yang mampu membuat mereka untuk ber esensi, justeru itulah mereka gagal untuk meru muskan tujuan hidup manusia sesung guhnya.

Di abad ke 21 ini kita masih berhadapan dengan 3 pertanyaan besar Dunia:

-- Siapakah manusia itu sesungguhnya?
-- Apakah tujuan hidupnya? (Untuk apa dia dijadikan)
-- Apa sajakah kebutuhannya?

Tiga pertanyaan utama di atas merupakan hal yang teramat penting untuk kita lon tarkan kepanggung Dunia agar dapat didiskusikan dengan seksama. Bila kita ingin me nuntaskan suatu persoalan, kita harus arif melihat akar permasalahannya. Berbicara tentang Manusia dan Pendidikan, tidak boleh tidak kita harus kembali kepada sang Khaliq sebagai sumber pendidikan dan Pencipta Manusia itu sendiri (Surah Al-Alaq 1-5).

Untuk mengetahui apakah manusia itu, pertama sekali mari kita lihat sebuah Legenda ilmiah berikut: "Seorang sarjana Bumi akan mengadakan penelitian di planet Mars. Seti banya di Mars, dia menemui sebuah University dimana seorang sarjana planet Mars se dang memberikan kuliah kepada mahasiswanya tentang hasil penelitiannya di Bumi. Sar jana Bumi memutuskan untuk mendengar kuliah sarjana planet Mars, bagaimana hasil penelitiannya di Bumi. Sarjana Bumi mencatat point yang dikira penting dari ucapan sarjana Mars: "...........Manusia itu pintar, kuat dan bagus bentuknya, tetapi mereka angkuh, serakah, licik dan kejam. Hobby mereka adalah berperang sesamanya. Mula-mu la saya kira mereka berperang untuk memakan dagingnya, rupanya prediksi saya keliru. Mereka meninggalkan mayat-mayat begitu saja setelah menyanyikan lagu heroiknya. Me reka berperang hanya untuk mengikuti perintah tuannya. Mereka tidak memiliki tuju an yang benar, untuk apa sebenarnya mereka berperang......."

Apa yang dinyatakan sarjana Mars itu sesungguhnya tidaklah menunjukkan esensi Manu sia, tetapi Basyar. Basyar adalah makhluk yang tidak pernah beresensi. Mereka adalah orang-orang yang tidak memahami tujuan hidup yang sebenarnya. Mereka tidak mene mui kebenaran disebabkan banyaknya kezaliman yang telah mereka kerjakan di planet Bumi ini. Mereka memang pintar tetapi tidak teguh Iman. Betapapun kebenaran kita sampaikan kepada mereka namun mereka tetap membantahnya dengan menggunakan versi "Hikayat Musang".
Berikut ini dengarkan apa kata Albert Camus tentang teory manusia: "Aku ada, karena aku memberontak, kalau aku tidak memberontak aku tidak pernah ada" . Inilah yang di katakan Manusia dan ini juga yang saya terima sebagai teori yang benar sebagai Manu sia/annas/becoming. (It's not just only being but becoming)

Adam adalah Malaikat yang baru menjadi manusia setelah memberontak terhadap intui si Syurga. Kecuali Adam, tidak seorangpun dibenarkan memberontak terhadap tatanan Allah. Pemberontakan terhadap tatanan Thaghut adalah proses Esensi manusia. Lihat lah bagaimana Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad yang masing-masing memberontak terhadap tatanan Namrud, Firaun, Kaisar-kaisar di Roma dan Abu Sofyan bin Harb. Imam 'Ali terhadap Muawiyah bin Abi Sofyan, Imam Hussein bin Ali terhadap Yazid, bin Muawiyah. Untuk lebih jelas mari kita lihat versi Pemilik Dunia ini sebagai argumen tasi yang mutlaq kebenarannya

Untuk menjawab pertanyaan apakah manusia itu, utamanya harus berpedoman pada kalam Ilahi (Q.S 2:30). Bila Kitab Al Qur-an kita baca keseluruhannya akan kita te mui banyak kesimpulan, diantaranya kesimpulan tentang Malaikat, Iblis dan Adam. Sesungguhnya ketiga jenis makhluk diatas pada awalnya adalah Malaikat. Yaitu Malai kat yang diciptakan dari sinar (saya istilahkan dengan M1), Malaikat yang diciptakan dari api (saya istilahkan dengan M2) dan Malaikat yang diciptakan dari tanah (saya istilahkan dengan M3). Adapun urutan penciptaannya adalah, M1, M2, dan terakhir sekali M3.

M1 adalah Malaikat yang tunduk patuh secara mutlak kepada Allah, sejak dari pencipta annya sampai hari Kiamat, bahkan hari Akhirat. M2 Malaikat pembangkang, tidak ma hu tunduk patuh kepada Allah. Setelah Allah menciptakan M3, Allah memberi perin tah kepada M1 dan M2 supaya sujud kepada M3. M2 berkilah dengan kesombongannya bahawa dia dijadikan dari api sedangkan M3 (Adam) dijadikan dari tanah yang menurut M2, M3 lebih hina daripada M2. Disamping itu M2 juga beragumentasi bahwa dia dija dikan lebih duluan dari M3 (Lalu Allah mencabut status Malaikatnya dan mengganti kannya dengan status Iblis atau Syaithan dan dia termasuk golongan kafir, sementara tempatnya kelak dalam Neraka (QS,7:11-18). Sedangkan M3 setelah bernegosiasi de ngan M1 ternyata dia lebih unggul dari M1. M3 memiliki ilmu, ilmu tentang nama-nama yang tidak dimiliki oleh M1. Justru itu pantaslah Allah mengangkat Adam seba gai wakilNya di Bumi. Hal ini diabadikan Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 30 - 34.

M3 ditempatkan Allah dalam Syurga bersama permaisurinya Siti Hawa. Allah memberi tahukan mereka berdua agar jangan mendekati pohon ini (hazihis syajarata) sebagai ba tas daerah operasionalnya di kawasan Syurga. Secara syar'i M1 dan permaisurinya dige lincirkan Syaithan dengan mengatakan bahwa pohon itu bernama pohon Kekal (khuldi). Agar kekal tinggal di Syurga, M3 ditawarkan untuk memakannya. Dan M3-pun tergoda bersama permaisurinya. Karena telah melanggar batas yang telah ditentukan Allah, M3 berobah statusnya menjadi Manusia yang bernama Adam dan keduanya diperintahkan turun ke Bumi. Karena pelanggaran yang dilakukan M3 akibat ulah M2, Allah masih menerima taubatnya di Dunia yang kelak akan kembali lagi ke Syurga. Hal ini dapat ki ta lihat dalam Surah Al Baqarah ayat 35 - 38.

Secara philosofis kendatipun Syaithan menggoda M3, M3 tahupersis resiko memakan buah kayu tersebut yang secara philosofis juga lebih tepat dinamakan buah Kearifan. Ketika M3 sadar mereka tidak produktif di alam surgawi, mereka berkorban demi ke manusiaan dengan cara memakan buah Kearifan . Kendatipun resikonya diturunkan ke Bumi, sebagai hukuman dari pelanggaran yang mereka lakukan, namun mereka juga pu nya nilai plus yaitu disamping punya Wawasan dan Kearifan mereka juga sudah dapat berproduksi sementara sebelum memakan buah kearifan, mereka harus tunduk patuh secara mutlak terhadap Konstitusi yang ada di Syurga, tanpa memberi kesempatan kepada keduanya untuk berfikir bebas dan juga bebas berbuat dengan segala resikonya.

Diatas segalanya mereka melepaskan diri dari status Malaikat yang tunduk patuh seca ra mutlak kepada Allah menjadi Manusia yang bebas berbuat dan mengembangkan ketu runannya (berproduksi). Pengorbanan M3 sangat diharapkan manusia sebagai keberun tungan. Andaikata M3 tidak mahu memakan buah Kearifan, sampai hari ini mereka te tap berdua saja yaitu M3 dan permaisurinya Siti Hawa.Sebab di Syurga hanya tempat bersenang-senang dan menikmati fasilitas Syurga yang serba kompleks, gemerlap dan fantastis, bukan tempat bekerja dan melahirkan bayi. Andaikata di Syurga dapat mela hirkan bayi, otomatis memerlukan kerja, paling kurang baby sister, buat perawatan ba yi-bayinya. Padahal di Surga tidak ada anak-anak dan juga tidak ada orang tua. Umur mereka semua muda belia dan jangan lupa kelak Imam Hassan dan Imam Hussein sebagai ketua pemudanya di Syurga (Hadist Nabi suci)

Adam sebagai manusia pertama, diciptakan Allah dari tanah, elemen yang paling hina namun di kombinasikan dengan roh Allah,spirit suci. Justru itu pada manusia terdapat dua kecenderungan. Kecenderungan mengikuti tanah sebagai bahan bakunya yang mem buat dia hina dan kecenderungan mengikuti spirit Allah, roh suci yang menjadikan dia sangat mulia dalam pandangan Allah (lebih unggul dari para Malaikat). Tubuh manusia berasal dari tanah namun kendatipun dia cantik (ganteng) tidaklah berarti apa-apa kalau tidak ada nyawa, roh suci. Tubuh tanpa nyawa akan menjadi santapan cacing-ca cing tanah.

Kehidupan di Dunia akan menghadapkan manusia pada dua jalan. Jalan yang mendaki lagi sukar dan jalan yang mulus lagi menyenangkan (QS,90:10). Jalan yang mendaki lagi sukar adalah jalan yang membebaskan kaum dhuafa dari belenggu penindasan dan penjajahan, yang menimpa kuduk-kuduk mereka, membebaskan manusia dari system perbudakan, baik perbudakan ortodok maupun perbudakan modern (QS,7:157 & QS, 90:12-18). Untuk menempuh jalan ini tidak boleh tidak dituntut untuk mendirikan system Allah. Untuk mendirikan sistem Allah membutuhkan kemantapan Power dan Ideology sebab pasti akan berhadapan dengan kekuatan system Thaghut, jelasnya pasti akan berhadapan dengan medan tempur. Justru itulah para Rasul dilengkapi dengan Ideology, Mizan dan Power (QS Al-Hadid : 25).

Setelah periode para Rasul berakhir, tugas mendirikan system Allah dilanjutkan para Imam yang diutus. Andaikata di suatu negeri tidak ada para Imam, tugas tersebut akan diambil alih oleh Ulama warasatul Ambia atau Penyeru-penyeru kebenaran secara kolektif sebab tugas mendirikan system Allah adalah Haq, lawan kata daripada Bathil. Hal ini perlu digarisba wahi sebab banyak orang yang terkecoh dengan pendapat klasik yang mengatakan hukumnya wajib. Haq dalam konteks ini kedudukannya di atas wajib. Bila hukumnya wajib, andaikata tidak didirikan paling-paling berdosa. Sedangkan perkara dosa masih ada jalan untuk meminta ampun. Sedangkan perkara Haq, bila tidak didiri kan hukumnya bathil. Resiko berada dalam system yang batil adalah Neraka. Andaikata kita tidak berada dalam system Allah (Haq), otomatis kita berada dalam system Tha ghut (bathil) kecuali taqiyah. Untuk kasus ini Allah berfirman; "Qul ja al haqqu waza haqal baathil, innal bathilakana zahuuqa"

Jalan yang mulus lagi menyenangkan adalah jalan Qabil, pembunuh manusia. Jalan Nam ruz, Fir-aun, Kaisar-Kaisar di Rhoma. Jalan Abu Sofyan bin Harb, Muawiyah bin Abi Sofyan, Yazid bin Muawiyah. Jalan orang-orang yang bersatupadu dalam system Tha ghut  kecuali terpaksa "Taqiah". Kesemuanya adalah jalan orang - orang yang mencari kebahagiaan Dunia diatas penderitaan orang lain (baca kaum mustadh’afin). Mereka itu umumnya baik secara langsung maupun tidak langsung, menentang ayat-ayat Allah. Me reka sekedar bereksistensi dan tidak pernah beresensi. Manakala berbicara tentang Ne gara Islam, Kedaulatan Allah, System Allah, sebagian mereka langsung menentangnya, sementara sebagian yang lain merasa grogi, memperlihatkan sikap yang tidak se nang dengan mengemukakan berbagai dalih. Tidak mungkinlah, mustahillah, mimpilah, dsb. Mereka mengaku diri sebagai orang beriman, Islam. Mereka sesungguhnya telah dinya takan Allah dengan jelas dalam Al Qur-an Karim surat Al Baqarah ayat 8 - 20. Hal ini juga terdapat dalam surat yang lainnya seperti Surat Al-Munafiqun dari ayat 1 sampai ayat 8 dan juga ayat-ayat di surat-surat lainnya.

Untuk menjawab pertanyaan kedua: apakah tujuan hidup manusia, ada beberapa penda pat yang beredar di kalangan Ummat Islam tentang tujuan hidup. Ada yang mengata kan tujuan hidup adalah untuk mencari kese nangan, kebahagiaan, kesejah teraan, ke tenteraman, keamanan dan keharmonisan. Orang-orang yang menga kui tujuan hidup seperti itu, sangat tidak mungkin untuk diajak mendirikan system Allah. Mereka tidak mahu mengambil resiko yang akan memba hayakan kehidupannya. Sementara yang lain meyakini bahawa tujuan hidup adalah untuk beribadah. Mereka meyakini bahawa yang dimaksudkan ibadah hanyalah shalat, shaum (puasa) bertahlil dan bersamadiyah, berdo 'a, membaca Quran dan naik Haji ke Baitullah. Mereka itu keliru 180 derajat. Kekeliru an ini disebabkan ketidaktepatan dalam menterjemahkan kata "liya'buduni" dalam Surat Azzariyat ayat 56. Adapun terjemahan yang tepat adalah: "tunduk patuh kepadaKu" lengkapnya: "tidaklah Kujadikan Jin dan Manusia kecuali untuk tunduk patuh ke pada Ku".

Namun demikian tidaklah salah kita terjemahkan beri'badah kepada-Ku asal saja kita mampu memahami apakah "ibadah" itu sesungguhnya. Apa saja kegiatan manusia di dunia ini disebut i'badah mulai dari aktivitas yang terkecil (kedip mata) sampai mem bangun Daulah Allah (System Allah). Tinggal lagi alamat i'badah terse but ada dua, yaitu Allah dan Thaghut. Kedip mata saat membaca Kitab Al-Quran untuk membuat lebih jelas/terang berarti beribadah kepada Allah, sedangkan kedip mata saat berjumpa dengan lawan jenis adalah beri badah kepada Thaghut. Mendirikan system Allah berarti beribadah kepada Allah sedangkan mendirikan sys tem Thaghut berarti beribadah kepa da Thaghut. Disamping itu kita juga harus memahami benar bahwa ibadah itu memiliki dua dymensi yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya bagaikan dua sisi mata uang. Yaitu sisi ritual (hablum minallah) dan sisi sosial (hablum minannas). Ibadah da lam persepsi orang sesat, hanyalah mencakup sisi ritual saja, mereka cenderung menga baikan sisi sosialnya, termasuk ibadah sosial yang terbesar yaitu mendirikan system Allah (kedaulatan Allah).

Membaca Qur-an adalah ibadah ritual. Ketika kita pahami dalam bahasa kita sendiri untuk kita amalkan, barulah masuk wilayah sosial, kecuali penduduk Dunia yang berba hasa Arab. Hal inilah yang membuat orang keliru. Banyak sekali orang-orang yang me ngaku dirinya orang Islam, namun tidak memahami akan fungsi Al Qur-an. Padahal Allah sendiri telah menyatakan dalam Al-Quran: "Kitab (Qur-an ini) tidak ada kera guan (sedikitpun) padanya, adalah sebagai Petunjuk bagi orang-orang yang taqwa". Namun mereka sepertinya telah merobah fungsi Al Qur-an dari hudal lin Naas kepada lil Qari. Bagaimana mungkin pada satu sisi kita mengaku al Qur-an sebagai Pedoman Hidup, namun di sisi yang lain kita hanya membaca-baca saja tanpa be rusaha memaha mi pesan-pesan Allah dalam pedoman itu sendiri.

Dewasa ini memang sudah menjadi kenyataan dimana-mana hampir di seluruh dunia, ba nyak sekali sekolah-sekolah yang kuri kulumnya sekedar membaca Qur-an, menghafal Qur-an dan menggunakan Qur-an sebagai seni, baik seni qari maupun seni kaligrafi. Se pertinya tak ada sama sekali sekolah memahami Qu-ran. Kalau kita pikir berdasarkan pesan Allah sendiri " . . . .Afala ta'qilun dan afala yatazakkarun". Bagaimana mungkin ada sekolah untuk memahami al Qur-an di negara-negara yang menggu nakan system Thaghut. Andaikata ada sekolah memahami Qur-an di negara tersbeut pastilah akan bermuara kepada mendirikan system Allah. Itulah yang membuat mereka berusaha untuk mempelintirkan fungsi Qur-an di tengah-tengah ummat Islam (ayat-ayat muh kamat dikatakan mutasyabihat). Ini sebetulnya kerjanya antek-antek Snough Hugro nye. Snough Hughronye adalah orientasli bangsa Belanda yang telah mengenyam pen didikan di Saudi Arabia selama lebih kurang 20 tahun dan berhasil mengelabui seba hagian besar bangsa Acheh - Sumatra dengan menukar namanya menjadi Abdul Ghafur.

Orang-orang yang meyakini tujuan hidup hanya untuk beribadah ritual semata, juga meyakini untuk mencari pahala semata-mata. Keyakinan mereka berbuat baik di dunia juga untuk mem peroleh syurga di Akhirat ke lak. Untuk memperjelas masalah ini pembaca dipersilakan me ngikuti alinea berikut dengan seksama. Sebagai mana yang telah ditegaskan oleh Allah SWT: " . . . . . afala ta'kiluun? . . . . . . . afala yatazakkarun?"

Umpamakan saja kita mempunyai dua orang kemenakan. Yang pertama bernama Bal'am dan yang kedua bernama Mukhlis. Si Bal'am senantiasa siap melakukan apa saja yang kita suruh asal saja memberikan sedikit uang setiap tugas itu dilaksanakan. Sementara si Mukhlis juga siap apasaja yang kita suruh, namun dia tidak mengharapkan pemberian kita. Dia mahu melakukan apa saja yang kita suruh adalah semata-mata karena kita adalah pamannya. Sebagai paman se jati, kita mustahil mengabaikan keihklasan karya baktinya. Sudah barang pasti kita akan mem berikan yang terbaik sebagai imbalannya pada saat - saat tertentu. Si Bal'am perumpa maan orang-orang yang berbuat baik di Dunia ini dengan mengharapkan pahala yang nota benenya tentu saja Syurga.

Mereka menfokuskan harapannya pada pemberian Allah, bukan padaNya. Sedangkan si Mukhlis, perum pamaan orang-orang yang berbuat baik di dunia secara ikhlas tanpa mengharapkan pahala. Mereka mahu berbuat baik semata-mata kerana Allah yang mereka yakini benar sebagi Tuhannya, Kekasih nya, Pemiliknya. Orang-orang yang memperham bakan diri kepada Allah semacam itu Allah pasti memberi Syurga kepada mereka di hari Akhirat kelak. Si Bal'am pasti akan menjadi orang jahat di permukaan planet Bumi ini andai kata, Oh, "Andaikata" ini harus digarisbawahi agar tidak terjadi kesalahpahaman (mis-under standing) bak kata orang European. Andaikata Allah tidak membuat Neraka, orang-orang seperti Si Bal'am pasti menjadi orang jahat di Dunia ini, sebab mereka juga akan memperoleh fasilitas surga kelak di hari Akhirat (Imam Khomeini: 40 Hadis-hadis Pilihan, Penerbit Mizan Bandung).

"Afala ta'qilun?, afala yatazakkarun?"
Karena manusia dijadikan Allah dari dua unsur, tanah dan spirit Allah, kebutuhanpun terdiri dari dua unsur, unsur material dan unsur spiritual. Dengan kata lain manusia membutuhkan kurikulum perut dan kurikulum otak. Karena manusia membutuhkan kedua jenis kurikulum tersebut, Allahpun melengkapi manusia dengan ilmu primer dan sekunder. Ilmu primer adalah ilmu yang diturunkan Allah melalui para Rasul yaitu Al-Quran dan Hikmah (QS 62: 2). Sipapun yang telah memiliki ilmu tersebut pasti tidak akan sesat dalam hidup ini. Ilmu tersebut merupakan sebagai mesin untuk menghidupkan "lampu-lampu" kehidupan yang dapat menerangi jalan hidup seseorang untuk menapaki jalan yang lurus (Mahdi Ghulyani: Falsafah Al-Quran dalam Perspektif Ilmu-ilmu Islam, Mizan Bandung). Di dunia Barat pada umumnya mengalami kekosongan daripada jenis ilmu-ilmu tersebut. Hal ini terjadi bersamaan dengan kehilangan manusia teladan, representant atau model untuk ditiru. Sedangkan di dunia Timur umumnya mengalami dekaden.

Di dalam ilmu primer tersebut di atas terdapat juga sinyal-sinyal berkenaan dengan ilmu-ilmu sekunder. Dengan istilah yang lain terdapat lampu-lampu untuk menerangi esensi dari ilmu-ilmu sekunder. Ilmu sekunder dibutuhkan manusia untuk meraih kesejahteraan hidup di atas planet Bumi ini. Dengan kata lain, ilmu sekunder yaitu ilmu untuk mempermak permukaan Bumi ini sekalian dengan manusianya yaitu science dan tekhnology. Ilmu tersebut diturunkan Allah di "Padang Arafah", tempat pertama bertemunya Adam dan Hawa. Sedangkan ilmu Hikmah diturunkan di "Masyarul Haram", suatu tempat yang ditujukan Adam dan Hawa untuk mendapatkan kesadaran suci (DR 'Ali Syari'ati: Haji. Penerbit Rajawali, Surabaya).

Ilmu sekunder (science dan technology) merupakan suatu alat untuk meraih Tujuan Hidup yang benar, yaitu mencari keredhaan Allah. Kalau pemilik alat tersebut juga memiliki petunjuk yang benar (baca ilmu primer) otomatis mereka akan menggunakan alat tersebut untuk mencari keredhaan Allah. Berbicara tentang alat sama dengan berbicara tentang sarana. Umpamakan saja "GLM" yang pernah digunakan TNA dalam perjuangan kemerdejkaannya. Persoalannya sekarang kalau GLM itu di pegang oleh orang-orang yang sedang mabuk (gila) tentu me reka akan menembak siapa saja yang melintas di depan mata kepalanya. Namun kalau pe megang GLM tersebut orang-orang beriman (memiliki ilmu primer yang benar) mereka tidak akan menembak siapapun kecuali musuh Allah, yaitu orang-orang yang haq ditembak, berda sarkan petunjuk Allah sendiri dari Al Qur-an (QS,4:75-76,QS,2:193,216,QS,8:60-65,73,QS,4:71-78,QS,9:14-15) dan masih banyak lagi ayat-ayat lainnya. Dengan demikian kalau ada orang yang mengatakan bahwa ilmu science dan tehnology itu ilmu sekuler, keliru 180 derajat. Ilmu tersebut netral, sekuler tidaknya suatu ilmu tergantung kepada pemiliknya. Ilmu tersebut berasal dari Allah (Imanuddin Abdul Rahim, Pengantar buku Islam Alternatif, karya DR Jalaluddin Rah mat, Penerbit Mizan, Bandung).

Pendidikan
Berbicara tentang Pendidikan adalah berbicara tentang kebutuhan manusia. Sebagaimana yang telah penulis uraikan di atas yang berhubungan dengan pertanyaan nomor 3, yaitu apa saja kebutuhan-kebutuhan Manusia.

Dalam alinea-alinea berikut ini akan kita bicarakan konsep pendidikan Islam secara Kaffah. Ber bicara menge nai konsep sama halnya dengan berbicara tentang Percetakan dalam suatu Pabrik/mesin Pencetak. Jadi yang pertama kita pikir adalah model barang yang bagaimana yang dibutuhkan konsumen. Sedangkan konsep Pendidikan adalah percetakan kader-kader yang dibutuhkan oleh Pemilik konsep itu sendiri. Kalau kita ingin membuat konsep pendidikan Islam secara Kaffah, pemilik konsepnya adalah Allah. Artinya konsep yang kita buat haruslah berdasarkan petunjuk Allah dalam Al Qur-an. Justru itu kurikulum setiap jenjang pendidikan haruslah terdiri dari materi pema haman Al-Quran di urutan nomor satu, mulai dari sekolah lanjutan pertama sampai ke Perguruan Tinggi.

Di Perguruan Tinggi selain adanya materi Pemahaman Al-Quran sebagai mata kuliah mayor di setiap jurusan, pemahaman Al-Quran juga harus merupaka syarat mutlak untuk meraih gelar sarjana. Sedangkan di S2, dan Program Doktoral otomatis tentang pemahaman Al-Quran dalah pakarnya. Konsep seperti ini akan membuahkan manusia-manusia yang pintar dan juga teguh Iman. Setiap lembaga pendidikan dapat dipastikan bah wa materi yang terutama adalah Pemahaman Al-Quran. Lalu porsi kedua ditempatkan oleh Hadist Ittrah Nabi suci. Sejarah Para Rasul, Imam-imam yang di utus dan Ulama Warasaul Ambiya. Selanjutnya diikuti oleh materi perbandingan mazhab yang difokuskan pada toleransi yang sangat tinggi antar semua pengikut mazhab. Mengingat pesan persatuan sangat diutamakan dalam Islam sejati (QS,3:103-107), sehingga kita sadar siapa musuh kita yang sebenarnya. Sering kali terjadi pertikaian antar mazhab di tengah-tengah komunitas kaum muslimin, padahal hal ini merupakan PR yang disodorkan oleh musuh-musuh kita.

Biaya Pendidikan sejak dari Sekolah Dasar sampai ke Perguruan Tinggi ditanggung sepenuhnya oleh Negara, termasuk biaya transportasi. Sedangkan gaji para guru haruslah yang tertinggi dibandingkan pegawai-pegawai lainnya termasuk militer sekalipun. Dalam pandangan Islam, guru adalah posisi yang paling mulia di tengah-te ngah masyarakat. Dalam hal ini kita dapat meyaksikan apa yang terjadi di Acheh khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Dari penelitian yang pernah penulis buat dengan opsi guru, dokter, tentara, dan pegawai sipil, rata-rata responden lebih suka menjadi dokter dan tentara daripada guru. Minat untuk jadi guru lebih tipis bahkan dibandingkan dengan pegawai sipil sekalipun. Hal ini terjadi disebabkan financial guru yang kurang terja min dibandingkan dengan pegawai lainnya.

Perpustakaan
Perpustakaan merupakan sarana yang paling penting dalam dunia pendidikan, sama halnya dengan Apotik da lam dunia pengobatan. Karena itu perpustakaan haruslah selektif daripada unsur-unsur yang merusakkan idealis Islam. Buku-buku orientalis tidak boleh dibaca kecuali pasca Sarjana, mengingat mereka adalah orang-orang yang telah mantap di bidang 'Akidah/ Ideology, Siasah Fatanah (politik Rasul) dan Sejarah Islam.

Untuk orang-orang non akademis (masyarakat biasa) membutuhkan Perpustakaan Keliling yang juga gratis/ dibiayai oleh Negara. Buku-buku di Perpustakaan Keliling juga harus selektif benar, sedangkan buku-buku yang masuk dari Luar Negeri harus melalui tim sensor yang be nar-benar terpercaya dan bertanggung-jawab kepada Allah SWT. Apabila konsep Perpustakaan Keliling berhasil diterapkan akan membuahkan kesadaran masyarakat Islam yang luarbiasa. Seorang kepala keluarga akan sadar bahwa ketika mereka kembali ke rumah tangga tidak hanya membawa roti kepada keluarganya tetapi juga buku. Roti pelambang makanan adalah sarana un tuk memenuhi kurikulum perut (empat sehat lima sempurna), sedangkan buku untuk meme nuhi kebutuhan kurikulum otak. Hal ini memang tidak akan berhasil selama pemimpin-pemimpin negara itu sendiri belum siap untuk hal seperti itu.

Jadi faktor kepemimpinan sangat menentukan keberhasilan suatu konsep. Karena itu berbicara Pendidikan Islam kaffah adalah berbicara system kedaulatan Allah dimana Pemimpin Top Leadernya pastilah Imam atau minimal Ulama Warasatul Ambiya yang tidak takut kepada siapapun kecuali kepada Allah.

Pemimpin yang bertype seperti itulah yang benar-benar memimpin ummahnya ke jalan yang diredhai Allah dan ummahpun bersatu padu bergerak ke arah yang sama pada poros bimbingan Sang Imam (Wakil Tuhan). Ne gara yang memiliki ummah dan Imamah seperti itulah yang da pat disebut Baldatun Thaiyyibatun Wa Rabbun Ghafur. Tidak sembarangan negara dan tidak mungkin disandang oleh suatu negara yang nota benenya lebih tepat disebut negara Thaghut macam Hindunesia-Jawa, bukan?

Penutup
Karena sumber pendidikan manusia berasal daripada Allah (Surah Al-Alaq 1-5), maka konsep Pendidikan Islam Kaffah haruslah dapat memproduksikan manusia-manusia yang pintar dan teguh Iman, bukan manusia-manusia sekuler. Kalau Manager Perusahaan harus memahami produksi yang bagaimana dibutuhkan konsumer, Manager Pendidikan harus memahami kualitas manusia yang bagaimana dikehendaki Allah, bukan yang dikehendaki masyarakat/konsumen.






Billahi fi sabilil haq.
hsndswp
di
Ujung Dunia