BAHASA ISLAM (BACA
ISTILAH
ISLAM) TIDAK
TERKONTAMINASI
DENGAN ALIRAN
SYIRIK ATAU ALIRAN SESAT MANAPUN
DI DUNIA INI
hsndwsp
Acheh - Sumatera
di
Ujung Dunia
SEDIKIT MENYOROT TENTANG BAHASA ISLAM YANG TERPELIHARA
DARIPADA PERUBAHAN DAN KEKAL SEBAGAI BAHASA YANG PALING TINGGI TARAFNYA
Bismilaahirrahmaanirrahiim
M Dawam Rahardjo benar, ketika mengatakan bahwa ”dalam
kenyataan, wacana sekularisme, liberalisme, dan pluralisme memang diusung oleh
Jaringan Islam Liberal yang sebenarnya lebih dulu dipelopori oleh
Paramadina.”(M. Dawam Rahardjo, Kala MUI
Mengharamkan Pluralisme, Koran Tempo, Senin, 01 Agustus 2005)
Saya ingat persis
ketika Syed Muhammad Naquib bin Ali bin Abdullah bin Muhsin Al Attas (1931-),
seorang ulama kaliber Internasional berkebangsaan Melayu, pendiri International
Institute of Islamic Thought Civilization (ISTAC) di Malaysia, yang lahir di
Bogor, Jawa Barat, 5 September 1931, datang ke Indonesia untuk meluruskan
ketimpangan pemikiran sekularisme, liberalisme dan pluralisme yang di Orbitkan
Trio "pembaharuan Islam" bernama Nurcholis Madjid, Munawir Sadjali (bekas
menteri Agama, Suharto) dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Forum Paramadina.
Banyak hal yang
mereka paparkan, mengundang kita untuk mengkritisi ketika itu. Namun untuk
membuat tulisan ini tidak terlalu panjang, saya akan mengangkat tiga hal saja
sebagai sampelnya.
Nurcholis Madjid
keliru dalam menterjemahkan kalimah syahadah: "Lailaha illallah" dia
terjemahkan dengan: "Tidak ada tuhan Kecuali Tuhan" . Jika kita
melihat bahasa tulisan sepintas kita membenarkan Nurcholis Madjid sebab dia
membedakan dengan menggunakan T besar (capital) untuk tulisan Tuhan yang
terakhir, sebagaimana sering kita jumpai di media-media berbahasa Inggeris:
"Theris no god but God". Namun ketika kita mendalami perbedaan kata
Tuhan dengan kata Allah menjadi keliru, apalagi dalam bahasa lisan.
Contoh: Seseorang
mengatakan bahwa tidak ada orang dalam kamar itu kecuali orang. Kalimat
tersebut jelas membuat pendengar bengong. Yang benar tidak ada orang dalam
kamar itu kecuali Nurcholis Madjid, misalnya. Untuk lanjutan persoalan ini,
Syed Muhammad Naquib Al Attas meluruskan: "Tidak ada satu bahasapun di
Dunia ini yang mampu menterjemahkan bahasa Islam, kalaupun diterjemahkan juga
akan hilang makna ruhaniahnya" (Panji Masyarakat). Bahasa Islam yang
dimaksudkan Syed Muhammad Naquib Al Attas adalah Istilah Islam, dimana Istilah
ini datangnya dari Allah sendiri seperti Allah, Qur-an, Shalah atau Shalat,
haram, halal dan sebagainya. Allah adalah Tuhan nya kaum muslimin, namun orang
diluar Islam juga menjebutkan Tuhan kepada object yang mereka sembah.
Di Piagam Jakarta
tertulis: "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluknya." Kendatipun kata Ketuhanan masih keliru (tidak pasti), namun
diperjelaskan oleh subbordinate clause "dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam".
Ketika dalam dalam
rapat PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) ada usulan untuk merubah
kata-kata yang tertuang dalam Piagam Jakarta "dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam", kepada Muhammad Hatta yang memimpin rapat PPKI (Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia), dan setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan
dan Kasman Singodimedjo, maka dihapus tujuh kata dari Piagam Jakarta yang
diusulkan untuk dirubah itu. Dan sebagai gantinya, Ki Bagus Hadikusumo
mengusulkan kata-kata ”Yang Maha Esa”. Dan menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dan ternyata dalam
kalimat "Ketuhanan Yang Maha Esa" inipun keliru 180 derajat, kalau
ditinjau dari kacamata 'Aqidah Islam". Orang-orang yang menamakan diri
sebagai "Islam" seperti Ki Bagus Hadikusumo, dan penerusnya sampai
hari ini berkeyakinan itu adalah "'Aqidah Orang Islam". Mereka
meyakini bahwa kata "Ketuhanan" sama dengan Allah. Sedangkan orang -
orang Islam sejati meyakini itu bertentangan dengan 'Aqidah Islam".
Kalimat tersebut elastis, relatif dan subjectiv. Orang
Hindu dan Budha menafsirkan: "Tuhan Hyang Maha Esa". Hyang = Yang =
Dewa. Kata "Yang" bagi mereka = Hyang = kata benda. Andaikata Yang
itu ditulis dengan huru kecil (yang), baru berarti kata penghubung atau kata
sambung. Kata "Ketuhanan Yang Maha Esa" menunjukkan 'aqidah Hindu dan
Budha.
Disamping itu juga
Ahli bahasa menjelaskan bahwa awalan "ke" dan akhiran "an pada
kata "Ketuhanan" mengandung makna "banyak tuhan"
sebagaimana tuhannya orang Hindu : Tuhan Brahmana, Wisjnu dan Sjiwa. (bahasa
Sangskerta atau bahasa Jawa kuno)
'Aqidah orang Islam
sejati sebagaimana tertera dalam Surah Al Ikhlas: "Qul huallahu ahad.
Allahussamad. Lam yalid wa lam yulad walam yakullahu kufuan ahad" Jelasnya
'Aqidah orang Islam sejati tidak dapat dikongsi kepada non Muslim. Andaikata
Ditulis " Allah Tuhan bagi sekalian 'Alam" dapatkah orang Budha dan
Hindu menerimanya ? Jawabnya pasti tidak, kecuali masuk Islam dulu.
Kembali kepersoalan
bahasa Islam.
Ketika saya masih
kecil kebetulan membaca sebuah buku komik. Saya lihat gambar seorang anak muda
jagoan karate mengatakan kepada temannya setelah menaklukkah musuhnya:
"Maaf kawan saya mau sembahyang dulu". Ketika saya buka halaman
berikutnya saya melihat pemuda itu pergi ke kuil, bukan ke Mesjid. Ketika itu
saya agak bingung, soalnya saya pelajari di Daiyah sering sekali menggunakan
kata "Sembahyang". Sementara kata sembahyang di ucapkan oleh orang
Hindu dan Budha ketika mau beribadah di kuil atau candi. Ketika saya sudah
dewasa baru saya memahami pasti bahwa kata Shalat tidah boleh diterjemahkan
dengan Sembahyang, sebab berbeda 180 derajat. Akan hilang makna ruhaniahnya
sebagaimana kata Al Attas.
Ketika saya belajar
bahasa Inggeris, saya juga berjumpa dengan kawan yang menterjemahkan kata
"Shalat" dengan "Pray": I m sorry friend, I want to take a
pray !". Lalu saya katakan kepada teman saya itu bahwa anda harus pergi ke
Gereja setelah mengucapkan seperti itu. Andaikata anda ingin pergi ke Mesjid anda harus
mengucapkan: " I m sorry friend, I want to take a shalah !" Karena
teman saya itu typenya mau berafala t'ak qilun dan afala yatazakkarun, beliau
cepat nyambung. Namun banyak juga orang yang
menganggapnya perkara biasa-biasa saja.
Itu baru dalil
'aqli, bagaimana dengan dalail Naqlinya ?
Sebahagian sahabat
Rasulullah mengucapkan kata "ra'ina ya Rasulullah" yang bermakna
hendaklah engkau memperhatikan kami ya Rasulullah, kapan saja berjumpa
Rasulullah. Ketika sahabat yang lain mendengarnya mereka juga mengucapkan kata
yang sama. Namun Allah menegur mereka dengan menurunkan ayat 104 surah Al
Baqarah: " Ya ayyuhal lazina amanu la taqulu ra'ina wa qulunzurna, wasma'u
walilkafirina 'azabun alim.” Yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu katakan "ra'ina" (manakala berjumpa dengan Rasulullah)
dan katakanlah "undhurna" dan dengarkanlah dan bagi orang-orang kafir
'azab yang pedih" (QS. 2:104).
Rupanya yang
mengucapkan kata "raina" terhadap Rasulullah itu orang munafiq dengan
ucapan yang samar diantara kata "ra'ina" dan kata "Ru'unah"
yang bermakna " Tolollah engkau hai Muhammad"
Allah mengetahui
apa yang tersembunyi dan yang tidak tersembunyi, lalu menggantikan kata yang
sudah menjadi permainan lidah orang munafiq itu dengan kata yang lain, namun
sama artinya dengan kata ra'ina.
Setelah turunnya
ayat tersebut, tak seorangpun yang benar-benar beriman mengulangi nucapan
tersebut terhadap Rasulullah, kecuali orang-orang munafiq dengan dalih mereka
mengucapkan kata itu tanpa pelintiran dengan kata ru'unah.
Nah pembaca
sekalian kata ra'ina saja yang artinya sama dengan kata undhurna dilarang
mengucapkan bagi orang-orang yang beriman, dengan ancaman azap yang pedih –
konon pula kata "Sembahyang" yang artinya sembah Dewa, berbeda 180
derajat dengan kata "Shalat" yang artinya doa atau selawat. Sementara
definisi daripada Shalat adalah suatu 'ibadah yang terdiri dari beberapa ucapan
dan perbuatan, dimulai dengan taqbir dan disudahi dengan salam.
Munawir Sadjali
mengatakan bahwa surah Annisa' ayat 11, 12, 13 dan 14 sebagai ketentuan faraidh
dimana hak anak lelaki 2 x anak perempuan, harus dipahami secara
"Kontekstual". Jelasnya menurut beliau justru tidak adil kalau
diikuti tekstualnya. Dalam hal itu beliau mengangkat realita dalam keluarganya,
dimana anak perempuannya dikawinkan setelah tamat SMA sementara anak lelakinya
dibiayai pendidikan sampai kepeguruan Tinggi di Amerika.
Beliau juga
mengemukakan suatu daerah di Jawa dimana para isteri bekerja keras untuk
memenuhi keperluan rumah tangganya, sementara suami mereka asik dengan burung
perkututnya. Kekeliruan Munawir terletak pada ingin menyesuaikan Al Qur-an
dengan realita keluarganya dan suatu daerah yang memiliki adat yang keliru
dalam kehidupannya. Yang "haq" justru realitalah yang harus
disesuaikan dengan Al Qur-an.
Terakhir
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengatakan bahwa Assalamualaikum wr wbr itu
kebudayaan Saudi Arabia. Lalu beliau mengusulkan agar menggunakan kebudayaan
dalam negeri saja yaitu selamat pagi, selamat siang dan selamat malam. Memang
Gus Dur yang satu ini aneh bin ajaib. Maksud saya kalau persoalan
Assalamualaikum itu, jangankan Orang dewasa anak-anak SMP dan SMA saja
memahaminya bahwa pernyataan Gus Dur itu keliru 180 derajat
Melalui tulisan ini
saya hendak mengkritisi secara keseluruhan bahwa Bukan saja sekularisme,
liberalisme, dan pluralisme yang keliru tapi juga MUI sendiri, dimana mereka
senantiasa berfatwa dalam system Thaghut Pancasila. Disinilah kesalahan fatal
ketika mereka berbicara tentang agama yang sudah terkontaminasi dengan Idiology
yang bertentangan dengan Al Qur-an itu sendiri (QS. Al A'raf : 179). Mereka
pintar tetapi tidak teguh iman, justru itulah mereka tidak mampu memahami
hal-hal yang bertentangan dengan 'Aqidah Islam. Sebab dipintu gerbang Islam
tertulis dengan jelas: "Dilarang masuk orang-orang yang tidak beriman
(QS,56:79 - 81)
Billahi fi
sabililhaq
hsndwsp
di
Ujung Dunia
----------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar