SYAHID DR ALI SYARIATI MEMILIKI PIKIRAN YANG SANGAT TAJAM
LEBIH 'TAJAM'
DARI "PEDANG SISINGAMANGARAJA"
hsndwsp
Acheh - Sumatra
di
Ujung Dunia
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Revolusi Iran
1 Reply
1.1. Latar
Belakang Masalah
Revolusi Iran
adalah contoh paling spektakuler di dunia Islam, bagaimana agama mampu memberi
kekuatan bagi gerakan revolusioner untuk menumbangkan kekuasaan tiranik dan
despotik. Bahkan tidak sekedar menumbangkan kekuasaan, tetapi lebih mendasar
dari itu, mengganti sistem politik lama (monarki) dengan sistem politik baru
(wilâyah al-faqîh). Banyak kalangan menyebut revolusi ini sebagai “salah satu
pemberontakan rakyat terbesar dalam sejarah umat Islam”.[1] Kesuksesannya dapat
disejajarkan dengan Revolusi Prancis (1789) atau Revolusi Bolshevik Rusia
(1917).[2]
Revolusi yang
telah berlangsung di Iran tahun 1978-1979 dan menghasilkan pemerintahan Islam
yang berlangsung sampai hari ini, mengangkat banyak isu yang terkait dengan
kebangkitan Islam kontemporer: keyakinan, kebudayaan, kekuasaan, dan politik
dengan penekanan pada identitas bangsa, keaslian budaya, partisipasi politik,
dan keadilan sosial disertai pula dengan penolakan terhadap pembaratan (gharbzadegi/westoxication),
otoriterisme kekuasaan, dan pembagian kekayaan yang tidak adil. Inilah “the
real revolution” yang digerakkan oleh seluruh lapisan masyarakat dan dipimpin
oleh para tokoh agama.
Keterlibatan para
mullah dalam gerakan revolusioner menumbangkan Dinasti Pahlevi yang berkuasa di
Iran mulai tahun 1925-1979, merupakan fenomena menarik dan unik jika dilihat
dari perspektif sejarah sosial-politik Syi’ah. Syi’ah sebagai madzab resmi Iran
sejak Dinasti Safavi menekankan artikulasi politik yang lebih akomodatif
terhadap kekuasaan. Perilaku para pengikut Syi’ah sejak lama terpola dalam
tradisi taqiyeh (dissimulation)[3] dan quietisme[4]. Apa yang telah ditampakkan
oleh para mullah dan pengikutnya yang terlibat dalam gerakan revolusi adalah
pergeseran orientasi sikap keberagamaan dari pasivisme menanti datangnya Imam
Mahdi ke arah gerakan kongkret dan pro-aktif dalam melawan kesewenang-wenangan
dan ketidakadilan. Di sinilah tampak peran para reformer ideologi Syi’ah
kontemporer yang berhasil memperbaharui ajaran Syi’ah.
Syi’ah sebagai
madzab resmi Iran menjadi identitas nasional dan sumber legitimasi politik
sejak abad keenam belas. Islam Syi’ah telah terlibat dalam percaturan politik
sejak kemunculannya dan karena itu memiliki sejarah dan sistem kepercayaan yang
dapat ditafsirkan dan dimanfaatkan dalam krisis politik. Tetapi sejak
ditetapkan sebagai madzab resmi pada Dinasti Savafi, ajaran Syi’ah Imâmiyah
(aliran mainstreem dalam Syi’ah) memiliki kecenderungan apolitis dan terlalu
kooperatif dengan penguasa negara.[5] Wacana keagamaan yang diusung para ulama
berkutat pada masalah-masalah ringan dan fiqh oriented dari pada masalah
sosial-politik yang memiliki jangkauan spektrum lebih luas. Julukan untuk
mereka adalah para akhund, sebuah istilah pejoratif untuk menyebut ulama yang
berpengetahuan dangkal.
Dalam tradisi
Sunni, ulama model itu juga menjadi fenomena dominan dalam konstelasi politik
negara-negara berbasis madzab sunni. Ulama-ulama Wahhabi, misalnya, posisi
sosio-politik mereka telah terhegemoni oleh sistem politik kerajaan Saudi.
Wahabi menjadi madzab resmi Kerajaan Saudi Arabia sehingga ia adalah sumber
legitimasi bagi penguasannya. Wahabi yang pada awal-awal kelahirannya sangat
kritis, telah berubah menjadi sekadar lembaga stempel bagi kekuasaan sang Raja.
Agama dalam kondisi seperti ini seolah mati suri karena tidak bisa berbuat
apa-apa untuk merubah sejarah umat manusia. Agama telah kehilangan elan vital
sebagai sumber inspirasi untuk membela yang lemah dan memerangi kemungkaran
(depotisme).
Ali Syari’ati,
salah satu dari sedikit para pemikir Iran yang sangat gundah dengan fenomena
“kematian agama (syi’ah)”. Apalagi latar historis saat Syari’ati tumbuh
berkembang menjadi intelektual terkemuka adalah kekuasaan Syah Reza Pahlevi
yang mengumbar ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Di saat para ulama Syi’ah
kebanyakan bungkam atau mengambil sikap diam dan menjaga jarak dengan dengan
sosio-politik kala itu, Syari’ati tampil untuk melontarkan gagasan-gagasan
radikal tentang oposisi dan revolusi yang bersumber dari ajaran Syi’ah yang
sudah dicangkokkan dengan tradisi revolusioner Dunia Ketiga dan Marxisme. Ali
Syari’ati berhasil membangun ideologi Islam revolusioner yang lantas ditawarkan
sebagai ideologi alternatif atas kecenderungan Marxis dan nasinalis-sekular
yang banyak digemari kalangan muda Iran.
Ali Syari’ati
mengecam para ulama yang telah menjadikan Syi’ah semata-mata sebagai agama
berkabung dengan mengubah arti hakiki peristiwa Karbala. Ulama, menurut
Syari’ati telah mengkhianati Islam dengan “menjual diri” kepada kelas penguasa,
dengan begitu ulama telah mengubah Syi’ah dari kepercayaan revolusioner menjadi
ideologi konservatif; menjadi agama negara (dîn-i dewlati), yang paling tinggi
hanya sebabatas menekankan sikap kedermawanan (philantropism), paternalisme,
pengekangan diri secara sukarela dari kemewahan[6].
Syari’ati lebih
jauh menilai, hubungan khusus ulama semacam itu telah menjadikan mereka sebagai
instrumen kelas-kelas berharta. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang dikelola
ulama dibiayai kaum kelas berharta untuk mencegah ulama berbicara tentang
perlunya menyelamatkan kaum miskin dan mereka yang tertindas (mustad’afîn).
Sebaliknya, dengan menggunakan doktrin tentang fiqh ekonomi, ulama merupaya
mengabsahkan eksploitasi yang menurut Syari’ati lebih eksploitatif dibandingkan
dengan kapitalisme Amerika. Islam di tangan ulama itu telah menjadi khordeh-I
burzhuazi (borjuasi kecil).[7]
Masih menurut
Syari’ati, banyak ulama berpandangan sangat picik (ulamâ-i qisyri), yang bisa
bisa mengulang-ulang doktrin fiqih secara bodoh. Mereka memberlakukan Kitab
Suci sebagai lembaran kering, tanpa makna, sementara pada sisi lain asik dengan
isu-isu yang tidak penting seperti soal pakaian, ritual, panjang pendeknya
jenggot dan semacamnya. Akibatnya ulama gagal memahami makna istilah-istilah
kunci seperti ummah, imâmah, dan nizâm al-tauhîd.[8] Ulama yang digambarkan
Syari’ati itu lebih cenderung fiqh oriented dan senang bergumul dengan wacana khilâfiyah
yang semua itu tidak terkait dengan problem real masyarakat. Kemisminan,
kebodohan dan keterbelakangan serta penindasan menjadi isu yang tak tersentuh
(untouchtable) dalam alam pikiran para ulama sehari-hari, karena mereka lebih
disibukkan dengan polemik wacana fiqhiyyah yang tidak urgen.
Kecenderungan
ulama seperti gambaran di atas akan menguntungkan posisi penguasa, karena
aspek-aspek penyelewengan kekuasaan, praktek ketidakadilan dan kebijakan yang
hanya menguntungkan diri sendiri menjadi lepas dari kontrol dan kritik ulama.
Maka tidak aneh jika pihak penguasa menyediakan dana yang cukup untuk aktifitas
ulama model ini, karena semakin ulama tidak independen, akan lebih memudahkan
para penguasa melakukan kontrol terhadap aktivitas mereka. Kolaborasi semacam
ini yang telah terjadi di Iran sebelum revolusi, dimana rezim Syah banyak
memanfaatkan ulama untuk melakukan counter balik terhadap wacana kritis yang
dilontarkan para kaum oposisi. Termasuk di antara kaum oposisi itu, Ali
Syari’ati adalah salah satu tokoh pentingnya.
Berada dalam
pusaran oposisi vis-à-vis kekuasaan rezim Syah dan ulama konservatif, Ali
Syari’ati banyak menuai kritik bahkan hujatan dan fitnah dari beberapa ulama.
Mereka pada umumnya menuduh Syari’ati menyesatkan dan menipu kaum muda mengenai
ajaran Islam sejati versi Syari’ati. Ulama sumber panutan (marja’ taqlid)
seperti Ayatullah Khu’i, Milani, Ruhani dan Thabathaba’i, bahkan mengeluarkan
fatwa yang melarang membeli, menjual dan membaca tulisan Syari’ati.[9] Mereka
menganggap tulisan-tulisan Ali Syari’ati, khususnya dalam bukunya Eslamshenasi
(diterjemahkan dalam bahasa Inggris: Islamology), telah menyimpang dari tradisi
Islam Syi’ah karena menggunakan sumber-sumber non-Syi’ah.[10]
Ali Syari’ati
adalah contoh intelektual sui generis yang berani dalam posisi melawan
mainstreem politik maupun pemikiran Islam. Ia dapat disejajarkan dengan para
pembaharu Sunni pendahulunya, seperti Jamal al-Din al-Afghani (w.1897),
Muhammad Abduh (w. 1905) atau Muhammad Iqbal (w.1938). Sama dengan Syari’ati,
mereka adalah pembaharu pemikiran Islam dan sekaligus para oposan yang sangat
kritis dengan fenomena ketidakadilan dan imperialisme Barat. Yang membedakan
antara Syari’ati dengan ketiga tokoh Sunni itu adalah bahwa Syari’ati lebih
radikal dalam mengimplementasikan pemikiran-pemikiran pembaharuannya dan ini
yang perlu mendapat catatan tebal sejarah pembaharuan Islam, bahwa Syari’ati
dengan gagasan revolusinya berhasil menarik gerbong oposisi di kalangan
masyarakat Iran untuk melawan rezim yang berkuasa sampai akhirnya gerakan
oposisi itu berhasil melakukan revolusi bersejarah tahun 1979.
Ali Syari’ati dan
Revolusi Iran adalah dua hal yang sulit untuk dipisahkan. Walau dia meninggal
dunia beberapa saat sebelum revolusi itu benar-benar terwujud, tepatnya tanggal
19 Juni 1977, gema revolusi yang dia kampanyekan di Iran sampai akhir hayatnya,
mendapat sambutan yang antusias dari massa pengunjak rasa pada puncak gerakan
revolusi 1978-1979. Poster-poster Ali Syari’ati bersanding dengan poster tokoh revolusi
lain seperti Mossadeq dan tentunya Khomeini, diusung sepanjang demonstrasi
besar-besaran melawan Rezim Syah. Bahkan beberapa kalangan menyebut Syari’ati
lebih mempunyai peran dalam Revolusi Iran ketimbang Khomeini, misalnya, yang
munculnya pada saat-saat setelah secara efektif revolusi berakhir. Zayar dalam
bukunya Iranian Revolution: Past, Present, and Future, bahkan menuduh Khomeini
sebagai pembajak Revolusi Iran dari para pejuang pra-revolusi.[11]
Bertitik tolak
dari latar belakang tersebut, peneliti menemukan titik urgensi penelitian
tentang pemikiran Ali Syari’ati, khususnya yang terkait dengan Islam dan
revolusi. Syari’ati adalah prototype cendekiawan Islam yang melaju diantara
pusaran konservatisme pemikiran Islam yang menekankan Islam sebagai agama yang
terpisah dengan persoalan-persoalan real di masyarakat, dan sekularisme
pemikiran yang begitu terpesona dengan modernisme Barat dan meninggalkan
Tradisi Suci Agama. Syari’ati menawarkan model lain (the third way, dalam
istilah Antoni Gidden), yaitu Islam revolusioner, Islam yang mengambil posisi
sebagai jalan revolusi menuju pembebasan umat atas segala macam bentuk
ketidakadilan dan penindasan. Syari’ati berhasil menggali nilai-nilai
revolusioner Islam yang selama ini terkubur oleh ortodoksi, yang dalam konteks
ajaran Syi’ah, Syari’ati telah merevolusi doktrin Syi’ah dalam bentuknya yang
lebih progresif. Simbol-simbol penting Syi’ah seperti asy-Syûra, Karbala,
Syâhid diposisikan kembali dalam wacana perlawanan seperti semula.
Penelitian ini juga
akan menggali lebih eksploratif tentang pengaruh pemikiran revolusioner Ali
Syari’ati dalam Revolusi Iran 1979. Keberhasilan Revolusi Iran tidak bisa lepas
dari keberhasilan revolusi doktin Syi’ah. Dan salah satu tokoh penting yang
terlibat dalam proyek revolusi doktrin Syi’ah itu adalah Ali Syari’ati.
1.2 Rumusan
Masalah
Atas dasar latar
belakang di atas, pokok masalah yang akan menjadi fokus penelitian ini adalah:
“Bagaimana pemikiran Ali Syari’ati tentang Islam dan revolusi serta pengaruhnya
terhadap Revolusi Iran?”.
1.3 Tujuan dan
Manfaat Penelitian
Penelitian ini
dilakukan untuk menemukan jawaban dalam pokok masalah yaitu bagaimana pemikiran
Ali Syari’ati tentang Islam dan revolusi dan pengaruhnya terhadap revolusi Iran
1979. Mengetahui pemikiran tokoh ini penting dilakukan mengingat Syari’ati adalah
ikon intelektual Muslim yang gigih memperjuangkan mereka yang tertindas dan
teraniaya lewat tulisan-tulisan dan aksi-aksi politik yang kritis dan tajam.
Karya-karya intelektual Syari’ati tidak sekedar ungkapan emosional dari wakil
rakyat tertindas, tetapi mempunyai bobot akademik yang tinggi sehingga
upaya-upaya kritis dalam studi atas pemikiran Syari’ati diharapkan akan
melahirkan pemikiran baru yang lebih segar dan progresif untuk menjawab
tantangan politik Islam kekinian yang lebih kompleks.
Di tengah-tengah
diskursus politik Islam yang belum tuntas, antara yang pro negara Islam atau
sebaliknya, studi pemikiran Ali Syari’ati seolah keluar dari diskursus itu.
Pemikiran politik Ali Syari’ati tidak mau terjebak kepada pro-kontra formalisme
negara Islam, tetapi lebih menekankan pada aspek relasi kritis rakyat-penguasa.
Aspek ini disinyalir lebih berguna untuk dieksplorasi lebih dalam dalam rangka
membangun konsep teoritis bagaimana rakyat dapat membatasi, mengontrol,
sekaligus mengganti –jika diperlukan- para penguasa.
Lebih dari itu
semua, penelitian ini dimaksudkan untuk merekonstruksi pemikiran revolusioner
Ali Syari’ati yang akan berguna untuk membangun pemikiran politik Islam
kontemporer yang aplikatif dan aktual yang tidak terjebat pada wacana elite, tetapi
lebih dekat pada wacana grassroot. Oposisi, revolusi dan kata-kata lain yang
sepadan dengan itu adalah term-term perlawanan rakyat yang ingin merdeka dan
mandiri, sehingga hasil dari penelitian ini akan menjadi panduan normatif dan
aplikatif bagi komponen-komponen perlawanan rakyat sekaligus diskursus tingkat
lanjut pemikiran politik Islam di ruang-ruang akademis.
BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA
Pemikiran Ali
Syari’ati yang revolusioner mengundang perhatian orang untuk mengkaji lebih
dalam hubungan pemikirannya dengan para pemikir revolusioner sebelumnya. Para
pengkaji pun lantas mengaitkan Syari’ati dengan Marx dalam satu pola hubungan
geneologis pemikiran. Hasilnya pun bisa ditebak, bahwa Syari’ati sedikit banyak
terpengaruh oleh pemikiran Marx, khususnya yang terkait dengan bagaimana
menganalisis ketimpangan sosial dalam masyarakat. Sehingga beberapa kalangan
menyebut proyek pemikiran Syari’ati adalah Islamisasi Marxisme atau Marxisisasi
Islam.
Eko Supriyadi
adalah salah satu dari peneliti Indonesia yang telah berusaha mengkaji pengaruh
Marxisme dalam pemikiran Ali Syari’ati. Dalam penelitiannya yang telah
diterbitkan menjadi buku yang berjudul Sosialisme Islam: Pemikiran Ali
Syari’ati, Eko berupaya menelusuri akar-akar geneologis pemikiran sosialisme Ali
Syari’ati pada pemikiran Marxisme. Dalam temuannya Supriyadi menyatakan bahwa
ada pengaruh Marx dalam pemikiran Syari’ati, tetapi Syari’ati menerima
pemikiran Marx dengan kritik dan ia menawarkan sintesa antara Marxisme dan
Islam.[12] Salah satu yang dikritik Syari’ati dalam rancang bangun pemikiran
Marx adalah kecenderungannya yang menafikan segala bentuk spiritualitas, yang
dengan begitu menafikan agama, sekaligus Tuhan. Penelitian lain yang agak mirip
dengan karya Eko Supriyadi adalah yang dilakukan oleh Munawar Anwar Firdausi
dengan judul Analisis Tipologi Pemikiran Karl Marx dalam Pandangan Ali
Syari’ati yang dia ajukan sebagai tesis di pascasarjaan IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta tahun 2004.
Kedua penelitian
di atas lebih menekankan pada pengaruh pemikiran Marxisme dalam pemikiran
Syari’ati dan kritik Syari’ati terhadap Marxisme. Penelitian itu tidak memotret
secara utuh bagaimana wacana Islam dan politik yang diusung Syari’ati apalagi
mengaitkannya dengan revolusi Iran. Tetapi paling tidak dari penelitian itu
dapat dilacak akar geneologis pemikiran revolusioner Syari’ati, sehingga lebih
memudahkan untuk merekonstruksi pemikirannya dan mengaitkannya dengan revolusi
Iran 1979.
Adalah terlalu
sempit jika memposisikan Syari’ati sebatas tokoh yang mampu mensitesakan antara
Islam dan Marxisme. Realitas sosial, politik dan budaya yang melingkupi
Syari’ati dalam menelorkan karya-karya intelektualnya begitu komplek. Rezim
Syah Pahlevi yang despotik, ajaran-ajaran Islam (Syi’ah) yang dibonsai ulama
resmi menjadi sebatas ajaran ritual, serta kondisi umum masyarakat Islam yang
berada dalam cengkraman hegemoni Barat adalah fenomena penting yang membentuk
karakter pemikiran Syari’ati, sehingga wajar jika tampak karakter revolusioner
dalam pemikirannya. Ali Syari’ati tergelisahkan oleh kondisi umat yang
terus-menerus diposisikan sebagai pihak yang teraniaya (mustal’afîn), dan
karya-karya Syari’ati seolah mewakili suara-suara itu.
Ali Rahmena yang telah melakukan pembacaan cukup
komprehensif atas beberapa karya penting Syari’ati dalam bukunya Pioneer of
Islamic Revival yang dalam edisi Indonesia oleh penerbit Mizan diberi judul
Para Perintis Zaman Baru Islam. Buku Rahmena mereview pemikiran-pemikiran
Syari’ati yang tertuang dalam beberapa karya penting, diantaranya adalah
Eslamshenasi (Islamologi) dan Kavir (Gurun).[13]
Tulisan Rahnema cukup lengkap sebagai tulisan yang memotret
sejarah kehidupan Ali Syari’ati yang sarat dengan petualangan khas seorang
revolusioner. Penelitian ia yang bersumber dari data primer akurat dan
berbahasa asli (Persia) memungkinkan Rahnema untuk menganalisis secara lebih
tajam fenomena kesejarahan pemikiran dan aktivitas politik Syari’ati. Tetapi
karena tulisan itu hanya sebuah tulisan biografi, bangunan pemikiran Ali
Syari’ati yang kaya dan komplek tidak tertuang dengan utuh, dan sebaliknya,
banyak konteks historis yang terlewatkan begitu saja, sehingga kesan yang
muncul adalah fragmentasi dan distorsi. Tetapi tulisan Rahnema akan menjadi
informasi awal yang cukup penting untuk memetakan secara historis warisan
intelektual dan politik Ali Syari’ati.
Azyumardi Azra dalam salah satu bagian dari bukunya yang
berjudul Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga
Post-Modernisme, menulis tentang filsafat pergerakan Ali Syari’ati. Azra
menyatakan bahwa pandangan dunia Syari’ati yang paling menonjol adalah
menyangkut hubungan antara agama dan politik. Sehingga dalam konteks ini,
Syari’ati dapat disebut politico–religio thinker (pemikir politik
keagamaan)[14], yang buah pikirannya menjadi salah satu akar ideologi Revolusi
Islam Iran. Azra juga menyorot bagaimana kritik Syari’ati terhadap ulama dan
tawaran Syari’ati tentang ideologi Syi’ah revolusioner (Syi’ah Alawi) sebagai
lawan dari Syi’ah konservatif (Syi’ah Safavi).
Sama dengan tulisan Rahnema, Azra hanya memotret pemikiran
Syari’ati pada segmen tertentu saja. Ketika ia menulis tentang pengaruh penting
pemikiran Ali Syari’ati terhadap Revolusi Islam, Azra tidak menjelaskan lebih
lanjut bagaimana proses pengaruh-mempengaruhi itu berjalan. Tulisan Azra hanya
menambah informasi tentang karakter pemikiran Syari’ati dan komentar-komentar
para tokoh terhadap pemikiran dan kiprah Syari’ati dalam gerakan oposisi di
Iran saat itu.
Temuan Azra dalam bukunya itu, bahwa Ali Syari’ati mempunyai
andil yang cukup signifikan dalam Revolusi Islam Iran mendapat pembenaran dari
beberapa tokoh lain seperti John L. Esposito dan John O. Voll dalam bukunya
Islam and Democracy, khususnya dalam bab III yang berbicara tentang berkuasanya
Islam revolusioner di Iran. Esposito dan Voll menyebut Syari’ati sebagai
seorang cendekiawan yang tafsir reformisnya atas Islam Syi’ah telah
menggabungkan sikap anti imperialisme Dunia Ketiga, bahasa ilmu sosial Barat,
dan ajaran Syi’ah Iran untuk menghasilkan suatu ideologi Islam revoluioner bagi
reformasi sosial-politik.[15] Dan Ideologi macam ini yang telah mengerakkan
para mahasiswa dan profesional muda yang berorientasi Islam bergabung dengan
kaum ulama, santri dan pedagang melancarkan oposisi radikalnya terhadap rezim
Syah.
Senada dengan John L. Esposito dan John O. Voll, Abdulaziz
Sachedina dalam tulisannya, Ali Syari’ati: Ideologue of Iranian Revolution,
menyatakan bahwa Syari’ati adalah salah satu tokoh yang berhasil merumuskan
ideologi perjuangan bagi Revolusi Iran. Syari’ati, tulis Sachedina, menawarkan
satu bentuk penafsiran baru dalam pemikiran Islam yang mendorong umat Islam
untuk bersikap progresif dan anti status quo.[16] Progresifitas dan anti status
quo inilah yang menjadi ruh dalam ideologi perlawanan yang ditawarkan
Syari’ati, dan itu diterima baik oleh – khususnya – kelompok mahasiswa dan kaum
terpelajar lainnya di Iran saat itu.
John L. Esposito dan John O. Voll serta Abdulaziz Sachedina
telah menulis tentang pengaruh pemikiran Ali Syari’ati terhadap revolusi Iran,
tetapi seperti juga tulisan-tulisan para tokoh terdahulu, apa yang ditulis oleh
John L. Esposito dan John O. Voll serta Abdulaziz Sachedina tidak lebih hanya
sekadar asumsi atau tesis yang tidak dilengkapi dengan fakta historis secara
detail. Apa yang mereka tulis tidak utuh menggambarkan fakta historis dan
sosio-politik disaat pemikiran Syari’ati mengalami pergolakan.
Hamid
Dabashi menyebut Syari’ati sebagai “the ideologist of revolt”[17]. Dalam
bukunya, Theology of Discontent: The Idelogical Foundation of The Islamic
Revolution in Iran, Dabashi menyatakan bahwa Ali Syari’ati adalah salah satu
ideolog terkemuka Iran yang mengusung aliran dan ideologi utama dan penting
yang berpengaruh di Iran sebelum pecahnya revolusi[18]. Dalam kajian beberapa
sarjana yang concern dengan Revolusi Iran, ada beberapa aliran dan ideologi
menonjol yang berpengaruh di Iran sebelum pecahnya revolusi 1978-1979,
diantaranya adalah ideologi sosialis-sekuler yang diusung diantaranya oleh
Partai Tudeh (Partai Komunis Iran), dan ideologi sosialis-religius (Syi’ah
progresif) yang diusung oleh Ali Syari’ati.
Partai
Tudeh memang disebut-sebut oleh Zuyar dalam bukunya, Iranian Revolution: Past,
Present and Future, sebagai elemen penting dalam revolusi Iran, disamping
beberapa kelompok gerakan sosialis lainnya, diantaranya adalah Fadaeen
(Organisasi Rakyat Iran).[19] Tidak hanya itu, Zuyar bahkan menempatkan
Khomeini hanya sebagai tokoh yang datangnya lebih belakangan yang ambil bagian
dalam gerakan revolusi. Khomeini tidak lebih dari “pembajak revolusi” tulis
Zayar.[20]
Apa yang
ditulis oleh Dabashi dan Zayar memberi jalan masuk yang lebar atas potret historis
revolusi Iran. Tetapi masing-masing kurang menyinggung, bahkan dalam tulisan
Zayar tidak disinggung sama sekali peran Ali Syari’ati dalam revolusi itu.
Sehingga apa yang ditulis Zayar, lebih menampakkan peran penting kelompok
Marxis Iran, dan ini seakan seperti menafikan fakta historis-sosiologis bahwa
masyarakat Iran adalah mayoritas Syi’ah.
Penelitian
ini mengambil fokus pada pemikiran revolusioner Ali Syari’ati dan pengaruhnya
terhadap Revolusi Islam Iran. Berbeda dengan apa yang telah diteliti oleh Eko
Supriyadi dan Munawar Anwar Firdausi yang lebih fokus pada pengaruh pemikiran
Marxisme dalam pemikiran Syari’ati, penelitian ini lebih fokus pada pengaruh
pemikirannya terhadap gerakan revolusi di Iran yang berhasih menumbangkan rezim
Syah. Begitu pula dengan apa yang telah dikaji oleh Ali Rahmena yang lebih
menyorot karya-karya penting Syari’ati. Tulisan Azyumardi Azra memang memberi
inspirasi untuk melacak pengaruh pemikiran Syari’ati terhadap Revolusi Iran,
tetapi apa yang disampaikan Azra lebih sekedar hipotesis awal dari pada sebuah
analisa yang mendalam. Karya Hamid Dabashi memang memberi informasi detail
tentang berbagai aliran dan ideologi yang berpengaruh dalam Revolusi Iran,
tetapi dari kesekian aliran itu mana yang paling berpengaruh, dan sejauhmana
pengaruh ideologi yang digagas Syari’ati dalam revolusi tampaknya belum dikupas
secara memadai oleh para peneliti dan penulis itu.
BAB IV
KERANGKA
TEORITIK
Selama ini
revolusi merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut suatu perubahan
fundamental di pemerintahan atau konstitusi politik sebuah negara, terutama
yang terjadi karena sebab-sebab internal dan lewat suatu pergolakan bersenjata,
dan rusuh. Menurut Funk & Wagnalls New Encyclopedia, revolusi adalah sebuah
perubahan sosial atau politik dengan memakai kekerasan dan secara paksa,
dipengaruhi oleh kekejaman dan bentrok senjata; revolusi juga berarti perubahan
sistem politik, namun secara cepat dan total, melalui cara-cara di luar
konstitusi dan pengingkaran atas lembaga pemerintahan.[21] Senada dengan
pengertian itu, dalam Black’s Law Ditionary, revolusi diartikan “on overthrow
of a government usu. Resulting in fundamental political change, a successful
rebellion” (meruntuhkan pemerintah yang ada, menghasilkan perubahan politik secara
fundamental, dan sebuah pemberontakan yang sukses).[22]
Eugene
Camenka adalah salah satu yang menyatakan bahwa kekerasan dalam revolusi adalah
sebuah keniscayaan, tetapi, ia buru-buru memberi penjelasan lanjutan,
seandainya revolusi itu tanpa menimbulkan kekerasan, masih tetap dianggap
revolusi.[23] Akhirnya Samuel Huntington merumuskan revolusi sebagai “suatu
penjungkirbalikan nilai-nilai, mitos, lembaga-lembaga politik, struktur sosial,
kepemimpinan, serta aktifitas maupun kebijaksanaan pemerintah yang telah
dominan di masyarakat”.[24] Dan secara prinsip dari berbagai definisi yang
diberikan para pakar politik, revolusi terkait dengan gagasan perubahan
menyeluruh, pembaharuan dan diskontinuitas menyeluruh dan juga menganut asumsi
bahwa revolusi erat hubungannya dengan transformasi sosial.[25]
Dari
beberapa definisi tentang revolusi di atas dapat diambil beberapa kata kunci
(key words) dalam diskursus revolusi diantaranya adalah; perubahan politik
secara fundamental (fundamental change in the political system), kekuatan massa
(extra-legal mass actions), pemberontakan (rebellion and revolt), dan oposisi.
Dalam banyak kasus oposisi senantiasa menimbulkan kekacauan (chaos) dan
kekerasan (violence), tetapi terminologi itu bukan karakter pokok dalam revolusi,
tetapi hanya sebagai akibat samping saat revolusi itu dijalankan.
Bagaimana
revolusi dapat dijelaskan menjadi satu strategi politik dalam mencapai suatu
tujuan? Tentu ada banyak perspektif untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Salah satu perspektif untuk melihat masalah itu adalah tesis Gramsci tentang
hegemoni. Pada prinsipnya, dalam teori hegemoni ala Gramsci disebutkan bahwa
para elite membutuhkan cara untuk dapat melakukan kontrol efektif terhadap
pihak yang dikuasainya. Cara-cara elit ini penting dalam rangka tetap terus
menjaga posisi kekuasannya dari ancaman-ancaman ketidakpatuhan. Hegemoni yang
dilakukan para penguasa/elite tidak sebatas hegemoni cara-cara pruduksi, tetapi
juga hegemoni ideologi. Dengan demikian, melalui hegemoni ideologis, kepatuhan
bisa dipaksakan dan perlawanan bisa dipatahkan atau dilenyapkan oleh elite.
Pada akhirnya ketika hegemoni itu mengalami titik kulminasi, demikian kata
Gramsci, pada saat yang sama, perlawanan bisa mengambil bentuk berupa
upaya-upaya kontra hegemoni oleh kelas yang dikuasai untuk melawan formasi
sosial yang ada.[26]
Bagaimana kontra hegemoni bisa dilakukan oleh mereka yang
tertindas? Kerkvliet adalah salah satu pakar politik yang mampu melihat
fenomena kontra- hegemoni sebagai sesuatu yang mungkin terjadi yang
asal-muasalnya adalah dari sikap kritisisme masyarakat bawah (yang tertindas)
terhadap ideologi dominan yang dipaksakan oleh elite kekuasaan. Lebih jelas
Kerkvliet menulis :
“Masyarakat dari kelas yang dikuasai tidak harus selalu
tunduk kepada ideologi dominan, karena mereka mempunyai gagasan-gagasan dan
keyakinan-keyakinan alternatif yang mampu menampilkan tantangan signifikan
kepada pandangan kelompok dominan tentang bagaimana hak milik dan sumber-sumber
lainnya bisa digunakan oleh siapa saja. Mereka mempunyai gagasan tentang
hak-hak mereka dan apa itu keadilan, yang sekali lagi menentang keyakinan
banyak orang yang berkuasa”.[27]
Singkatnya, gagasan bahwa ideologi kelas yang dikuasai bisa
menyusup dan melawan ideologi hegemonik adalah mungkin. Banyak contoh yang
membenarkan tesis ini, seperti yang diperlihatkan oleh buruh tambang di Indian.
Mereka mengembangkan ideologi mereka sendiri melalui elaborasi atas kebudayaan
tradisional Indian dan mereka menggunakan idiom-idiom budaya untuk melakukan
perlawanan terhadap pemilik-pemilik tambang dan negara.[28]
Apakah agama bisa menjadi sumber kekuatan dan inspirasi
ideologis untuk melakukan oposisi dan revolusi terhadap kekuatan elite yang
hegemonik? Bagi Gramsci, fungsi agama salah satunya adalah memberikan
bentuk-bentuk kesadaran baru yang sesuai dengan tahap-tahap perkembangan sosial
yang baru. Menurut Gramsci, sesuatu yang memiliki nilai penting khusus adalah
agama atau ideologi yang bisa mewujudkan suatu ‘kehendak kolektif
nasional-populer’ seperti yang ia lihat pada protestanisme dalam revolusi
Perancis.[29]
Oliever Roy dalam bukunya yang sangat populer The Failure of
political Islam mengemukakan suatu fakta bahwa keyakinan tertentu terhadap
agama (Islam) ternyata membawa implikasi terhadap sikap politik tertentu. Kaum
Islamisis[30], begitu Roy menjelaskan, memiliki argumen politik yang berpijak
pada asas bahwa Islam adalah sistem pemikiran global dan menyeluruh. Menurut
mereka, masyarakat yang terdiri dari orang-orang Islam saja tidak cukup, tetapi
juga harus Islami dalam landasan maupun strukturnya. Konsekwensinya, lanjut
Roy, setiap orang punya kewajiban untuk memberontak terhadap negara Muslim yang
dinilai korup; bahkan juga keharusan untuk mengekskomunikasikan (takfir)
penguasa yang dipandang murtad serta untuk melakukan tindakan kekerasan
(revolusi) terhadapnya.[31]
Peneliti tidak bermaksud memperdebatkan apakah gerakan
kelompok Islamisis itu kontra produktif terhadap upaya-upaya gerakan Islam yang
ramah dan toleran, tetapi sekadar mencari bukti kebenaran tesis Gramsci di atas
bahwa agama bisa, bahkan menjadi faktor penting dalam menumbuhkan kekuatan
oposisi dan revolusi. Mungkin ini yang ingin dieksplorasi secara akademis oleh
Ali Syari’ati. Ia berupaya untuk merumuskan tradisi keberagamaan Islam yang
tidak melulu mengurus akherat, seperti yang ditunjukkan oleh perilaku mayoritas
Muslim. Akan tetapi yang lebih berarti dari itu semua adalah bagaimana
menjadikan agama sebagai kekuatan revolusi yang membebaskan umat dari
penindasan, kesewenang-wenangan dan ketidakadilan.
Sebagaimana telah dikemukakan di muka, bahwa Ali Syari’ati
adalah sosok intelektual Muslim yang revolusioner. Pandangan dunia Syari’ati
yang paling menonjol adalah menyangkut hubungan antara agama dan politik, yang
dapat dikatakan menjadi dasar dari ideologi pergerakannya.[32] Salah satu tema
sentral dalam ideologi politik keagamaan Ali Syari’ati adalah – dalam hal ini,
Islam – dapat dan harus di fungsionalisasikan sebagai kekuatan revolusioner
untuk membebaskan rakyat yang tertindas, baik secara kultural maupun politik.
Lebih tegas lagi, Islam dalam bentuk murninya – yang belum dikuasai kekuatan
konservatif – merupakan ideologi revolusioner ke arah pembebasan Dunia Ketiga
dari penjajahan politik, ekonomi dan kultural Barat. Ia merasakan problem akut
yang dimunculkan kolonialisme dan neo-kolonialisme yang mengalienasikan rakyat
dari akar-akar tradisi mereka.[33]
Hassan Hanafi senafas dengan Ali Syari’ati dalam
memberdayakan Islam sebagai kekuatan revolusi. Untuk mewujudkan idealisme Islam
pembebasan itulah, Hassan Hanafi meluncurkan jurnal berkalanya Al-Yasâr
al-Islâmi : Kitâbât fi al-Nahdla Al-Islâmiyah (Kiri Islam : Beberapa Esai
tentang Kebangkitan Islam) pada tahun 1981. Jurnal ini merupakan kelanjutan
dari Al-Urwa al-Wutsqa dan Al-Manâr, yang menjadi agenda Al-Afghani dalam
melawan kolonialisme dan keterbelakangan, menyerukan kebebasan dan keadilan
sosial serta mempersatukan kaum muslimin ke dalam blok Islam atau blok
Timur.[34] Jurnal ini juga terbit setelah kemenangan Revolusi Islam di Iran,
tahun 1979. Sehingga, peristiwa besar itu memang telah membangkitkan Hassan
Hanafi dalam meluncurkan “Proyek Kiri Islam”-nya. Namun, menganggap peristiwa
itu sebagai satu-satunya penyebab, adalah tidak benar karena kita juga harus
memperhitungkan faktor pergerakan Islam modern dan lingkungan Arab-Islam.[35]
Demikian pula, kata Hassan Hanafi, Kiri Islam bukanlah Islam berbaju Marxisme
karena itu berarti menafikan makna revolusioner dalam Islam sendiri.[36] Kiri
Islam lahir dari kesadaran penuh atas posisi tertindas umat Islam, untuk
kemudian melakukan rekonstruksi terhadap seluruh bangunan pemikiran Islam
tradisional agar dapat berfungsi sebagai kekuatan pembebasan. Upaya
rekonstruksi ini adalah suatu keniscayaan karena bangunan pemikiran Islam
tradisional yang sesungguhnya satu bentuk tafsir justru menjadi pembenaran atas
kekuasaan yang menindas.[37]
Tokoh Islam lain yang senafas dengan Ali Syari’ati dan
Hassan Hanafi adalah misalnya Ashar Ali Engineer. Asghar menyatakan bahwa
kedatangan Islam merupakan sebuah revolusi yang selama berabad-abad telah
berperan secara signifikan dalam sejarah umat manusia. Akan tetapi, begitu
keterangan selanjutnya dari Asghar, setelah meninggalnya Nabi Muhammad, terjadi
perebutan kekuasaan yang berorientasi kepada kepentingan pribadi.[38] Saat
kekuasaan itu menjadi instrumen kepentingan pribadi, muncullah dalam wilayah
kekuasaan Islam, penguasa-penguasa despotik seperti yang dipertontonkan secara
nyata oleh Reza Syeh Pahlevi yang menjadi obyek kritik dan oposisi Ali
Syari’ati atau para penguasa Mesir yang juga menjadi ladang kritisisme seorang
anak bangsa seperti Hassan Hanafi yang dikenal sebagai pengusung al-yasar
al-islami (kiri Islam). Watak perlawanan Islam terhadap kesewenang-wenangan
sekaligus keberpihakan Islam terhadap kelompok tertindas (mustad’afîn)[39]
telah menjadi watak dasar Islam sebagai agama rahmatan li al-’âlamîn. Maka akan
banyak dijumpai dalam al-Qur’an, kitab pedoman umat Islam, pelbagai anjuran
bahkan perintah tegas untuk melakukan pembelaan terhadap mustad’afîn.[40]
Pembelaan terhadap mustad’afîn ini dilakukan secara simultan dengan larangan
secara tegas pula atas segala bentuk ketidakadilan, baik kultural maupun
struktural.[41]
Sebagaimana yang menjadi fokus kajian para pemikir Islam
revolusioner, bahwa Islam tidak hanya sebatas agama yang melangit, hanya
sekadar kumpulan doktrin, tetapi lebih dari itu, Islam adalah agama yang sarat
dengan dimensi praksis. Istilah yang sering digunakan untuk ini adalah faith in
actions, keyakinan yang diwujudkan dalam aksi-aksi nyata. Berangkat dari
kerangka berfikir ini, para pemikir Islam revolusioner, termasuk di dalamnya
Ali Syari’ati berupaya agar buah pikirannya dapat diserap sebanyak mungkin
lapisan masyarakat untuk mempengaruhi pola pikir mereka. Setelah masyarakat
mengalami revolusi pemikiran, maka harapan selanjutnya adalah mewujudkan sebuah
gerakan sosial-politik yang radikal untuk merevolusi struktur sosial politik
yang dominan.
BAB V
METODE PENELITIAN
Sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini, yaitu
kajian terhadap pemikiran Ali Syari’ati tentang Islam dan Revolusi serta
pengaruhnya terhadap Revolusi Iran, maka penelitian ini adalah penelitian
pustaka (library research), sehingga data-data sepenuhnya diambil dari
buku-buku atau karya lain yang ditulis Ali Syari’ati, sebagai sumber primer. Diantara buku-buku dan tulisan
tersebut adalah Buku-buku Ali Syari’ati dalam edisi Inggris diantaranya:
Islamology; And Once again Abu Dhar; Fatima is Fatima; Man and Islam;
Martyrdom; On The Sociology of Islam; Red shi’ism; Retlection of A Concerned
Muslim on The Plight of Oppressed Peoples; The Visage of Mohammed; A waiting
the Religion of Protest; What is to be done?; Jihad and Syahadat; Hajj; dan
Where shall we begin?.
Untuk
mendukung data primer penulis menggunakan buku-buku baik yang ditulis oleh
tokoh yang sedang diteliti atau buku-buku yang ditulis oleh orang lain yang
mengupas dan memberi komentar-komentar tentang pemikiran Ali Syari’ati sebagai
data sekunder. Data sekunder juga diambil dari buku-buku, makalah-makalah,
majalah, jurnal dan sebagainya yang berkaitan dengan fokus penelitian.
Dalam menganalisis data yang diperoleh, peneliti menggunakan
metode kajian isi (content analisys) yaitu metode yang digunakan untuk
mengungkapkan isi sebuah buku atau pemikiran seseorang yang menggambarkan
situasi penulis dan masyarakatnya pada waktu buku itu ditulis atau pemikiran
itu ditelorkan[42]. Melalui metode content analisys dapat diketahui ide-ide dan
pemikiran Ali Syari’ati tentang Islam dan revolusi yang semuanya tertuang dalam
buku-buku atau tulisan lainnya yang terdokumentasi. Dengan metode ini semua
bentuk lambang yang terdokumentasi itu dapat dianalisis secara mendalam untuk
mendapatkan konsepsi-konsepsi yang lebih baru.[43]
Untuk mengetahui latar belakang pemikiran tokoh yang
diteliti, digunakan metode historis.[44] Melalui metode ini, peneliti dapat
melakukan periodisasi atau derivasi suatu fakta, dan melakukan rekonstruksi
genesis: perubahan dan perkembangan. Dengan demikian pemikiran Ali Syari’ati
dapat dipahami secara kesejarahan, dalam arti dapat dilacak asal mula situasi
yang melahirkan pemikiran Syari’ati, baik dari aspek internal berupa ide,
keyakinan, konsepsi-konsepsi awal yang tertanam dalam dirinya, tetapi juga oleh
keadaan eksternal.[45] Dalam melakukan telaah historis, peneliti mengambil lima
langkah tahapan: 1) pemilihan topik; 2) pengumpulan sumber; 3) verifikasi
(kritik sejarah); 4) interpretasi: analis dan sintesis; dan 5) penulisan.[46]
Karena yang dikaji dalam penelitian ini adalah pemikiran
tokoh (Ali Syari’ati) dan pengaruh pemikiran tersebut pada sebuah peristiwa
besar (Revolusi Iran), maka metode historis yang digunakan adakah history of
thought (sejarah pemikiran). Tugas sejarah pemikiran, disamping menelaah
pemikiran-pemikiran besar yang berpengaruh terhadap kejadian sejarah, juga
melihat konteks sejarah tempat pemikiran itu muncul, tumbuh dan berkembang.[47]
Agar metode sejarah pemikiran dapat dioperasionalisasikan,
digunakan tiga macam pendekatan, yaitu kajian teks, kajian konteks sejarah dan
kajian hubungan antara teks dan konteks.[48] Kajian teks digunakan untuk
melihat akar geneologis pemikiran Ali Syari’ati, konsistensi, evolusi,
sistematika, varian, sosialisasi, dan internal dialectics pemikirannya. Kajian
konteks digunakan untuk melihat konteks sejarah, politik, budaya dan sosial
pemikiran Ali Syari’ati. Dan kajian hubungan antara teks dan konteks digunakan
untuk melihat pengaruh pemikiran Ali Syari’ati terhadap Revolusi Iran.
Lihat
lanjutannya disini:
http://londo43ver.wordpress.com/category/sejarah-dunia/page/3/
http://londo43ver.wordpress.com/category/sejarah-dunia/page/3/
Imam Khomaini
who changed the world
The role of DR Ali Shariati in the Iranian Revolution
https://www.youtube.com/watch?v=0evSkdzXF_4
https://www.youtube.com/watch?v=vbEqQ3oFGAo
https://www.youtube.com/watch?v=HMfRyXsi1FE
https://www.youtube.com/watch?v=KYHZIH7I0eQ
IMAM ALI ADALAH MODAL PERJUANGAN ISLAM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar