Rabu, 21 Februari 2018

TANPA MENGENAL HUJJATULLAH YANG DIUTUS DIKOLONG LANGIT PASKA KEWAFATAN RASULULLAH FILOSOF MANAPUN KELIRU JALAN PIKIRANNYA

 




HUJJATULLAH YANG BRILLIANT PASKA KEWAFATAN 

RASULULLAH

KITA MENGETAHUI BAHWA BANYAK PARA PEMIKIR 

YANG  BRILLIAN 

DAN MENGAGUMKAN BANYAK ORANG 

DI ZAMAN KITA INI 


AKAN TETAPI INI BELUM BERMANFAAT BUAT MANUSIA

 DENGAN KEBERADAAN MEREKA 

KECUALI 

MEREKA JUGA MENGENAL PERSIS PARA HUJJATULLAH 

YANG DIUTUS ALLAH SWT PASKA KEWAFATAN 
RASULULLAH SAWW

hsndwsp
di
Ujung Dunia



Bismillaahirrahmaanirrahim

Para filosof non Syi'ah telah mampu menjawab pertanyaan sulit seo rang Atheis dengan bagus. Kalau kita buka Internet, kita menyaksikan banyak ahlipikir atau filosof yang mampu menjawab berbagai perta nyaan penting dalam hidup ini baik dari pihak kaum muslimin maupun dari pihak non Moslem hingga kebanya kan pendengar atau pemba ca terkesima dengan jawaban ilmiah para ahli tersebut. Dengan inteli gennya yang tinggi kita patut me ngakui bahwa mereka telah banyak mengalahkan para pemikir lainnya akan tetapi para ahli tersebut kewa lahan ketika berhada pan dengan pemikir dari pengikut para Ahlulbayt Rasulullah saww. Hal ini disebabkan mereka tidak percaya keberadaan para Ahlulbayt yang berfungsi sebagai Hujjatullah dan Pendamping Qur-an paska kewafatan Rasulullah agar ummah Muhammad tidak sesat selama-lamanya. Hal ini dapat dilihat pada ayat persatuan (wa’ tasimu bihablillahi jamiiaw, wala tafarraqu), dima na ayat ini berhubu ngan dengan Hadist Tsaqalain murni. Kenapa kita sebut Tsaqalain mur ni? Sebab Hadist tersebut telah dipal sukan hingga berakibat kaum mus limin tidak dapat bersatu paska kewafatan Rasulullah sampai zaman ki ta ini terus berpecah belah.

Imam Baqir mengatakan: "Siapapun yang tidak mengenal Imam yang diutus, terpuruk pada kesimpulan yang keliru tentang pemahaman aga manya". Dalam hal ini Imam al Baqir as berkata: "Setiap orang yang mendekatkan diri kepada Allah dalam bentuk ibadah yang ditekuni nya dengan sungguh-sungguh, tetapi ia tidak mengetahui Imam yang diutus Allah, maka semua amal usahanya itu tidak diterima. Ia adalah orang yang sesat dan kebi ngungan. Allah menolak semua amalnya, perumpamaan orang seperti itu adalah ibarat seekor domba yang tersesat dan terpi sah dari kelompok dan pengembalanya. Keterpisa hannya itu me rusak hari-hari yang dilaluinya. Ketika malam tiba, ia ber gabung dengan kelompoknya dalam kandang mereka, dan ketika sang pengembala menggiring mereka, domba tersebut membang kang dan memisahkan diri dari kelompoknya, sehingga ia kebingu ngan mencari pengembala dan kelompoknya. Ketika ia bertemu de ngan seorang pengembala dengan sekelompok dombanya, ia diperla kukan dengan baik, dan sigembala berteriak kepadanya, 'Ayo, berga bunglah engkau dengan pengembala dan kelompok mu. Engkau dom ba sesat yang kebingungan.' Domba itu lalu men cari-cari kelompok dan pengembalanya dengan kebingungan. Ia tidak punya gembala yang menggiringnya ke padang rumput atau mengajaknya pulang. Ia tetap dalam kebingungan seperti itu disaat ada seekor serigala yang menemuinya, lalu menerkam nya. (Ushul al Kafi, bab Ma'ri fat al Hujjah hadist no 1 dari Kitab al Hujjah)

Allah dan RasulNya dikenal kebanyakan orang muslim tetapi kebanya kan mereka tidak mengenal unsur ketiganya, siapakah sosok tersebut. Kebanyakan mereka mengira sosok terfsebut adalah siapa saja yang berkuasa terhadap mereka/pemerintah mereka. Inilah yang membuat mereka keliru 180 derajad dalam beragama walaupun mereka jenius sekalipun. Logikanya, kita me ngenal Allah via Rasulullah hingga Allah menar-benar kita kenali. Persoalannya sama siapakah kita mengenal Rasulullah? Pastilah via Ulil Amri. Pengenalan disini bukan secara basa-basi/cuekin tetapi mengenal persis. Dari itu disebabkan kita mentaati Ulil Amri yang salah, berakibat salahlah dalam beragama hingga kita termasuk pihak yang mendapatkan tempelakan Allah hari kiamat seba gaimana tertera dalam surah Yasin ayat berikut ini:

"Bukankah telah Kuperintahkan kepadamu hai Bani Adam agar supaya kamu tidak mengi kuti (langkah) syaitan? Sesungguhnya syaitan itu mu suh yang nyata bagi kamu"(QS,36:60). Dan tunduk patuhilah kepadaKu (ikutilah Aku). Inilah jalan yang selurus-lurus nya (QS, 36:61). Sesungguh nya syaitan itu telah menyesatkan se bahagian besar diantaramu, Ma ka apakah kamu tidak memikir kan? Inilah Jahannam yang dahulu kamu diancam (dengan nya).(QS,36:62). Masuklah (kamu) ke dalam nya pada hari ini dise babkan kamu dahulu mengingkarinya (QS, 36:64). Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan (QS, 36:65)

Dengan catatan ini semoga para ahli pikir manapun mau mene lusuri dalam hidupnya, siapa sajakah Hujjatullah di planet Bumi ini hingga tan pa manusia agung itu Bumi ini akan binasa atau runtuh atau kiamat. De mikianlah penting Allah menjadikan HujjahNya di kolong langit ini.

Pertama sekali para filosof perlu mempertanyakan kenapa Allah tidak menggunakan kata "bidinillah" pada ayat "Wa’tasimu bihab lillah", di mana kebanyakan pemikir menterjemahkan "bidinillah". Ini termasuk ka ta "simbolik" yang memiliki makna dan fungsinya yang begitu penting di sisi manusia yang benar imannya. Hadist Tsaqa lain murni berbunyi: "Ku tinggalkan kepadamu dua perkara besar, apabila kalian berpegang bteguh kepada keduanya kalian tidak akan sesat selama-lamanya, sampai menemuiku di Pancutan Kau tsar, yaitu Qur-an dan "Ittrahku". It trah Rasulullahlah yang berfungsi sebagai Hujjatullah dan pendamping Qur-an. Hujjatullah yang pertama sebagai pendamping Qur-an adalah Rasulullah sendiri. Makanya Qur-an butuh Hadist sebagai penjelasan nya.

Andaikata Allah tidak mengutus HujjahNya paska kewafatan RasulNya (sebagai perpanjangan keimamahannya) dapat dipahami bahwa pas ka kewafatan Rasulullah, dunia akan menjadi seperti paska Ghaibnya Nabi ‘Isa bin Maryam dimana kitab Injil dipalsukan dan ‘Isa sendiri diang gap sebagai Tuhan. Justeru itu Allah menjamin kemurnian Qur-an seba gai Kitab terakhir bagi ummat manusia terakhir di planet Bumi ini. Lalu pertanyaannya, kenapa juga paska kewafatan Nabi Muhammad saw kaum muslimin terus pecah belah? Qur-an memang tidak dapat dipal sukan sesuai pernyataan Allah sendiri bahwa Dia sendiri yang menjamin keasliannya. Memang banyak pihak mencoba untuk memaslukan Qur-an tetapi selalu terbongkar niat jahat tersebut. Akan tetapi Qur-an ter diri dari ayat muhkamat dan Mutasyabihat, ayat ansih dan mansuh, ayat tersurat dan tersirat. Kalau ayat muhkamat memang tidak butuh pendamping, mudah dipahami, namun ketika kita berhadapan de ngan ayat-ayat sulit, kita butuh pendampingnya agar tidak sesat sela ma-lamanya.

Banyak para pemikir yang brillian tetapi tetap saja keliru disebab kan mereka tidak mengenal pendamping Qur-an. Padahal mere ka yakin bahwa untuk mengetahui ayat-ayat Sulit kita butuh Hadist Rasulullah (pendamping Qur-an). Kesilapan mereka adalah tidak sadar bahwa para manusia jahat memang tidak mampu memalsukan Qur-an tetapi mereka mampu memalsukan Hadist sebagai pendamping Qur-an. Itulah sebabnya pengikut Ahlulbayt (Syi’ah Imamiah 12) tidak akan per nah sesat sebab mereka me ngenal pendamping Qur-an yang dimak sudkan dalam Hadist Tsaqalain murni yaitu Ittrahnya Rasulullah sendiri yang SK kesuciannya diturunkan Allah berbarengan dengan Hadist Kisa. Ittrah Nabi suci inilah yang dimaksudkan Allah dengan “Tali Allah /bihablillah” un tuk kita bersatu. Itulah sebabnya hanya pengikut Ahlul bayt yang memahami persoalan esensi persatuan yang dimaksudkan Allah swt.

Terakhir sekali saya hendak menjawab kekeliruan salah seorang pemikir bahwa katanya kata Syi’ah tidak disebutkan dalam Qur-an:

Para ahli pikir itu  mengatakan bahwa Syi’ah (baca pengikut Ahlulbayt) tidak disebutkan dalam Qur-an. Katanya Qur-an hanya menyebut Mus lim, bukan Syi’i dan bukan Sunni. Kalau Ahli pikir itu mengatakan bahwa Qur-an tidak menyebut Syi’i, terindikasi mereka belum membaca Qur-an keseluruhannya. Kalaulah sudah mereka baca berarti tidak mema hami Qur-an keseluruhannya. Sebetulnya banyak pemikir non Syi’i yang memahami Qur-an tetapi mereka tidak memahami ayat-ayat yang penting disebabkan mereka tidak mengenal Hujjatullah/pendamping Qur-an dimana melalui merekalah kita mampu memahami ayat-ayat Qur-an yang terpenting walaupun kita hanya orang biasa.

Petama silakan buka surah Al Bayyinah:
Mazhab Syiah Imamiyah Itsna Asy'ariyah (Pengikut 12 Imam) adalah se buah komunitas besar dari ummat Islam pada masa sekarang ini, dan jumlah mereka diperkirakan ¼ jumlah umat Islam. Latar belakang seja rahnya bermuara pada masa permula an Islam, yaitu saat turunnya fir man Allah swt. surat Al-Bayyinah ayat 7 :

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُوْلَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّة

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, mere ka adalah sebaik-baiknya penduduk bumi. (QS. Al Bayyinah [98]:7)

Selekas itu, Rasulullah saw. meletakkan tangannya diatas pundak Imam Ali bin Abi Thalib a.s, sedang para sahabat hadir dan menyaksikannya, seraya bersabda: “Hai Ali!, Kamu dan para syi’ahmu adalah sebaik-ba iknya penduduk Bumi”. [1] Dari sinilah, kelompok ini disebut dengan nama “syi’ah”, dan dinisbatkan kepada Ja’far Ash-Shadiq a.s. karena mengikuti beliau dalam bidang fiqih.

Selanjutnya kata Syi'ah dalam Qur-an dapat anda telusuri di alinia -ali nia berikut ini:  

"(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap ummah de ngan Imamnya; dan barangsiapa yang diberikan kitab amalan nya di tangan kanannya maka mereka ini akan membaca kitab nya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikit pun" (QS. Al-Israa: 71)

Pada hari pengadilan akhirat, takdir dari setiap orang yang mengikuti para Imamnya yang dipercayainya akan tergantung dari Imam-Imam yang dipercayainya itu apabila ia memang benar-benar mengikuti pa ra Imam yang ia percayai itu. Allah menjelas kan dalam Al-Qur’an bah wa ada dua jenis Imam yang diikuti dan diyakini oleh para pengikut nya. Ada Imam yang mengajak manusia untuk masuk ke dalam Api Ne raka. Untuk kategori ini adalah para pemimpin yang dzalim dan tiran di masanya seperti Fir’aun, misalnya. Kita harus mampu mendeteksi Fir-un-fir'un modern/regim-regim despotik dan arogant di zaman kita masing-masing.

"Dan Kami jadikan mereka para Imam yang menyeru (manusia) ke ne raka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong. Dan Kami ikut kanlah laknat kepada mereka di dunia ini; dan pada hari kiamat mere ka termasuk orang-orang yang dijauhkan (dari rahmat Allah)" (QS. Al-Qashash: 41—42)

Al-Qur’an sudah memberikan peringatan kepada orang-orang yang mengikuti para imam yang dzalim dan para pengikut imam seperti itu a kan mendapatkan takdir buruknya kelak di akhir zaman. Mereka akan digabungkan dengan para imamnya itu da lam Jahanam.

Di sisi lain Al-Qur’an juga memberikan informasi tentang adanya Imam-Imam yang memang ditunjuk oleh Allah untuk membimbing manusia ke jalan yang benar. Lihatlah ayat berikut ini:

"Dan Kami JADIKAN di antara mereka itu IMAM-IMAM yang memberi pe tunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami." (QS. As-Sajdah: 24)

(lihatlah kata-kata JADIKAN dan IMAM-IMAM yang menjelaskan secara tegas tentang jabatan Imam yang ditunjuk oleh Allah dan bukan oleh manusia. Dan mereka memiliki fungsi yang kurang lebih sama dengan Nabi walaupun tidak membawa kitab suci yang baru).

Dengan melihat ayat-ayat tersebut di atas, maka kita bisa simpul kan bahwa para pengikut dari Imam-Imam yang mendapat man dat dari Allah itu akan menemui kebahagiaan di akhirat kelak. Jadi kalau kita menjadi pengikut seorang imam maka itu tidak berarti apa-apa kalau yang kita ikuti itu adalah seorang imam yang tidak mendapatkan man dat dari Allah. Jadi akhir yang baik dan yang buruk bagi kita di akhirat kelak itu ditentukan dari siapakah Imam yang kita ikuti dan patuhi sela ma kita hidup di Bumi.

Allah telah menyebutkan dalam Al-Qur’an bahwa beberapa hamba Nya yang haq adalah juga pengikut (Syi’ah) bagi para hambaNya yang lain. Seperti pernah dijelaskan Al-Qur’an bahwa Nabi Ibrahim itu adalah pengikut (Syi’ah) dari Nabi Nuh. "Dan se sungguhnya Ibrahim be nar-benar termasuk golongannya/Syi’ah nya (Nuh)" (QS. Ash-Shaaffaat: 83)

(Lihatlah kata "Syi’ah" yang dipakai secara jelas sekali oleh Al Qur-an. Al Qur-an secara eksplisit menggunakan kata itu huruf demi huruf dalam ayat tersebut di atas dan juga dalam ayat berikut ini)

Dalam sebuah ayat dalam Al-Qur’an diceritakan tentang pengikut (? ????) Nabi Musa melawan musuh-musuh dari Nabi Musa. Lihatlah ayat berikut dan lihatlah penggu naan kata SYI’AH untuk ayat tersebut:

"Dan Musa masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang le ngah, maka didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang ber kelahi; yang seorang dari SYI’AHNYA (pengikutnya Bani Israel) dan se orang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir'aun). Maka orang yang dari SYI ’AHNYA (pengikutnya) meminta pertolongan kepadanya, untuk menga lahkan orang yang dari musuhnya, lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu. Musa berkata: "Ini adalah perbuatan syaitan, sesungguh nya syaitan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata (permusu hannya) (QS. Al-Qashash: 15)

Di dalam ayat Al-Qur’an di atas ada orang yang disebut sebagai pengi kut Nabi Musa (atau SYI’AH MUSA) dan orang yang satunya lagi disebut sebagai musuh dari Nabi Musa. Orang-orang pada alinia diatas bisa di bagi kedalam dua kelompok: kelompok SYI’AH MUSA atau kelom pok MUSUH MUSA.

Dengan kata lain bisa kita simpulkan bahwa Allah secara resmi menggunakan kata SYI’AH dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan pengikut para Nabi dan sekaligus para Nabi itu sendiri (masih ingat Nabi Ibrahim yang disebut sebagai SYI’AH—pengikut—dari Nabi Nuh?). Allah menggunakan kata SYI’AH ini dengan segenap penghormatan kepada para hambaNya yang shaleh. Apakah dengan itu kita membuat Nabi Ibrahim itu sebagai seorang sekta rian? Bagaimana dengan Nabi Nuh dan Nabi Musa?

Kata "Shiah" itu sendiri artinya "pengikut" atau "anggota dari sebuah kelompok". Sementara itu kata SYI’AH sendiri sebenarnya tidak mengandung sifat positif atau negatif. Kata itu akan bersifat negatif atau positif apabila kata itu disandingkan dengan nama seorang pemimpin tertentu.

Apabila seorang pengikut (Syi'ah) itu mengikuti para hamba Allah yang haq, maka tidak ada salahnya dengan kata Syi'ah itu apalagi mengingat Imam yang ia ikuti itu adalah Imam yang diberikan mandat langsung oleh Allah untuk membimbing ummat manusia. Sementara itu apabila seseorang itu telah menjadi seorang pengikut (Syi'ah) dari seorang tiran yang kejam; seorang pemimpin yang tidak berperilaku kemanusiaan; seorang pemim pin yang korup bukan kepalang, maka ia akan menemui takdir buruknya bersama dengan imam yang diikutinya.

Selanjutnya mari kita analisa Hadist Bahtera (Hadist Ittrah Nabi suci): "Ah lul baytku umpama bahtera Nuh, siapa yang naik selamat dan siapa yang tidak naik tenggelam". Kita dapat menarik kesimpulan bahwa sia papun yang mengaku beragama Islam tetapi tidak termasuk pengikut Ahlulbayt Rasulullah, mereka itu akan masuk Neraka kelak (nauzu billahi min zalik). Selanjutnya perlu kita nalisa system Thagut Hindunesia di za man Suharto hingga Yudhoyono, Irak di jaman Saddam, Iran di jaman Shah Redha Palevi dan sebagainya, adakah termasuk bahtera yang sa ma dengan bahtera Ahlulbayt Rasulullah saww atau bahtera Muawi yah dan Yazid bin Muawiyah. Kalau system yang sama dengan bahte ra Ahlulbayt Rasulullah, "penumpangnya" mendapat Rahmat semua nya tanpa kecuali. Sebaliknya yang kita saksikan dalam system Hindune sia dulu, sebahagian penumpangnya hidup mewah sementara mayori tas penumpangnya hidup morat marit. Lalu selanjutnya kita pertanya kan orang-orang "alim" dalam bahtera Hindunesia dan semacamnya, adakah mereka menjadi pembela kaum mustadhafin dengan ilmu aga ma yang segudang mereka miliki? Bukankah mereka itu hanya di mulut saja mengaku tidak ada Tuhan selain Allah sementara dalam sepakter jangnya sehari-hari menuhankan Penguasa zalim yang menzalimi eko nomi kaum mustad'afin akibat tidak menghukum para koruptor dengan hukum yang diturunkan Allah (baca QS, al Maidah 44, 45 dan 47).

Kini zaman Jokowi besar kemungkinan, Indonesia akan berobah namun sayangnya orang acheh sendiri masih belum mampu membedakan antara Indonesia zaman Suharto hingga Yudhoyo no dengan Indonesia zaman Jokowi yang merakyat. Mereka masih saja mengharapkan Indo nesia dikuasai militer (baca Suhar to/Yudhoyono/Prabowo). Tentara itu secara Islami bertugas untuk menjaga wilayah negara dari gangguan asing, bukan menguasai rakyat sipil. Betapa lelahnya kita dulu dikuasai Suharto secara diktator, apakah mau kembali kezaman yang melelah kan terse but?. Apakah salah kalau kita katakan bahwa yang membela Prabowo itu terindikasi mereka yang dulunya kecipratan dana korupsi via kedekatannya dengan Suharto dan Yudhoyono?  Bertaubatlah ka wan dan belajarlah Siasah Fatanah Rasulullah saww (politik Islam murni) senantiasa memihak kaum mustadhafin.



HUJJATULLAH YANG BRILLIANT SEMUANYA SYAHID.
JUSTERU ITULAH YANG TERAKHIR DI GHAIBKAN
SEPERTI
NABI 'ISA BIN MARYAM:



1. Imam Ali bin Abi Thalib Amirul Mukminin a s

2. Imam Hasan Al-Mujtaba a.s.

3. Imam Husain Sayyid Asy-Syuhada a.s. (keduanya adalah putra Imam Ali dan Sayidah Fatimah a.s. dan cucuanda Nabi suci saww.

4. Imam Ali Zainal Abidin As-Sajjad a.s.

5. Imam Muhammad bin Ali Al-Bagir a.s.

6. Imam Ja’far bin Muhammad Al-Shadiq a.s.

7. Imam Musa bin Ja’far Al-Khadzim a.s.

8. Imam Ali bin Musa Ar-Ridha a.s.

9. Imam Muhammad bin Ali Al-Jawad-At-Taqi a.s.

10. Imam Ali bin Muhammad Al-Hadi- An-Naqi) a.s.

11. Imam Hasan bin Ali Al-‘Askari a.s.

12. Imam Muhammad bin Hasan Al-Mahdi Al-Muntazhar a.s. yang dijanjikan dan dinantikan. (read less)

Open: All content is public.


Website:

http://www.al-hadj.com

http://www.khamenei.ir

http://www.leader.ir

http://www.wilayah.org

http://www.al-shia.org/html/id/index.htm

http://www.fatimah.org/index1.htm


Al­ Qur-an Tentang Keluarga Para Nabi

Dalam Al­Qur’an diceritakan tentang para Nabi yang berdoa kepada Allah SWT bagi keluarganya, dan memohon kepada­Nya untuk menuntun keturunan mereka. Allah SWT selalu mengabulkan doa para Nabi dengan memberikan berkah­Nya kepada keturu nannya, agar anak cucu Nabi itu dapat melestarikan ajaran orang tua dan datuk kakek mereka, mencontohi kesalehan orang tua mereka, dan menjaga jalan yang lurus’ yang diajarkan Nabi itu, yaitu dzurriyah, al, ahl, dan qurba. Dzurriyah, misalnya, yang berarti keluarga, turunan atau keturunan langsung, terdapat dalam 32 ayat al­Qur’an. Misalnya, Allah SWT berfirman:

(Ingatlah) ketika Ibrahim mendapat ujian dari Tuhannya untuk memenuhi beberapa suruhan, lalu ia menunaikannya. Berfirman (Allah), ‘Akan kujadikan kau pemimpin (imam) bagi manusia’. (Ibrahim memohon) ‘Dari keturunanku (dzurriyati), juga jadikan pemimpin­pemimpin)’. Menjawab (Tuhan) dan berfirman. ‘Janji­Ku tidak berlaku bagi orang yang zalim. 569
Di bagian lain, Ibrahim as berdoa kepada Allah SWT:
‘Tuhan kami! Aku telah menetapkan sebagian keturunanku di lembah tanpa tanaman, dekat Rumah­Mu yang suci. Tuhan kami! Supaya mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia mencintai mereka, dan berilah mereka rezeki buah ­buahan, supaya mereka berterima kasih’. 570
Doa ini dikabulkan Allah:

Mereka yang diberi nikmat oleh Allah, para Nabi keturunan Adam dan (keturunan) mereka, yang Kami bawa bersama Nuh (dalam bahtera), keturunan Ibrahim dan Isra’il, dan (keturunan mereka) yang Kami beri petunjuk dan Kami pilih. Bila dibacakan kepada mereka ayat­ayat Allah Yang Maha Pemurah, mereka tunduk bersujud dan berurai air mata. 571
Dan semua ahli tafsir sependapat bahwa Nabi Muhammad saw adalah dari keturunan (dzurriyah) Ibrahim. Dalam ayat yang lain Nabi Muhammad disebut sebagai keluarga (al) Ibrahim:

Sungguh Allah telah memilih Adam dan Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga ‘Imran di atas segala bangsa. 572
Istilah al (keluarga) seperti pada ayat di atas terdapat pada 26 ayat Al­Qur’an yang berhubungan dengan keturunan para Nabi, serta berkah khusus yang dilimpahkan kepada mereka. Di bagian lain Allah SWT berfirman:

Ataukah mereka dengki kepada manusia, karena Allah memberi mereka sebagian dari karunia­ Nya? Sungguh, telah Kami beri keluarga Ibrahim Kitab dan Hikmah, dan Kami beri mereka keraja an yang besar.

Istilah ahl (keluarga) mempunyai arti yang sama dengan al. Tetapi, bila dirangkaikan dengan bait (rumah) menjadi ahlu’l­bait, maka yang dimasukkan adalah keturunan langsung, seperti terdapat pada ayat Al­Qur’an yang berikut:
Allah hanya hendak menghilangkan (segala) kenistaan daripada mu, ahlu’l­bait (Rasul Allah), dan menyucikan kamu sebersih­ bersihnya.

Jumhur atau kebanyakan ulama berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan ahlu’lbait dalam ayat itu adalah putri Nabi Fathimah, sepupu dan menantu beliau ‘Ali bin Abi Thalib, serta kedua cucu yang sangat beliau cintai Hasan dan Husein.

Hadis Kisa

Hadis Kisa yang menyangkut turunnya ayat ini, diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib, ummu’l­muminin ‘A’isyah dan ummu’l­muminin Ummu Salamah, ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Umar bin Abi Salmah, Abu Said al­Khudri, Sa’d bin Abi Waqqash, Anas bin Malik dan lain­lain.

569 Al­Qur’an, al­Baqarah (II), 124. 570 Al­Qur’an, Ibrahim (XIV), 37. 571 Al­Qur’an, Mariam(XIX), 58 572 Al­Qur’an, Ali Imran (III), 33. 573 Al­Qur’an, an­Nisa’ (IV), 54. 574 Al­Qur’an, al­Ahzab (XXXIII),

Ummu Salamah berkata: “Ayat Allah hanya hendak menghilang kan (segala) kenistaan daripadamu, ahlu’l­bait (Rasul Allah), dan menyucikan kamu sebersih­bersihnya turun di rumahku. Dan di rumahku ada tujuh, Jibril dan Mikail as., ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain ra dan saya berada di dekat pintu rumahku.”

“Aku bertanya: ‘Ya Rasul Allah apakah saya tidak termasuk ahlu’l ­bait?” Rasul menjawab: ‘Sesunggulmya engkau dalam kebaikan, engkau adalah istri Rasul’. Di bagian lain Rasul menutup ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain dengan kain (Kisa’), lalu turunlah ayat di atas sehingga dinamakan Hadis Kisa’ dan ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain dinamakan Ahlul Kisa’.

Istilah lain, yakni qurba (berasal dari kata qaruba yang berarti de kat) dimaksudkan juga keturunan langsung dari seseorang, seperti tersebut pada firman Allah dalam Al­Qur’an:

Itulah (karunia) yang Allah kabarkan beritanya yang gembira ke pada hamba­hamba­Nya yang beriman dan melakukan amal kebaikan. Katakanlah, ‘Tiada kuminta kepadamu upah untuk itu, hanya kasih sayang kepada keluarga (qurba)’. Dan barangsiapa yang memperoleh kebaikan Kami akan tambahkan pula kepada nya kebaikan. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Berterima kasih.
Dan sekali lagi, jumhur sependapat bahwa istilah qurba (keluarga) di sini memaksudkan keluarga Muhammad saww, yaitu Fathimah az­Zahra’ ‘Ali bin Abi Thalib, Hasan serta Husain. Tentu yang dimak sudkan dengan jumhur (mayoritas) disini adalah tokoh­tokoh.....



Tidak ada komentar:

Posting Komentar