MUSHAF FATIMAH DITUDUH SEBAGAI
QUR-AN SYI'AH
5 Juli 2013 pukul 17:16
Mushaf Fatimah Quran Syi’ah?
by: syiahali
Artikel Islami:
Mengenal Mushaf Sayidah Fathimah
Az-Zahra as.
Salah satu nama Sayidah Fathimah
adalah Muhaddatsah. Imam Shadiq mengenai sebab penamaan Fathimah az-Zahra
dengan nama Muhaddatsah berkata, “Fathimah as disebut Muhaddatsah karena
malaikat Jibril senantiasa turun dan menyampaikan kabar kepadanya sebagaimana
menyampaikan kabar kepada Maryam as; putri Imran”.
Sebagian Muslimin menuduh bahwa
mushaf Fathimah az-Zahra as adalah Quran orang-orang Syiah yang ada di ta ngan
Imam Mahdi af yang akan disodorkan ketika dia muncul. Dan sebagian
mempersoalkan keberadaan mushaf itu.
Pertanyaannya adalah mengapa
sebagian Muslimin begitu benci dan menaruh dendam terhadap Syiah dan menuduh
bahwa orang-orang Syiah memiliki al-Quran sendiri selain yang ada di tangan
orang non Syiah? Bahkan sampai saat ini senantiasa ada orang-orang dengki yang
mengkritik secara tidak obyektif hanya ingin menjatuhkan dan mencari kelemahan
saja tanpa ada niat ingin mencari kebenaran? Ada beberapa kemungkinan terkait
sikap permusu han ini:
1. Selain mereka tidak merujuk ke
sumber-sumber hadis Syiah, mereka hanya termakan oleh hasutan musuh-musuh Syiah.
2. Mereka tidak mau menerima bahwa orang-orang Syiah meyakini bahwa
Fathimah as; putri Nabi Muhammad saw memiliki sebuah mushaf.
3. Kebencian dan kekerasan hati
mereka terhadap ajaran Syiah yang disampaikan oleh para Imam Maksum as dan
tidak mau orang lain memiliki keyakinan seperti itu apalagi dirinya.
4. Mereka berpikir bahwa mushaf
adalah kumpulan al-Quran sebagaimana istilah yang diterapkan pada zaman
Rasulullah saw bahwa mushaf adalah kumpulan-kumpulan tulisan al-Quran, padahal
pada zaman itu mushaf secara bahasa adalah kumpulan-kumpulan lembaran yang
sudah dijilid dalam bentuk sebuah buku. Jadi mushaf bukan hanya kumpulan
tulisan al-Quran saja, tetapi mencakup juga kumpulan-kumpulan tulisan selain
al-Quran. Oleh karena itu, mushaf Fathimah adalah kumpulan-kumpulan tulisan
yang isinya adalah pembicaraan malaikat Jibril kepada Sayidah Fathimah
sepeninggal ayahnya. Walaupun sampai saat ini al-Quran itu sendiri juga dikenal
dengan istilah “Mushaf Syarif”.(1)
Abu Basyir berkata, “Aku berada
di sisi Imam Shadiq as dan aku berkata, ‘Apa mushaf Fathimah itu?’ Beliau menjawab, ‘Mushaf yang
tebalnya tiga kali al-Quran yang ada di tanganmu. Namun, demi Allah! Tidak satu katapun dari al-Quran ada
di dalamnya.(2)
Hadis
ini menjelaskan bahwa mushaf Fathimah
tebalnya tiga kali al-Quran dan tidak satu katapun, namun dari sisi kandungan
dan topik, kendati satu katapun dari zahirnya al-Quran tidak tampak disana.
Boleh
jadi orang-orang yang dengki akan menyanggah bahwa banyak hadis-hadis tentang
“al-Quran mencakup semua hukum, dan kejadian-kejadian sekarang dan yang akan
datang”, lalu untuk apa mushaf Fathimah itu dan ba gaimana memahami hadis
berikut ini:
Allamah
Majlisi menjelaskan, “Iya memang al-Quran demikian, tetapi mushaf adalah makna
dan bacaan yang tidak kita pahami dari al-Quran, bukan tulisan lahiriahnya yang
kita pahami dari al-Quran. Oleh karena itu apa yang anda maksud adalah lafad zahirnya al-Quran,
dan itu tidak ada dalam mushaf
Fathimah.(3)
Untuk
mengetahui lebih dalam, apa sebenarnya mushaf
Fathimah? Sejak kapan ia ada? Mushaf ini mencakup pem bahasan apa saja?
Sekarang ada di mana dan di tangan siapa? Mari kita ikuti penjela san berikut
ini. Mungkin bisa membuka wawasan sebagian kita yang belum banyak
mengetahuinya.
Salah satu nama Sayidah Fathimah
adalah Muhaddatsah. Imam Shadiq mengenai sebab penamaan Fathimah az-Zahra
dengan nama Muhaddatsah berkata, “Fathimah as disebut Muhaddatsah karena
malaikat Jibril senantiasa turun dan menyampaikan kabar kepadanya sebagaimana
menyampaikan kabar kepada Maryam as; putri Imran”.
Malaikat Jibril berkata kepada
Fathimah as sebagaimana berkata kepada Maryam; dalam ayat 42 dan 43 surat
Maryam. Berhubung lawan bicaranya adalah Sayidah Fathimah, maka Jibril berkata
demiki an, “Hai Fathimah! Sesungguhnya
Allah telah memilih kamu, menyucikan kamu dan melebihkan ka mu atas segala
wanita di dunia. Hai Fathimah! Taatlah kepada Tuhanmu, sujud dan rukulah
bersama orang-orang yang ruku”.(4)
Suatu malam, Sayidah Fathimah
berbincang-bincang dengan para malaikat dan berkata, “Bukankah Maryam; putri
Imran, wanita yang paling utama di antara wanita-wanita di alam?” Para malaikat
menjawab, “Maryam adalah wanita yang paling utama di zamannya, tetapi Allah
menetapkanmu sebagai wanita yang paling utama di zamanmu dan zamannya Maryam
dan kamu adalah penghulu semua wanita yang pertama sampai yang terakhir.(5)
Para
malaikat biasanya hanya berbicara dengan para nabi saja. Namun ada empat wanita
mulia yang hidup di zaman para nabi, dan kendati mereka bukan nabi, tetapi para
malaikat berbicara dengan me reka. Antara lain:
1. Maryam; ibu Nabi Isa as.
2. Istri Imran; ibu Nabi Musa dan
Maryam as.
3. Sarah; ibu Nabi Ishaq as.
4. Sayidah Fathimah as.(6)
Ketika Rasulullah Saww sakit di
atas tempat tidur. Ada orang laki-laki asing
mengetuk pintu. Sayidah Fathimah as bertanya, “Siapa?”
Ia menjawab, “Aku orang asing.
Aku punya pertanyaan kepada Rasulullah. Apakah Anda mengizin kan saya untuk
masuk?”
Sayidah Fathimah menjawab,
“Kembalilah, semoga Allah merahmatimu. Rasulullah tidak enak badan.”
Ia pergi dan beberapa waktu
kemudian kembali lagi dan mengetuk pintu sambil berkata, “ada orang asing yang
minta izin kepada Rasulullah, bolehkah dia masuk?”
Pada saat itu Rasulullah Saww
bangun dan berkata kepada putrinya, “Wahai Fathimah! Tahukah kamu siapa dia?”
“Tidak, ya Rasulullah!” jawab
Fathimah as
Beliau bersabda, “Ia adalah orang
yang membubarkan perkumpulan dan menghapus kelezatan duniawi. Ia adalah
malaikat maut! Demi Allah! Sebelum aku, ia tidak pernah meminta izin dari
seorangpun dan sepeninggalku ia juga tidak akan meminta izin dari seorangpun.
Karena kehormatan dan kemuliaan yang aku miliki di sisi Allah, ia meminta izin
dariku, maka izinkanlah dia masuk!”
Sayidah Fathimah berkata,
“Masuklah, semoga Allah merahmatimu!”
Kemudian malaikat maut masuk
bagaikan angin semilir seraya berkata, “Assalamu Ala Ahli Baiti Rasulillah!”(7)
Munculnya Mushaf Fathimah.
Imam Shadiq as berkata,
“Sepeninggal Rasulullah Saw, Sayidah Fathimah as hanya hidup selama tujuh puluh
lima hari. Di masa-masa kesedihan beliau itu malaikat Jibril selalu turun
menemuinya memberitakan keadaan ayahnya di sisi Allah dan memberitakan tentang
kejadian yang akan datang mengenai anak-anaknya (kejadian yang akan menimpa
kesyahidan anak-anaknya di tangan manusia-manusia zalim), dan Imam Ali
menulisnya dalam sebuah mushaf sehingga disebut sebagai mushaf Fathimah”.[8]
Poin-poin yang ada dalam mushaf
Fathimah as.
Abu Bashir bertanya kepada Imam
Muhammad Baqir as mengenai poin-poin yang ada dalam mushaf Fathimah.
Imam
menjelaskan kandungannya:
1.
Tentang berita sekarang dan kabar yang akan datang sampai Hari Kiamat.
2.
Tentang berita langit dan nama-nama malaikat langit.
3.
Jumlah dan nama orang-orang yang diciptakan Allah Swt.
4.
Nama-nama utusan Allah dan nama-nama orang yang mendustakan Allah.
5.
Nama-nama seluruh orang Mukmin dan Kafir dari awal sampai akhir penciptaan.
6.
Nama-nama kota dari barat sampai timur dunia.
7.
Jumlah orang-orang Mukmin dan Kafir setiap kota.
8.
Ciri-ciri orang-orang pendusta.
9.
Ciri-ciri umat terdahulu dan sejarah kehidupan mereka.
10.
Jumlah orang-orang zalim yang berkuasa dan masa kekuasaannya.
11.
Nama-nama pemimpin dan sifat-sifat mereka, satu persatu yang berkuasa di bumi,
dan keterangan pembesar-pembesar mereka, serta siapa saja yang akan muncul di
masa yang akan datang.
12.
Ciri-ciri penghuni surga dan jumlah orang yang akan masuk surga.
13.
Ciri-ciri penghuni neraka dan nama-nama mereka.
14.
Pengetahuan al-Quran, Taurat, Injil, Zabur sebagaimana yang diturunkan dan
jumlah pohon-pohon di seluruh daerah.(9)
Mushaf
Fathimah ada di tangan Imam Maksum as dan silih berganti sampai sekarang ada di
tangan Imam Mahdi af.
Abu
Bashir bertanya kepada Imam Muhammad Baqir as tentang siapakah yang memegang
mushaf tersebut sepeninggal Sayidah Fathimah. Imam Baqir menjawab, “Sayidah
Fathimah secara langsung menyerahkannya kepada Imam Ali as dan sepeninggal Imam
Ali ada di tangan Imam Hasan as kemudian sepeninggal beliau ada di tangan Imam
Husein kemudian silih berganti di antara Imam maksum keturunan Imam Husein
sehingga diserahkan kepada Imam Zaman af.(10) (IRIB Indonesia)
*) Makalah ini disarikan secara
bebas dari makalah Mushaf Fathimah Menurut Pandangan Para Imam Maksum as,
Mohammad Hassan Amani.
Catatan:
1.
Lisanul Arab, jilid 10 kata Shahafa dan Mufradat Raghib.
2.
Ringkasan hadis, Ushul Kafi, jilid 1, hal 239, Bashair ad-Darajat, hal 151 dan
Bihar al-Anwar, jilid 26, hal 28.
3.
Bihar al-Anwar, jilid 26, hal 40.
4.
Awalim Al-ulum wa al-Ma’arif wa al-Ahwal, Allamah Bahani, hal 36
5. Ibid.
6. Manaqib Ibnu Shahr Ashub, jilid
3, hal 336, penerbit Intisyarat Allamah.
7. Ibid.
8. Lihat: Ushul Kafi, jilid 1,
hal 240, Bashair ad-Darajat, hal 157,
Musnad Fathimah Az-Zahra, hal 282 dan Bihar al-Anwar, jilid 43, hal 80, jilid
26, hal 44-46 dan 48 dan jilid 47, hal 271.
9. Musnad Fathimah, rangkuman hal
290-291.
10. Ibib, hal 292.
Kata “mushaf” kini sering
difahami sebagai Al Qur’an; padahal dari segi bahasa artinya “sekumpulan
lembaran di antara dua sampul” yang kini kita sebut buku. Oleh karena itu,
Mushaf Fathimah adalah buku yang beliau miliki, yang mana riwayat-riwayat Ahlu
Sunah pun sering menjelaskannya pula. Misalnya, para perawi seperti Ubay bin
Ka’ab meriwayatkan bahwa ada sebuah buku yang dimiliki oleh Fathimah Azzahra.
Jadi tuduhan bahwa Syiah memiliki Qur’an lain yang disebut Mushaf Fathimah,
adalah tuduhan buta. Karena sama sekali tidak terbukti bahwa buku itu adalah Al
Qur’an, apa lagi Qur’an yang dianut Syiah.
Mengenai buku apakah itu, dalam
riwayat-riwayat Syiah juga banyak keterangan yang didapat. Misalnya tentang kandungan, volume, bagaimana dan kapan
buku itu ditulis, dsb. Berdasarkan hadits-hadits tersebut, dapat dinyatakan
bahwa buku itu mengandung hal-hal seperti wasiat Fathimah Azzahra, berita
tentang musibah-musibah yang akan menimpa anak cucunya kelak, berita tentang
peristiwa-peristiwa yang kelak akan terjadi, dan juga kabar mengenai raja-raja
dan para penguasa yang akan memimpin di muka bumi. Disebutkan pula buku itu
menjelaskan seluruh halal dan haram yang ada di dunia ini.
Bagaimana
dan kapan buku itu ditulis? Ada riwayat yang menjelaskan: “Rasulullah saw
menjelaskan hal-hal tertentu dan Imam Ali menulisnya.” Lalu jika demikian,
mengapa disebut Mushaf Fathimah? Jawabannya karena buku itu disimpan oleh
beliau. Ada juga yang mengatakan karena sebagian informasi yang tertulis dalam
buku itu sampai ke telinga Imam Ali melalui perantara Fathimah.
Riwayat
lainnya menjelaskan bahwa sepeninggal Rasulullah, Fathimah Azzahra terpuruk
dalam kesedihannya. Allah mengutus malaikat untuk menemaninya, berbicara
dengannya dan memberi berbagai macam berita seperti kedudukan ayahnya di alam
sana, dan juga masalah-masalah lainnya; yang akhirnya semua itu disampaikan
oleh beliau kepada Imam Ali dan Imam menuliskannya.[1]
Hanya
saja timbul pertanyaan mengenai yang terakhir ini, karena kita meyakini bahwa
dengan diutusnya Rasulullah, setelahnya tidak ada lagi wahyu yang diturunkan
kepada manusia. Jawabannya, apa yang terjadi pada Fathimah Azzahra bukanlah
diturunkannya wahyu, namun pembicaraannya dengan malaikat yang diutus Allah.
Sebagaimana kita membaca dalam Al Qur’an bahwa seringkali manusia memiliki
hubungan dengan malaikat, seperti yang kita dengar tentang Maryam [2]; Tuhan
juga pernah berkomunikasi dengan ibu nabi Musa [3]. Oleh karena itu, tidak
mustahil jika seandainya terjadi komunikasi antara Fathimah Azzahra dengan
malaikat yang diutus Allah. Yakni, seusai kenabian Rasulullah saw, terputuslah
hubungan antara Tuhan dengan manusia sebagai nabi, bukan terputusnya hubungan
Tuhan dengan makhluk-Nya sama sekali.
Di manakah Mushaf Fathimah saat
ini? Berdasarkan riwayat-riwayat yang sampai ke tangan kita, Mushaf Fathimah
diwariskan turun temurun oleh Ahlul Bait dan berdasarkan kitab itu para Imam
menjelaskan hukum-hukum syar’iy dan memberitakan peristiwa-peristiwa yang akan
datang.
Saya mengingatkan, akhir-akhir
ini ada buku yang bernama Shahifah Fathimah Azzahra. Perlu diketahui bahwa buku
itu bukanlah Mushaf Fathimah, melainkan hanya buku yang mencakup doa-doa
Fathimah Azzahra.
Rujuk:
1. Biharul Anwar, jilid 26; Tadwn
As Sunnah Asy Syarifah, halaman 77.
2. Ali Imran: 42-45
3. Al Qashash: 7
Tahrif Al-Qur’an.
Selama ini isu tentang tahrif
(perubahan dalam arti penambahan atau pembuangan ayat) pada Al-qur’an selalu
dituduhkan kepada syi’ah, dan hal ini telah dibantah oleh ulama syi’ah
sekarang. Padahal banyak riwayat pada ahlusunnah yang menyiratkan adanya tahrif
Al-qur’an, seperti berikut :
1. Ibnu Majah meriwayatkan dari
A’isyah, yang mengatakan bahwa Ayat Rajam dan Ayat Radha’ah yang ia simpan di
bawah ranjang telah dimakan kambing dan tidak ada lagi dalam Al-Qur’an.
Lihat :
a. “Ta’wil Mukhtalaf Al-hadits”
oleh Ibn Qutaibah, hal. 310.
b. Musnad Ahmad, jilid 6, hal.
269.
dll.
2. Aisyah mengatakan : “Pada masa
Nabi, Surat Al-Ahzab dibaca sebanyak 200 ayat, tetapi ketika Utsman menulis
mushaf ia tidak bisa mendapatkannya kecuali yang ada sekarang”
Ref. ahlusunnah :
1. Suyuthi, dalam “Al-Itqan”,
jilid 2, hal. 25.
2. Muntakhab Kanzul Ummal pada
Musnad Ahmad, jilid 2, hal. 1.
3. Musnad Ahmad, jilid 5, hal.
132.
dll.
Seperti kita ketahui bahwa surat
Al-Ahzab yang ada di mushaf sekarang ini adalah 73 ayat. Berarti menurut
riwayat tersebut ada 127 ayat yang hilang.
3. Umar bin Khottob mengatakan :
“Apabila bukan karena orang-orang akan mengatakan bahwa Umar menambah-nambah
ayat ke dalam Kitabullah, akan aku tulis ayat rajam dengan tanganku sendiri”
lihat :
a. Shohih Bukhori bab “shahadah
indal hakim fi wilayatil Qadla”.
b. “Al-itqan” oleh Suyuthi, jilid
2, hal. 25 dan 26.
c. Nailul Authar, kitab hudud
ayat rajam, jilid 5, hal. 105.
d.
Tafsir Ibnu Katsir, jilid 3, hal. 260.
e. “Hayatus Shohabah” oleh
Kandahlawi, jilid 2, hal. 12.
dll.
Bila
anda belum tahu mengenai ayat rajam, berikut bunyinya :
“Idzaa
Zanaya Syaikhu wa Syaikhotu Farjumuuhuma Al-battatan Minallaahi Wallaahu
‘Aziizun Hakiim”
lihat :
a. Suyuthi, dalam “Al-Itqan”,
jilid 2, hal. 25.
b. Abdur Rozaq, dalam
“Mushannif”, jilid 7, hal. 320.
c. Muntakhab Kanzul Ummal pada
Musnad Ahmad, jilid 2, hal. 1.
Dan ayat rajam ini tidak ada pada
mushaf Al-qur’an yang kita pegang sekarang ini.
Dan masih banyak lagi
riwayat-riwayat ahlusunnah yang menunjukkan adanya tahrif pada Al-qur’an.
Namun seperti yang saya katakan,
semua riwayat tentang adanya tahrif pada Al-Qur’an, telah dibantah oleh ulama
syiah yang bernama Syekh Rasul Ja’farian, dalam bukunya “Ukdzubah Tahrif
Al-Qur’an Baina Syi’ah Wa Sunnah”, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia “Menolak Isu Perubahan Al-Qur’an”, penerbit Pustaka Hidayah, Jakarta.
Saya sarankan anda membaca buku ini.
Tulisan ulama syi’ah tersebut
membantah semua riwayat, baik yang bersumber dari ahlusunnah maupun yang
bersumber dari ulama syi’ah terdahulu. Sehingga kesimpulannya, ulama syi’ah
sekarang seperti Syekh Rasul Ja’farian, Ayatullah Borujerdi, Imam Khomeini, dan
lain-lain, berdasarkan penelitian mereka, menolak adanya tahrif pada Al-qur’an.
Salah satu yang menjadi dasar
penolakan ulama syi’ah sekarang tentang tahrif, adalah adanya ayat-ayat
Al-Qur’an yang mendasari penolakan terhadap tahrif pada Al-Qur’an, yaitu :
1. [Q.S. 15:9], berbunyi :
“Sesungguhnya Kami telah
menurunkan Al-qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya”.
2. [Q.S. 41:41-42], berbunyi :
“….Dan sesungguhnya Alqur’an itu
adalah kitab yang mulia, yang tidak datang kepadanya kebatilan baik dari depan
maupun dari belakangnya. Yang ia diturunkan
dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji”.
Berikut
saya kutipkan pernyataan beberapa ulama syi’ah sekarang (selain Syekh Rasul
Ja’farian) tentang penolakan terhadap riwayat tahrif pada Al-Qur’an :
1.
Allamah Syahsyahani mengatakan tentang hadits tahrif, yaitu :
“..Hadits-hadits
ini bertentangan dengan hadits-hadits mutawattir yang lebih kuat dan sesuai
dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, akal sehat dan kesepakatan”.
2.
Imam Khomeini mengatakan tentang hadits tahrif, yaitu :
“Lemah,
tidak pantas berdalil dengannya”.
dan
masih banyak lagi yang lain.
Berikut
saya nukilkan juga ucapan seorang ulama besar ahlusunnah, yang bernama Al-Hindi
: “Sesungguhnya Al-Qur’an Al-Majid, di kalangan jumhur Syi’ah Imamiyah Itsna
Asyariyyah, adalah terjaga dari perubahan dan pergantian. Dan apabila ada juga
diantara mereka yang mengatakan adanya pengurangan pada Al-Qur’an, maka yang
demikian itu mereka tolak dan tidak mereka terima. “
lihat
:
Al-Hindi,
dalam “Idhharul Haq Haulasy Syi’ah Wal Qur’an”, jilid 2, hal. 128.
Tetapi
berbeda dengan ulama ahlusunnah, yang tidak pernah membantah terhadap
riwayat-riwayat tentang tahrif yang ada pada kitab-kitab ahlusunnah sendiri
sebagaimana yang telah saya nukilkan di atas.
Dan
pada pernyataan Sayyid Al-Khu’i (yang anda kutip) tidak berbicara tentang
tahrif, melainkan beliau berbicara tentang adanya ayat yang letaknya salah,
maksudnya adalah bahwa harusnya ayat tersebut berada pada tempat yang lain.
Sebagai contoh pada [Q.S. Al-Maidah 3], pada awal ayat membahas maudhu’
(subyek) tentang makanan yang halal-haram, tetapi tiba-tiba maudhu’ ayat
berubah menjadi “Pada hari ini orang-orang kafir
berputus
asa…….ku ridloi Islam menjadi agamamu”, kemudian dilanjutkan lagi dengan
maudhu’ tentang makanan yang halal-haram. Di sini jelas terlihat adanya maudhu’
yang tidak sesuai pada rangkaian ayat tersebut. Kesalahan penempatan atau
penertiban ayat adalah bukan tahrif, karena tidak terjadi penambahan atau
pembuangan ayat. Ini yang mesti anda fahami.
Sayyid
Al-Khu’i TIDAK PERNAH menyetujui pendapat adanya tahrif pada Al-Qur’an. Lihat kitab beliau
yang berjudul “Al-Bayan Fi Tafsiril Qur’an”.
Dalam sejarah pengumpulan
Al-Qur’an, maka ada banyak sekali mushaf, seperti seperti mushaf Ubay bin
Ka’ab, mushaf Utsman, mushaf Ibnu Zubair, mushaf A’isyah, mushaf Ali, dll.
Ref. ahlusunnah :
1. Abu Dawud, dalam “Mashohif”,
hal. 51-93.
2. Ibn Abil Hadid, dalam “Syarh
Nahjul Balaghah”, jilid 1, hal. 27.
3. Ibn Sa’ad, dalam “Thabaqat
Al-Kubra”, jilid 2, hal. 338.
dll.
Dan
yang sampai pada kita sekarang ini adalah mushaf Utsman. Karena Utsman tidak
ma’sum, maka bisa saja terjadi kesalahan peletakan atau penertiban ayat pada
Al-Qur’an. Namun, sekali lagi, hal itu BUKAN tahrif. Syekh Abdurrahim Tabrizi
TIDAK PERNAH mendukung pendapat tentang adanya tahrif Al-Qur’an. Lihat kitab
beliau yang berjudul “Alaur Rahim”. Sehingga, pasti telah terjadi pemotongan
kalimat beliau pada saat anda mengutipnya. Atau anda mungkin hanya mengutip
dari kitab-kitab yang anti syi’ah, yang penuh dengan kebohongan dan kepal suan.
1. Syiah
menyelewengkan al-Qur’an ?
Ulama
Syiah dari dulu hingga sekarang menolak pendapat tentang berlaku penyelewengan
dalam bentuk seperti berlaku perubahan/tahrif, lebih atau kurangnya ayat-ayat
Qur’an sama ada dari kitab-kitab Syiah atau Ahlul Sunnah.
Mereka
berpendapat jika hujah berlakunya perubahan ayat-ayat Qur-an diterima maka
Hadith sahih Nabi Muham mad saww yang bermaksud, ”Aku tinggalkan kamu dua
perkara supaya kamu tidak akan sesat selama-lamanya iaitu al-Qur-an dan Ahl
Baytku/Ittrahku,” tidak boleh dipakai lagi kerana al-Qur-an yang diwasiatkan
oleh Nabi saww untuk umat Islam sudah berubah dari yang asal sedangkan Syiah
sangat memberatkan dua wasiat penting itu dalam ajaran mereka. Lagipun
Hadith-hadith yang diriwayatkan dalam kitab-kitab Syiah berkaitan dengan tahrif
keatas al-Qur an yang berjumlah kira-kira 300 itu adalah Hadith-hadith dhaif.
Begitu
juga dalam kitab-kitab Sunnah seperti Sahih Bukhari turut menyebut tentang
beberapa Hadith tentang peruba han ayat-ayat Qur an misalnya tentang ayat rejam
yang dinyatakan oleh Umar al-Khattab, perbedaan ayat dalam Surah al-Lail dan
sebagainya. Bukahkah Allah SWT telah berfirman dalam al-Qur’an (Surah 15:9),:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Zikr (al-Qur’an), dan sesungguhnya Kami
memeliharanya.” Sekiranya seseorang itu menerima pendapat bahawa al-Qur’an
telah diselewengkan oleh sesuatu golongan maka di sisi lain orang ini sebe
narnya telah menyangkal kebenaran ayat di atas. Oleh itu semua pendapat tentang
kemungkinan berlakunya tahrif dalam ayat-ayat Qur an sama ada dari Syiah atau
Sunnah wajib ditolak sama sekali.
Imam
Ja’far al-Sadiq AS meriwayatkan sebuah Hadith dari datuknya Rasulullah SAW:
“Setiap Hadith yang kamu terima dan bersesuaian dengan Kitab Allah tidak
diragukan datangnya dari aku dan Hadith-hadith yang kamu terima yang
bertentangan dengan Kitab Allah, sesungguhnya bukan datang dariku.”
[Al-Kulaini, al-Kafi, Jilid I, Hadith 205-5].