YA ALLAH BETAPA LUGUNYA AHMAD SUDIRMAN. PASTINYA UMAR
MENUDING RASULULLAH DALAM PERJANJIAN HUDAIBIYAH SEBAGAIMANA UMAR JUGA BERANI
MENGHAMBAT RASULULLAH DI
RANJANG KEWAFATANNYA KETIKA HENDAK
MENULIS WASIATNYA
By
Muhammad al Qubra
Acheh - Sumatra
"Terakhir, dengan berdasarkan apa yang dijelaskan
diatas, maka kita sudah dapat me ngambil kesimpulan bahwa pertanyaan yang
dikemukakan oleh Umar bin Khattab ra
“Bukankah engkau benar-benar utusan Allah?” kehadapan Rasulullah saw
adalah bukan karena kemunafikan atau adanya rasa syak, ragu-ragu, tidak yakin
dan tidak pecaya kepada Rasulullah saw dan kerasulan, melainkan semata akibat
oleh dorongan perasaan yang ditimbulkan oleh adanya penyiksaan dan penganiayaan
terhadap Abu Jundal, dimana Rasulullah saw tidak berdaya dan tidak mampu untuk
menolongnya, ka rena tidak mau menghianati perjanjian Hudaibiyah yang baru saja
ditandata ngani." (Ahmad Sudirman , 18 Oktober 2006)
Ya Allah tunjukilah hambamu yang belum banyak melakukan
kesalahannya.
Betapa lugunya kesimpulan yang diambil Ustaz Ahmad Sudirman
diatas. Pastinya Umar menuding rasulullah dengan pertanyaan:
"Apakah benar bahwa engkau adalah Nabi Allah yang
sesungguhnya?", kejadiannya masih di Makkah, bukan setelah muncul
peristiwa Abu Jundal, meminta bergabung dengan Rasulullah saw. Ustaz Ahmad
Sudirman sengaja memutarbalikkan kenyataan untuk membela Umar, seolah-olah
demikian peduli Umar kepada penderitaan Abu Jundal lalu membenarkan melemparkan
pertanyaan yang mencirikan kemunafikannya. Andaikatapun benar kejadian itu
setelah peristiwa Abu Jundalpun, mustahil bagi orang-orang yang benar-benar
beriman melemparkan pertanyaan seperti itu. Bukankah yang namanya orang beriman
sami'na wa ata'na terhadap apa saja yang datangnya dari Rasulullah? Apalagi
kejadian itu masih di Makkah selepas barusaja perjanjian itu ditandatangani.
Hal ini juga dibuktikan setelah Rasulullah melayani Umar,
beliau beliau berkata kepada sahabat-sahabatnya: "Hendaklah kalian
sembelih binatang-binatang korban yang kalian bawa itu dan cukurlah rambut
kalian." Demi Allah tidak satu sahabatpun berdiri mematuhi perintah itu
sampai Nabi mengucapkannya sebanyak tiga kali. Ketika dilihatnya mereka tidak
mematuhi perintahnya Nabi masuk ke dalam kemahnya dan keluar kembali tanpa
berbicara dengan siapa pun. Beliau sembelih korbannya dengan tangannya sendiri
lalu memanggil tukang cukurnya kemudian bercukur. Melihat ini para sahabat
kemudian menyembelih juga korban mereka, kemudian saling mencukur sehingga
hampir-hampir mereka saling berbunuhan. (Lihat buku-buku sejarah dan sirah.
Juga lihat Shahih Bukhori dalam Bab as-Syuruthi Jihad 2:122; juga Shahih Muslim
Bab Sulhul Hudaibiyah Jil. 2)
Untuk lebih jelas lihatlah sekali lagi cuplikan berikut: . .
. . . .Namun sebagian sahabat tidak senang dengan sikap Nabi seperti ini.
Mereka menentangnya dengan keras. Umar bin Khattab datang dan berkata:
"Apakah benar bahwa engkau adalah Nabi Allah yang sesungguhnya? "
"Ya", jawab Nabi.
"Bukankah kita dalam hak dan musuh kita dalam
batil?"
"Ya". Sahut Nabi.
"Lalu kenapa kita hinakan agama kita?" Desak Umar.
"Aku adalah Rasulullah. Aku tidak melanggar
perintah-Nya dan Dialah penolongku." Jawab Nabi.
"Bukankah engkau mengatakan kepada kami bahwa kita akan
mendatangi Rumah Allah dan bertawaf di sana ?"
"Ya. Tetapi apakah aku katakan kepadamu pada tahun ini
juga?" Tanya Nabi.
"Tidak".Jawab Umar.
"Engkau akan datang ke sana dan tawaf di
sekitarnya." Kata Nabi mengakhiri.
Kemudian Umar datang kepada Abu Bakar dan bertanya:
"Wahai Abu Bakar! Benarkah bahwa dia adalah seorang Nabi
yang sesungguhnya? "
"Ya" Jawab Abu Bakar.
Kemudian Umar mengajukan pertanyaan serupa kepada Abu Bakar
dan dijawab dengan jawaban yang serupa juga.
"Wahai saudara!" Kata Abu Bakar kepada Umar.
"Beliau adalah Rasul Allah yang sesungguhnya. Beliau tidak melanggar
perintah-Nya dan Dialah Penolongnya. Maka percayalah padanya."
Usai Nabi menulis piagam perdamaian, beliau berkata kepada
sahabat-sahabatnya: "Hendaklah kalian sembelih binatang-binatang korban
yang kalian bawa itu dan cukurlah rambut kalian." . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . .
Ternyata untuk membela membenarkan klaimnya itu, Ustaz Ahmad
Sudirman juga telah merobah pertanyaan Umar dari "Apakah benar bahwa
engkau Nabi Allah yang sesungguhnya? " kepada: “Bukankah engkau
benar-benar utusan Allah?” Ustaz harus memahami bahwa dua pertanyaan diatas sepertinya
sama, namun kalau diteliti benar-benar nampak bahwa pertanyaan yang pertama
lebih keras daripada pada pertanyaan kedua, kendatipun dalam bentuk pertanyaan
kedua juga mustahil dilemparkan kepada Rasulullah kecuali orang dungu kalau
tidak dikatakan Munafiq.
Kenyataannya Umar benar-benar munafiq. Buktinya pertanyaan
itu diulangilagi kepada konconya Abubakar. Hal ini semua dibuktikan oleh
banyaknya tindakan Umar sendiri yang menentang Rasulullah seperti Ketika
Rasulullah hendak menulis wasiat diatas katilnya, menentang pengangkatan Usamah
dan bahkan Umar dan Abubakar tidak bersedia berada dibawah pimpinan Usamah.
Sesungguhnya semua ini datangnya dari Allah sendiri, dimana Umar dan Abubakar
cs menentang Imam Ali dari pengangkatannya di Ghadir Khum dengan alasan Imam
Ali Masih muda. Justru itu Allah dan Rasulnya membuktikan kepada mereka bahwa
umur itu bukan perkara yang mustahak dengan mengangkat Usamah yang lebih muda
dari Imam Ali serta memerintahkan Abubakar dan Umar untuk berada dibawah Usamah
dan menahan Imam Ali agar tetap tinggal dimadinah disisi Rasulullah sendiri.
Dalam pengangkatan Imam Ali di Ghadirkhum, Umar
memperlihatkan seolah-olah dia mengakui pengangkatan Imam Ali ketika itu dengan
mengucapkan:"Tahniah ya Abbal Hassan, anda hari ini telah menjadi Maulaku
dan maula semua kaum Muslimin dan Muslimat". Bukti kemunafikan mereka,
dimana setelah itu mereka membuat perjanjian lain di belakang Ka'bah untuk
menjauhkan Imam Ali dari Jabatan Khalifah yang sah dari Allah dan Rasulnya.
Sementara Abubakar dan Umar mengangkat diri sebagai Khalifah di Saqifah, tempat
yang telah disegel Rasulullah, dengan memanfaatkan atas nama keluarga
Rasulullah dalam berhujjah dengan Abdurrahman bin Auf. Peristiwa itu insya
Allah akan kita beberkan nati suatu saat mengenai pengangkatan
khalifah-khalifah yang penuh misteri itu.
Bukti lain kemunafikan Umar disamping menanyakan lagi
pertanyaan syaknya terhadap Rasulullah kepada Abubakar, hal tersebut diperjelas
lagi oleh shahih Bukhari halaman 111 dan shahih Muslim halaman 12, 14. Disana
dikatakan bahwa Umar berkata: "Aku tidak mengesyaki kenabian Muhammad saw
seperti syakku pada hari Hudaibiyah". Pernyataan Umar tersebut menunjukkan
bahwa dia senantiasa mengesyaki kenabian Nabi Muhammad saw tetapi syaknya pada hari
Hudaibiyah adalah lebih banyaklagi daripada syak-syak sebelumnya.
Demikianlah para pembaca sekalian semoga Allah memberi
hidayah kepada kita sekalian sehingga tidak mengalami nasib yang sial ketika
menghadapi sakratul maut sebagaimana dialami Abubakar dan Umar cs. Aamin ya
Rabbal ‘alamain,-
Billahi fi sabililhaq
Muhammad Al Qubra
Acheh - Sumatera
Stockholm, 18 Oktober 2006
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.
MASIH MENGGALI TENTANG UMAR BIN KHATTAB RA DIHUBUNGKAN
DENGAN PERJANJIAN HUDAIBIYAH.
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.
MASIH MENYOROT UMAR BIN KHATTAB RA TENTANG PERJANJIAN
HUDAIBIYAH DILIHAT DARI SUDUT SAHIH MUSLIM.
Rupanya orang-orang yang masih belum mengerti dan belum
memahami situasi dan keadaan pasca penandatanganan perjanjian Hudaibiyah tetap
berusaha menampilkan pertanyaan-pertanyaan Umar bin Khattab ra terhadap
Rasulullah saw dalam usaha untuk menggiring Umar bin Khattab ra kearah syah,
keraguan, ketidak-percayaan, ketidak-yakinan kepada Rasulullah saw dan
kerasulannya, juga beruasa membawa kearah kemunafikan.
Nah, agar supaya kita semua memahami situasi dan keadaan
pasca penandatanganan perjanjian Hudaibiyah ini, perlu kembali dituliskan
disini bahwa isi perjanjian Hudaibiyah ini adalah menyangkut:
1.Kaum Muslimin tahun ini harus pulang tanpa melaksanakan
ibadah umrah.
2.Mereka boleh datang tahun depan untuk melaksanakan haji,
tetapi tidak boleh tinggal di Mekkah lebih dari tiga hari.
3.Mengunjungi kota suci tidak boleh membawa senjata, hanya
pedang yang boleh dibawa, tetapi harus tetap disarungnya.
4.Orang Islam Madinah tidak boleh mengambil kembali orang
Islam yang tinggal di Mekkah, juga tidak boleh menghalangi siapapun dari orang
Islam yang ingin tinggal di Mekkah.
5.Bila ada orang Mekkah yang ingin tingggal di Madinah, kaum
muslimin harus menyerahkannya kembali kepada mereka, tetapi bila ada orang
Islam yang ingin tinggal di Mekkah, pihak Mekkah tidak harus mengembalikannya
ke Madinah. Suku-suku bangsa di Arab, bebas untuk bersekutu dengan kelompok
manapun yang mereka kehendaki. (Majid ‘Ali Khan, Muhammad The Final Messenger,
1980, hal. 197-198)
Nah bagi orang yang tidak mengerti dan tidak memahami
tentang kebijaksanaan politik dan pemerintahan serta Negara Islam pertama yang
dipimpin oleh Rasulullah saw, maka ketika membaca isi butiran-butiran
perjanjian Hudaibiyah tersebut akan timbul sikap dan tindakan yang negatif atas
isi perjanjian tersebut. Mengapa ? Karena, isinya memang menghinakan Islam dan
merugikan kaum muslimin.
Nah, sikap yang demikianlah yang timbul dalam pikiran
sebagian pasukan Rasulullah saw termasuk Umar bin Khattab ra, yang menganggap
bahwa isi perjanjian Hudaibiyah adalah menghinakan Islam dan merugikan kaum
muslimin dan Negara Islam pertama.
Sekarang, keadaan dan situasi yang panas diantara para
sahabat dan pasukan Rasulullah saw pasca penandatanganan perjanjian Hudaibiyah
makin menjadi panas situasi dan keadaannya, ketika tiba-tiba muncul Abu Jundal,
putra Suhail bin ‘Amar utusan Quraisy meminta bergabung dengan Rasulullah saw
(Ibnu Hisyam, As-Sirah an-Nabawiyyah, Jil. II, hal.318) sambil menunjukkan
bekas-bekas luka akibat siksaan yang ditimpakan oleh Quraisy. Kemudian,
Rasulullah saw mencoba mencari perkecualian agar Abu Jundal dapat diselamatkan,
tetapi pihak Suhail bin ‘Amar menolaknya. Lalu Abu Jundal ditangkap kembali,
dipukul dan diseretnya untuk dibawa kembali ke Mekkah. Abu Jundal berteriak
meminta tolong (Ibnu Jarir ath-Thabari, Tarikhur Rasul wal Muluk, Jil.II,
hal.635), tetapi tidak ada yang berani menolongnya. Bahkan perasaan para
sahabat dan para pasukan Rasulullah saw pada saat itu sangat tersayat hatinya,
tetapi Rasulullah saw tetap berusaha dengan sabar dan tetap memegang teguh isi
perjanjian Hudaibiyah yang baru saja ditandatangani. Bahkan Rasulullah saw
meminta kepada Abu Jundal untuk tetap bersabar, kemudian Abu Jundal ditahan dan
dibawa kembali ke Mekkah. (Majid ‘Ali Khan, Muhammad The Final Messenger, 1980,
hal. 198)
Nah dalam saat-saat situasi dan keadaan yang menyayat hati
inilah yang disaksikan mata langsung oleh Umar Bin Khattab ra yang membuatnya
menjadi murung, lalu berkata kepada Rasulullah saw: “Bukankah engkau
benar-benar utusan Allah? Bukankah apa yang kita miliki sesuatu yang benar?”
(Syibli Nu’mani, Siratun Nabi, Jil I, hal.457) Kemudian Rasulullah saw menjawab
dengan tegas dan berkata bahwa ia lakukan semua ini semata-mata mengikuti
petunjuk Allah. (Majid ‘Ali Khan, Muhammad The Final Messenger, 1980, hal. 198)
Nah ternyata Umar bin Khattab ra ketika melihat situasi dan
keadaan yang menimpa Abu Jundal yang disiksa dan diserert didepan mata
Rasulullah saw, para sahabat dan para pasukan Rasulullah saw, dimana tidak ada
seorangpun yang berani menolongnya, Rasulullah saw sendiri tidak bisa
menolongnya, maka disaat dan dalam keadaan situasi yang demikianlah timbul
dorongan dari diri Umar bin Khattab ra yang ditampilkan dalam pertanyaan
“Bukankah engkau benar-benar utusan Allah? Bukankah apa yang kita miliki sesuatu
yang benar?” yang langsung diarahkan kepada Rasulullah saw. Yang dijawab oleh
Rasulullah saw dengan tegas bahwa apa yang dilakukannya adalah semata-mata
mengikuti petunjuk Allah SWT.
Sekarang yang dipertanyakan, apakah timbulnya sikap Umar bin
Khattab ra yang diungkapkan dalam bentuk pertanyaan kepada Rasulullah saw
tersebut merupakan sikap yang syak, ragu-ragu, tidak percaya, tidak yakin
kepada Rasulullah saw sebagai rasul? Dan apakah sikap Umar bin Khattab ra itu
merupakan sikap orang munafik?
Nah, untuk menjawabnya adalah harus ditelaah, diteliti,
dianalisa dari apa yang terjadi pada saat situasi dan keadaan terjadinya pasca
penandatanganan perjanjian Hudaibiyah dan ketika Abu Jundal yang disiksa dan
diseret untuk dibawa kembali ke Mekkah. Mengapa Rasulullah saw tidak mau
menolong dan menyelamatkan Abu Jundal yang berteriak minta tolong dan
kesakitan?
Jawabannya adalah Rasulullah saw tidak mau menghianati
perjanjian Hudaibiyah yang baru saja ditandatangani. Inilah yang tidak
dimengerti dan tidak dipahami oleh sebagian pasukan Rasulullah saw termasuk
oleh Umar bin Khattab ra.
Bagaimana jadinya, kalau Rasulullah saw dengan langsung
sambil pedang dihunus siap menyelamatkan Abu Jundal dari orang-orang Quraisy
yang sedang berusaha menyiksanya itu? Maka konsekuensinya adalah Rasulullah saw
secara sadar telah menghianati perjanjian Hudaibiyah yang basru saja
ditandatangani. Mengapa?
Karena, dalam satu butiran yang tertuang dalam isi
perjanjian Hudaibiyah tersebut disepakati bahwa menurut klausul nomor 5
dinyatakan ”Bila ada orang Mekkah yang ingin tingggal di Madinah, kaum muslimin
harus menyerahkannya kembali kepada mereka, tetapi bila ada orang Islam yang
ingin tinggal di Mekkah, pihak Mekkah tidak harus mengembalikannya ke Madinah.”
Nah, karena Abu Jundal orang Mekkah yang ingin mendapat
perlindungan di Madinah dibawah pemerintah Negara Islam pertama di Madinah, dan
ingin tinggal di Madinah, maka kaum muslimin harus menyerahkannya kembali
kepada mereka.
Inilah klausul dari isi perjanjian Hudaibiyah yang telah
mengikat Rasulullah saw dan seluruh kaum muslimin. Dan karena klausul inilah
Rasulullah saw tidak ingin menghianati perjanjian Hudaibiyah yang baru saja
ditandatangani.
Nah, disinilah perbedaannya antara Rasulullah saw dan para
sahabatnya, termasuk Umar bin Khattab ra. Umar bin Khattab ra tidak mengerti
dan tidak memahami serta tidak menyadari konsekuensi yang bisa menimpa Rasulullah
saw dan kaum muslimin apabila menghianati perjanjian Hudaibiyah yang baru saja
ditandatangani itu.
Jadi, dorongan yang besar dari dalam diri Umar bin Khattab
ra yang diluapkan dalam bentuk sikap dan diformulasikan dalam pertanyaan
“Bukankah engkau benar-benar utusan Allah?” kehadapan Rasulullah saw adalah
bukan diakibatkan oleh adanya rasa munafik dalam diri Umar bin Khattab ra,
ataupun rasa syak, ragu-ragu, tidak yakin dan tidak pecaya kepada Rasulullah
saw dan kerasulan, melainkan semata akibat oleh dorongan perasaan yang
ditimbulkan oleh adanya penyiksaan dan penganiayaan terhadap Abu Jundal, dimana
Rasulullah saw tidak berdaya dan tidak mampu untuk menolongnya, karena tidak
mau menghianati perjanjian Hudaibiyah yang baru saja ditandatangani.
Keadaan dan situasi inilah yang tidak dimengerti dan tidak
juga dipahami oleh sebagian orang yang membaca hadist sahih Muslim, sejarah
Rasulullah karya Ibnu Jarir ath-Thabari, Syibli Nu’mani, Majid ‘Ali Khan dan
yang lainnya dihubungkan dengan pertanyaan yang disampaikan oleh Umar bin
Khattab ra kehadapan Rasulullah saw, sehingga disimpulkan bahwa Umar bin
Khattab ra telah munafik dan tidak percaya lagi kepada Rasulullah saw dan
kerasulannya.
Terakhir, dengan berdasarkan apa yang dijelaskan diatas,
maka kita sudah dapat mengambil kesimpulan bahwa pertanyaan yang dikemukakan
oleh Umar bin Khattab ra “Bukankah engkau benar-benar utusan Allah?” kehadapan
Rasulullah saw adalah bukan karena kemunafikan atau adanya rasa syak,
ragu-ragu, tidak yakin dan tidak pecaya kepada Rasulullah saw dan kerasulan,
melainkan semata akibat oleh dorongan perasaan yang ditimbulkan oleh adanya
penyiksaan dan penganiayaan terhadap Abu Jundal, dimana Rasulullah saw tidak
berdaya dan tidak mampu untuk menolongnya, karena tidak mau menghianati
perjanjian Hudaibiyah yang baru saja ditandatangani.
Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada
Allah kita memohon petunjuk, amin *.*
Wassalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar