NON MUSLIM
MEMPERTANYAKAN
KENAPA ISLAM TIDAK
MEMBENARKAN PACARAN
SEBAGAI SARANA
UNTUK SALING MENGENAL
SEBELUM MASUK
JENJANG PERKAWINAN
DALAM ISLAM MURNI
JANGANKAN DUA INSAN YANG YANG BERLAWANAN JENIS KELAMIN BERKHUSUK - SEPI,
BERDUA-DUAAN, SALING MEMANDANG LAMA SAJA DI DEPAN PUBLIK DILARANG
(Q.S. An Nur 30, 31)
hsndwsp
Acheh - Sumatera
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Dalam Islam Mazhab Jakfari atau Islam Syiah Imamiah 12
atau pengikut setia Ahlulbayt Rasulullah saww tidak ada istilah pacaran
(perkenalan secara pribadi tanpa ikatan pernikahan) yang sering dipraktekkan
dalam komunitas non Syiah . Namun di sisi lain, hampir mustahil menikahi
seorang wanita tanpa perkenalan sebelumnya, terkhusus berbicara dari hati ke
hati yang hanya melibatkan dua orang saja. Dan agama Islam harus mampu
memberikan solusinya. Nikah mut’ah adalah solusi ter baik dalam hal ini.
Mut'ah adalah jawabannya buat orang non Muslim, dimana
mereka menganggap Islam itu kolot dengan alasan yang logis, masak dua insan
yang hendak melanjutkan perkawinannya dilaksanakan tanpa pendekatan persesuaian
terlebih dahulu (baca pacaran). Mut'ah adalah versi "pacarannya" Islam
dimana lebih indah daripada pacaran non Syiah, dimana mereka dalam masa
persesuaian itu bebas melakukan hubungan suami - isteri sebagaimana nikah Bain.
Tinggal lagi nikah Mut'ah tidak wajib memberikan nafkah lahir dan bathin. Namun
suami yang murah hati tidak mungkin tidak memberikan belanjanya kepada sang
Isteri sebagai kekasih yang resmi, kecuali memang benar-benar belum punya
rezki. Logisnya pasangan pacaran non Syiah yang murah hati juga akan melakukan
hal yang sama sebagai nilai kasih sayangnya kepada sang kekasih.
Adapun perbedaan yang sangat signifikan antara
"pacaran" Islam (baca mut'ah) dengan pacaran non Syiah Imamiah 12
diantaranya yang pertama hukumnya halal berdasarkan surah an Nisa' ayat 24,
sedangkan yang ke dua hukumnya haram. Yang pertama bebas bergaul sebagaimana
lazimnya suami- isteri dalam nikah ba'in sedang kan yang kedua bukan saja dosa
besar melakukan hubungan suami - isteri tetapi juga haram berdua-duan.
Diawal perkembangan Islam kawin mut'ah pada umumnya
diaplikasi kan oleh pejuang ketika jauh dari isterinya. Ini membuktikan bahwa
Islam itu benar-benar agama yang haq disisi Allah (baca innad diina 'indallahil
Islam). "Al Islamu ya'lu wala yukla 'alaih" (hadist), dimana Islam
itu tidak memberatkan pemeluknya dan senantiasa ada jalan keluar nya asal saja
tidak keluar jalan. Masa Perang jaman Rasulullah adalah masa darurat, justeru
itu maharnya diselesaikan ketika itu juga hingga ada yang berupa sebuah baju
(hadist). Hal ini dapat dipahami bahwa apabila tidak diselesaikan maharnya
dengan segera, besar kemungki nan tidak terselesaikan mengingat pasukan tersebut
senantiasa berpin dah-pindah. Sedangkan nikah mut'ah dimasa aman, tidak
disyaratkan maharnya kecuali ketika habis masa mut'ahnya, nyakni memasuki fase
nikah bain (baca nikah permanent) atau berpisah andaikata dalam masa
persesuaian itu tidak berjalan dengan baik hingga isteri berhak menolak untuk
diteruskan ke nikah Bain. Sedangkan dalam nikah ba'in isteri tidak memiliki hak
untuk menceraikan suami (baca hak suami lebih besar dari hak isteri)
Perlu juga digarisbawahi bahwa nikah mut'ah itu
dilakukan secara suka-rela tidak boleh ada paksaan sebagaimana juga nikah
ba'in. Dari itu masak bodoh calon isteri atau orang tuanya bersedia nikah
mut'ah hanya dalam jangka satu minggu atau satu bulan. Inilah yang membuat
musuh Islam berkesempatan untuk merendahkan nikah mut'ah dengan alasan jangka
yang demikian pendek sebagaimana kawin kontrak yang terlarang dalam Islam.
Jangka waktunya yang normal cukup untuk saling mengenal watak masing-masing,
minimal 2 tahun. Sedangkan masa perang jaman Rasulullah dulu bisa saja terjadi
dalam tempo satu minggu atau malah 2,3 hari sekalipun. Itu adalah kepentingan
jihad fisabilillah yang diistimewakan Allah dan Rasul Nya. Kalau ada pihak yang
mempersoalkan hal ini dengan alasan tidak ada nilai orang perempuan, mereka
lupa kenapa Allah membenarkan melakukan hubungan suami - isteri terhadap
perempuan yang didapat dalam peperangan sebagai harta rampasan, padahal
perempuan itu juga sebahagian besar masih memiliki suaminya sendiri.
Persoalannya, kenapa orang non Syiah Imamiah 12
mengira nikah Mut'ah itu haram? Jawabannya adalah terlalu percaya kepada Umar
bin Khattab. Hanya dialah dan konco-konconya yang berani melawan ketentuan
Allah dan Rasul Nya sebagai mana keterangan berikut ini:
Ia (Jabir) mengatakan: “Melalui diriku hadis tersebut
didapat, kita telah melakukan mut’ah bersama Rasulullah (saww) juga bersama Abu
bakar, akan tetapi setelah berkuasanya Umar, ia (Umar) pun mengu mumkannya pada
masyarakat dengan ucapan: “Sesungguhnya Al-Qur’an tetap posisinya sebagai
Al-Qur’an sedang Rasulullah (saww) tetap sebagai Rasul, ada dua jenis mut’ah
yang ada pada zaman Rasul; haji mut’ah (haji tamattu’ .red) dan nikah mut’ah
kuharamkan”. Kalaupun nikah mut’ah haram lantas kenapa kita juga tidak
mengha ramkan mut’ah haji yang sampai detik ini masih dilakukan oleh semua kaum
muslimin dunia padahal ia termasuk yang diharamkan oleh Umar bin Khattab.
Dalil naqli lainnya:
Beberapa ungkapan para sahabat Rasul dan para tabi’in
(yang hidup setelah zaman para sahabat) sebagai contoh pribadi-pribadi yang
mengingkari akan pelarangan (pengharaman) mut’ah:
Imam Ali bin Abi Thalib, sebagaimana diungkapakan oleh
Thabari dalam kitab tafsirnya (lihat: jil:5 hal:9) dimana Imam Ali bersabda:
“jika mut’ah tidak dilarang oleh Umar niscaya tidak akan ada yang berzina
kecuali orang yang benar-benar celaka saja”.
Riwayat ini sebagai bukti bahwa yang mengharamkan
mut’ah adalah Umar bin Khatab, lantas setelah banyaknya kasus perzinaan dan
pemerkosaan sekarang ini –berdasarkan riwayat diatas- siapakah yang termasuk
bertanggungjawab atas semua peristiwa itu?
Abdullah bin Umar bin Khatab (putera khalifah kedua),
sebagaimana yang dinukil oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam kitab musnadnya
(lihat: jil:2 hal:95) dimana Abdullah berkata ketika ditanya tentang nikah
mut’ah: “Demi Allah, sewaktu kita dizaman Rasul tidak kita dapati orang berzina
ataupun serong”. Kemudian berkata, aku pernah mendengar Rasul bersabda:
“sebelum datangnya hari kiamat akan muncul masihud-dajjal dan pembohong besar
sebanyak tiga puluh orang atau lebih”. Lantas siapakah
yang layak disebut pembohong dalam riwayat diatas tadi? Adakah orang yang
memutar balikkan syariat Rasul layak untuk dibilang pembohong?
Abdullah bin Masud,
sebagaimana yang dinukil oleh al-Bukhari dalam kitab shahihnya (lihat: jil:7
hal:4 kitab nikah bab:8 hadis ke:3), dimana Abdullah berkata: “sewaktu kita
berperang bersama Rasulullah sedang kita tidak membawa apa-apa, lantas kita
bertanya kepada beliau: bolehkah kita lakukan pengebirian? Lantas beliau
melarang kita untuk melakukannya kemudian beliau memberi izin kita untuk
menikahi wanita dengan mahar baju untuk jangka waktu tertentu. Saat itu beliau
membacakan kepada kami ayat yang berbunyi: “wahai orang-orang yang beriman janganlah
kalian mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kalian dan
janganlah kalian melampaui batas…”(Qs Al-Ma’idah:87)
Adapun legalitas hukumnya kawin mut'ah demikian jelas
dalam surah an Nisa' ayat 24: "....................................................................
Maka isteri-isteri yang telah kamu ni'mati (campuri) di antara mereka,
berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewa jiban;
dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling
merelakannya, sesudah menentukan mahar itu . Sesung guhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana" (Q,S. an Nisa' 24)
Sebahagian tokoh
Sunni berpegang pada ketentuan Umar bukan ke tentuan Allah dan Raasul Nya.
Adakah orang yang waras mengang gap Umar lebih berhak menentukan sesuatu
daripada Rasulullah? Sementara tokoh Sunni lainnya meyakini bahwa Umar tidak
berhak membatalkan atau memansuhkan Ketentuan Allah dan Rasulnya, namun mereka
berkilah bahwa benar nikah Mut'ah di aplikasikan para shahabat akan tetapi
Rasulullah sendiri yang memansuhkannya. Tokoh tersebut tidak memahami bahwa
Ayat Qur-an tidak boleh diman suhkan oleh Hadist dan bagi Rasulullah sendiri
mustahil melawan ketentuan Allah. Ayat Qur-an hanya dapat dimansuhkan dengan
ayat Qur-an yang lainnya sebagaimana ayat yang berhubungan dengan Khamar (baca
minuman yang memabukkan), dimana pada mulanya Allah tidak mengharamkan, tinggal
lagi memberitahukan bahwa pada khamar itu mengandung kebaikan dan keburukan
tetapi keburukan lebih besar dari kebaikan. Ayat tersebut dimansuhkan dengan
ayat terakhir turun mengenai larangan minum khamar.
Tidak ada satu
ayatpun yang memansuhkan ayat nikah Mut'ah (baca an Nisa' 24). Namun Para tokoh
Sunni lainnya telah menyebutkan beberapa ayat yang dalam hemat mereka seba gai
ayat naasikhah (yang memansukhkan) ayat Mut’ah. Di bawah ini akan saya sebutkan
ayat-ayat tersebut.
Ayat Pertama:
Firman Allah SWT:
و
الذين
هُمْ
لِفُرُوْجِهِمْ
حافِظُونَ
إلاَّ
علىَ
أَزْواجِهِمْ
أَوْ
ما
مَلَكَتْ
أَيْمانُهُمْ،
فَإِنَّهُمْ
غيرُ
مَلُوْمِيْنَ.
(المؤمنون:5-6)
“Dan orang-orang
yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang
mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal yang tiada tercela.”
(QS:23;5-6)
Keterangan Ayat:
Dalam pandangan
mereka ayat di atas menerangkan bahwa dibolehkan/ dihalalkanya meng gauli
seorang wanita karena dua sebab;
Pertama, hubungan
pernikahan (permanen).
Kedua, kepemilikan
budak.
Sementara itu kata
mereka wanita yang dinikahi dengan akad Mut’ah, bukan seorang istri.
Tanggapan:
Pertama-tama yang
perlu difahami ialah bahwa mut’ah adalah se buah ikatan pernikahan dan
perkawinan, baik dari sudut pandang ba hasa, tafsir ayat maupun syari’at,
seperti telah dijelaskan sebelumnya. Jadi ia sebenarnya dalam keumuman ayat di
atas yang diasumsikan sebagai pemansukh, tidak ada alasan yang membenarkan
dikeluarkan nya dari keumuman tersebut. Kata Azwaajihim dalam ayat di atas
mencakup istri yang dinikahi baik dengan akad nikah daim (perma nent) maupun
akad nikah Mut’ah.
Kedua, selain itu
ayat 5-6 Surah Mu’minun (sebagai pemansukh) berstatus Makkiyah (turun sebelum
Hijrah) sementara ayat hukum Mut’ah (ayat 24 surah al-Nisa’) berstatus
Madaniyah (turun setelah Hijrah). Lalu bagaimana mungkin ayat Makkiyah yang
turun sebelum ayat Madaniyah dapat memansukhkannya?! Ayat yang memansukh turun
lebih dahuluan dari ayat yang sedang dimansukhkan hukumnya. Mungkinkah itu?!
Ketiga, Tetap
diberlakukannya hukum nikah Mut’ah adalah hal pasti, seperti telah ditegaskan
oleh para ulama Sunni sendiri. Az zamakhsyari menukilIbnu Abbas ra.sebagai
mengatakan, “Sesungguhnya ayat Mut’ah itu muhkam (tidak mansukh). Pernyataan
yang sama juga da tang dari Ibnu Uyainah.
Keempat, Para Imam
Ahlubait as. menegaskan bahwa hukum yang terkandung dalam ayat tersebut tetap berlaku,
tidak mansukh.
Kelima, Ayat 5-6
Surah Mu’minun sedang berbicara tentang hukum nikah permanent dibanding
tindakan-tindakan yang diharamkan da lam Syari’at Islam, seperti perzinahan,
liwath (homo) atau kekejian lain. Ia tidak sedang berbicara tentang nikah
Mut’ah, sehingga diasumsikan adanya saling bertentangan antara keduanya.
Adapun anggapan
bahwa seorang wanita yang dinikahi dengan nikah Mut’ah itu bukan berstatus
sebagai isrti, zawjah, maka anggapan itu tidak benar. Sebab:
1. Mereka
mengatakan bahwa nikah ini telah dimansukhkan dengan ayat إلاَّ
علىَ
أَزْواجِهِمْ
… atau ayat-ayat lain atau dengan riwayat-riwayat yang mereka riwayatkan bahwa
Nabi saww. telah memansukhnya setelah sebelumnya pernah menghalalkannya.
Bukankah ini semua bukti kuat bahwa Mut’ah itu adalah sebuah akad nikah?!
Bukankah itu pengakuan bahwa wanita yang dinikahi dengan akad Mut’ah itu
adalahh seorang isrti, zawjah?! Sekali lagi, terjadinya pemansukhan – dalam
pandangan mereka- adalah bukti nyata bahwa yang dimansukh itu adalah nikah!
2. Tafsiran para
tokoh dan para mufassir Sunni terhadap ayat surah An Nisaa’ bahwa yang dimaksud
adalah nikah Mut’ah adalah bukti nyata bahwa akad Mut’ah adalah akad nikah
dalam Islam.
3. Nikah Mut’ah
telah dibenarkan adanya di masa hidup Nabi saww. oleh para muhaddis terpercaya
Sunni, seperti Bukhari, Muslim, Adu Daud dll.
4. Ada ketetapan
emas kawin, mahar dalam nikah Mut’ah adalah bukti bahwa ia adalah sebuah akad
nikah. Kata أُجُوْرَهُنَّ (Ujuurahunna=mahar
mereka). Seperti juga pada ayat-ayat lain yang berbicara tentang pernikahan.
Perhatikan ayat 25 surah An Nisaa’, ayat 50 surah Al
Ahzaab (33) dan ayat 10 surah Al Mumtahanah (60). Pada ayat-ayat tersebut kata أُجُوْرَهُنَّ diartikan mahar.
Note: Tujuan
nikah mut'ah yang sesungguhnya dizaman kita sekarang untuk persiapan nikah
ba-en (nikah permanen) bukan untuk sekedar bersenang-senang hingga orang yang
anti Syi'ah Imamiah 12 memiliki kesempatan untuk melakukan fitnah. Fitnah itu rentan di luar negara yang non
system Islam. Realitanya "Nikah Mut'ah" tidak disalah pahami di
Republik Islam Iran. Di
negara non System Islam (baca system Ta ghut), nikah Ba-en juga kerap terjadi
permasalahan. Betapa banyak lelaki yang membiarkan wanita terbengkalai setelah
kurang dari satu bulan berlangsungnya akad nikah. Andaikata negara memiliki
pemim pin yang benar, bertanggung jawab sampai persoalan perkawinan (tidak boleh
ada Suami yang menzalimi isterinya). So persoalan ummat Islam sekarang terletak
pada system yang berlaku dalam negara mere ka (Allah atau Taghut).
Billahi fi
sabililhaq
hsndwsp,-
di Ujung Dunia
Note:
Zaidi Syiah dan
Ismaelis Syiah dan Muslim Sunni tidak setuju dengan "nikah Mut'ah".
Alasan mereka Imam Alipun telah mengharamkan berdasarkan keterangan Rasulullah
sendiri. Ini dapat dilacak dalam hadist Bukhari.
Tanggapan:
Lagi-lagi mereka tidak jeli memahami ketentuan Allah swt bahwa Hadist mustahil
dapat membatalkan "Ayat Allah" (al Qur-an). Kalau mereka
mengemukankan hadist yang disetujui Imam Ali, dapat dipastikan itu "Hadist
Palsu". Disebabkan berjuta dimunculkan Hadist palsu oleh kaum yang anti
Ahlulbayt Rasulullahlah Ummat Islam tercabik-cabik di zaman kita ini. Mereka
mengklaim bahwa merekalah yang benar. Andaikata mereka mau kembali kepada ayat
Allah swt agar bersatu dengan bersungguh-sungguh mencari kebenaran, apa yang
Allah maksudkan dengan kalamnya, "Wa'tasimu bi hablillah", kenapa
Allah tidak menggunakan "Wa'tasimu bi dinillah", kitapun akan bisa
bersatu dimana hanya Ahlulbayt Rasulullahlah yang memahami tafsir
"Wa'tasimu bi hablillah" dan orang-orang yang mengikuti Ahlulbayt.
Persatuan juga bisa
terpelihara dengan menganalisa kembali kenapa "Hadist Tsaqalain"
sekarang ada dalam 2 versi, mana yang asli dan mana yang palsu, produksi kaum
yang anti Ahlulbayt:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar