Kamis, 19 April 2018

SYAHIDNYA IMAM HUSEIN DI PERTEMPURAN KARBALA KISAH HARI ASHURA 10 MUHARRAM 61 H Sumber: www.eramuslim.




JADILAH DIRIMU SEBAGAI HUSSEIN ATAU ZAINAB KUBRA 
KALAU TIDAK BERARTI 
ANDA YAZID. 
TIDAK ADA ALTERNATIF LAINNYA
hsndwsp
di
Ujung Dunia


PENDAHULUAN

Bismillaahirrahmaanirrahiim
Pertengahan abad pertama Hijirah, yaitu masa pasca kekhalifahan Abu Bakar bin Abu Quhafah, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Imam Ali bin Thalib, Muawi yah yang tadinya menjabat Gubernur Syam (Suriah) atas pilihan Utsman bin Affan mengangkat dirinya sebagai khalifah setelah berhasil menyingkirkan khalifah yang sah, Imam Hasan bin Ali yang menggantikan Imam Ali dan berbasis di Madinah.

Ketika Muawiyah Bin Abi Sufyan menemui ajalnya, anaknya yang ber nama Yazid menggantikan kedudukannya diatas singgasana khalifah yang saat itu sudah benar -benar menyerupai kerajaan tiran dan sarat ironi. Seperti ayahnya, karena naik tanpa restu umat dan syariat, Yazid mencari baiat dengan cara paksa dari umat. Di pihak lain, sebagai tokoh yang paling berpengaruh di tengah umat, putera Fatimah Azzahra dan cucu tercinta Rasul, Imam Husain bin Ali bin Abi Thalib yang tinggal di Madinah, diincar oleh Yazid. Beliau dikirimi surat dan pesan agar memilih satu dianta ra dua pilihan; baiat kepada Yazid atau mati.

Saat menolak pilihan pertama, baiat, Imam Husain tiba-tiba diserbu ribuan surat dari penduduk Kufah, Irak. Mereka menyatakan siap mengadakan perlawanan bersenja ta atas Yazid bin Muawiyah dan membaiat Imam Husain sebagai khalifah dengan syarat beliau datang ke Kufah untuk mengoordinasi dan mengomandani pasukan perlawanan. Tadinya Imam keberataan memenuhi ajakan itu karena orang Kufah sudah lama beliau ketahui sulit dipegang janjinya.

Namun, keberatan itu membuat beliau semakin dibanjiri surat sam pai akhirnya beliau tak kuasa untuk menolak saat surat-surat terakhir penduduk Kufah berisikan ancaman mereka untuk mengadukan beliau kepada Allah di hari kiamat kelak bahwa beliau telah menolak kebangkitan melawan penguasa tiran, bahwa beliau telah menyia-nyiakan kekuatan dan kesempatan yang tersedia untuk menumbang kan penguasa zalim dan kejam, bahwa beliau tidak me ngindahkan jeritan, derita, dan harapan kaum mustahd'afin, dan bah wa beliau tidak berani mengorbankan jiwa dan raga demi melawan penguasa durjana. Sang Imam tak berkutik, meskipun beliau tahu se mua itu belum tentu mencerminkan loyalitas penduduk Kufah de ngan resiko apapun. Saat itulah Imam merasa dihadapkan pada keta jaman lensa sejarah yang hanya mau merekam bukti dan kenyataan di depan mata umat, bukan dogma-dogma sakral tentang hakikat non-derawi. Jadi, kebangkitan Imam tadinya bukan berarti harus ke luar dari menuju Kufah, tetapi karena secara kasat mata di Kufah su dah tersedia kesempatan dan kekuatan untuk menumbangkan Yazid, beliau harus keluar untuk memastikan benarkah kesempatan itu me mang ada.

Maka, meskipun dengan berat hati dan keyakinan penuh bahwa be liau akan menghadapi marabahaya, undangan penduduk Kufah itu akhirnya beliau penuhi. Beliau mengirim utusannya, Muslim bin Aqil untuk meninjau keadaan yang sesungguhnya di Kufah. Di Kufah, Mus lim mendapati rakyat benar-benar sedang diterjang gelora semangat perlawanan. Karenanya, Muslim menyampaikan berita gembira itu ke pada Imam Husain lewat surat. Imam berangkat menuju Kufah bersa ma rombongannya yang berjumlah ratusan orang, setelah beliau sing gah terlebih dahulu ke Mekkah.

Ketika Imam sedang dalam perjalanan panjang menuju Kufah, keada an di kota ini berubah total. Nyali penduduk tiba-tiba ciut dan keder setelah diancam habis-ha bisan oleh gubernur Kufah yang berdarah dingin, Ubaidillah bin Ziyad. Semua menu tup pintu rapat-rapat dan tak ada yang berani keluar untuk bicara dan berkumpul lagi soal gerakan perlawanan. Hanya segelintir orang yang masih setia kepada Mus lim bin Aqil dan siap menyongsong segala resiko. Namun akhirnya mereka ditang kap.

Muslim dihabisi dengan cara yang sangat sadis. Jasadnya yang tanpa kepala diper tontonkan di pasar Kufah, dan penduduk terpaksa pura-pura ikut bergembira atas kematian Muslim.





Perubahan itu tercium Imam Husain dan rombongannya ketika sudah mendekati Kufah. Mendengar itu, rombongan Imam banyak yang terguncang kemudian memilih mundur dan keluar dari barisan Imam. Jumlah pengikut beliau akhirnya surut drastis, hanya tinggal beberapa wanita dan anak kecil serta puluhan orang. Putera pasangan suci Imam Ali dan Fatimah Azzahra itu tetap melanjutkan perjalanan sam pai kemudian berhadapan dengan pasukan kiriman gubernur Kufah pimpinan Hur bin Yazid Arriyahi. Pasukan itu dikirim sengaja untuk menghadang rombongan Imam. Berikut ini adalah penggalan kisah akhir perjalanan beliau yang kami sadur dari buku Husain, Beheshti-e Mau'ud (Husain, Surga yang Dijanjikan), karya penulis Iran Ny. Farida Gulmohammadi.



BAB 1
PERTEMUAN IMAM HUSAIN AS DENGAN HUR BIN YAZID ARRIYAHI

Tak lama setelah memasang tenda, rombongan Imam Husain as dida tangi seribu pasukan kuda yang dipimpin oleh Hur bin Yazid Arrayahi. Pasukan yang tampak siap berperang itu berjajar di depan Imam Husain dan para sahabatnya yang juga siap bertempur dengan me ngikatkan sarung pedang masing-masing dipinggang.

Gurun sahara semakin memanas. Matahari memanggang setiap kepala. Imam Hu sain dan para sahabatnya memerintahkan para pengikutnya supaya air yang masih tersisa diminum dan diminumkan kepada kuda-kuda mereka. Hingga tengah hari itu suasana masih relatif tenang. Begitu waktu shalat dhuhur tiba, Imam memerintah se orang pengikutnya yang bernama Hajjaj bin Masruq Al-Ja'fi untuk mengumandang azan. Seusai azan, beliau berdiri di depan pasukan Hur untuk menyampaikan suatu kata kepada mereka yang beliau pandang sebagai orang-orang Kufah tersebut.

"Hai orang-orang!" Seru Imam Husain setelah menyatakan pujian ke pada Allah dan salawat kepada Rasul-Nya. "Aku tidaklah kepada kalian kecuali setelah aku didata ngi surat-surat dari kalian. Kalian, orang-orang Kufah, telah mengundangku. Kalian memintaku datang karena kalian merasa tidak memiliki pemimpin, dan agar kemu dian membimbing kalian kepada jalan yang benar. Oleh sebab inilah akupun ber gerak ke arah kalian. Kini aku telah datang. Jika kalian masih berpegang pada janji kalian, maka aku akan menetap bersama kalian. Jika tidak, maka aku akan kembali ke negeriku."

Rombongan pasukan berkuda yang diajak bicara oleh Imam Husain as itu terdiam seribu basa. Tak ada seorang yang angkat bicara. Beliau kemudian memerintahkan muazzin tadi untuk mengumandangkan iqamah setelah meminta Hur supaya menu naikan shalat bersama pasukannya sebagai Imam Husain as juga shalat bersama para pengikut setianya. Uniknya, Hur menolak shalat sendiri. Dia meminta shalat berjamaah di belakang beliau. Kedua rombongan kemudian bergabung dalam shalat dhuhur berjamaah yang dipimpin Imam Husain as.

Seusai shalat, kedua rombongan itu kembali ke perkemahan masing-masing. Bebe rapa lama kemudian kedua rombongan ini bergabung kembali untuk menunaikan shalat asar berjemaah dipimpin oleh Imam Husain as. Seusai shalat asar, beliau mengutarakan khutbah yang diawali dengan pujian kepada Allah dan disusul de ngan pernyataan sebagai berikut:

"Amma ba’du. Hai orang-orang, sesungguhnya kalian pasti akan diridhai Allah jika kalian memang bertakwa dan mengerti siapakah yang layak memegang hak (un tuk memimpin ummat), dan (ketahuilah) bahwa kami, Ahlul Bait Muhammad saww, adalah orang lebih layak memimpin kalian daripada mereka yang mengaku layak tetapi sebenarnya tidak memiliki kelayakan dan mereka yang telah mengge rak kan kezaliman dan rasa permusuhan (terhadap kami). Jika kalian tidak mengerti hal ini dan hanya memahami kebencian kepada kami, tidak mengetahui hak kami, dan kata-kata kalian sekarang sudah tidak seperti yang kalian katakan dalam surat-surat kalian yang telah datang menyerbuku bersama para utusan kalian, maka aku akan pergi meninggalkan kalian."

Hur menjawab:
"Aku tidak tahu menahu tentang surat-surat yang engkau katakan itu."
Imam Husain as memerintahkan Aqabah bin Sam'an untuk mengambil surat-surat itu supaya diperlihatkan kepada Hur. Setelah melihat surat-surat itu, Hur mengatakan: "Aku bukan bagian dari mereka yang mengirim surat-surat itu kepadamu. Aku hanya diperintahkan untuk menyosong balatentaramu dan menggiringmu hingga kamu menyerah di depan Ubaidillah bin Ziyad."

Kata-kata Hur rupanya tak diduga sebelumnya oleh Imam Husain as. Kata-kata ini mengundang kegeraman beliau. Beliau memerintahkan para pengikutnya untuk membongkar kembali tenda-tenda yang terpasang kemudian bergerak lagi sambil mengendarai kuda-kuda mereka. Perintah Imam Husain as pun mereka laksanakan. Namun begitu hendak bergerak, jalan rombongan Imam Husain as dihadang oleh pasukan Hur.

"Semoga kematianmu menimpa ibu, hai Hur, apa yang kamu inginkan dari kami?" Seru Imam Husain as gusar.

"Engkau menyebut-nyebut ibuku, seandainya bukan engkau, aku pasti juga me ngucapkan kata-kata yang sama, tapi aku tahu ibumu adalah wanita yang sangat patut dimuliakan." Kata Hur.

"Lantas apa maumu?" Tanya Imam lagi.
"Aku ingin kamu bersamaku untuk datang kepada Ibnu Ziyad."
"Aku tidak akan pernah bersamamu."

"Aku ditugaskan supaya tidak melepaskanmu kecuali setelah kamu aku bawa ke Kufah dan aku serahkan kepada Ibnu Ziyad. Wahai Husain, demi Allah, jagalah jiwamu, aku yakin engkau akan terbunuh jika kamu berperang."

"Apakah kamu hendak menakut-nakuti dengan kematian, dan apakah urusan ka lian akan selesai jika aku terbunuh?! Aku akan pergi dan kematian bukanlah sesuatu yang hina bagi seorang ksatria apabila kebenaran sudah diniatkan, perang dila kukan demi Islam, jiwa dikorbankan di atas jalan orang-orang yang salih, dan diri terpisah dari orang-orang yang celaka dan para pendurhaka."

Kata-kata Imam Husain ini mulai menyentuh hati Hur. Hur mendekati Imam Husain as sambil memerintahkan pasukan bergerak mengikuti perjalanan beliau. Selama per jalanan terjadi dialog antara beliau dan Hur hingga ketika sampai di lembah Bai dhah beliau mengatakan: "Kalau kamu hendak berperang denganku maka aku si ap berduel dengan mu."

Hur menjawab: "Aku tidak ditugaskan berperang denganmu. Aku hanya ditugaskan menyerahkan dirimu kepada Darul Imarah. Jika engkau tidak berkenan ikut aku ke Kufah, maka silahkan engkau kembali ke Madinah atau kota lain agar aku bisa be bas dari beban tanggung jawabku. Kalau tidak, maka aku akan menuliskan surat kepada Ibnu Ziyad agar dia menentukan apa yang harus aku lakukan."

Di lembah ini semua rombongan berhenti, dan keduanyapun kembali ke perke mahan masing-masing.
Sakinah puteri Imam Husain mengisahkan: "Dari dalam tenda aku mendengar suara seseorang tersedu menangis sehingga aku keluar tanpa sepengetahuan siapapun. Aku mendatangi ayahku, dan ternyata ayahkulah yang menangis di depan para sahabatnya. Kepada mereka ayahku berkata: 'Kalian telah keluar bersamaku, dan kalian berpikir aku pergi kepada suatu ummat yang akan membaiatku dengan lisan dan hati yang tulus. Namun umat itu sekarang sudah berubah, setan telah memper dayai mereka, mereka melupakan Allah, yang terpikir di benak mereka sekarang terbunuhnya aku dan orang-orang yang bersamaku untuk berjihad di jalanku serta tertawannya kaum wanita dan anak-anakku. Yang aku khawatirkan sekarang ialah jangan-jangan kalian tidak tahu apakah akibat dari apa yang kita lakukan ini. Oleh sebab itu, sekarang aku bebaskan kalian untuk pergi mengurungkan perjalanan ini jika kalian kecewa terhadap perjalanan ini. Sedangkan untuk kalian yang masih i ngin siap berkorban bersamaku, ketahuilah bahwa penderitaan ini akan diganti ke lak dengan gemerlapnya surga. Ketahuilah bahwa kakekku Rasulullah pernah ber sabda:

"Puteraku Husain akan terbunuh di padang Karbala dalam keadaan terasing seo rang diri. Barangsiapa yang menolongnya, maka dia telah menolongku, dan ba rangsiapa yang menolongku, maka dia menolong putera keturunan Husain yaitu Al-Qaim dari keluarga Muhammad, dan barang siapa yang menolong kami, maka pada hari kiamat nanti dia akan dimasukkan ke dalam golonganku.'"[3]

Sakinah melanjutkan, "Demi Allah, setelah mendengar pernyataan itu, para pengi kut beliau banyak yang memisahkan diri sehingga tinggal sekitar 70-an orang.[4] Aku mendatangi ayahku dengan hati yang sangat kesal dan kecewa. Aku rasanya ingin menjerit sekeras-kerasnya, namun akhirnya hanya bisa menengadahkan wa jahku ke langit sambil berdoa: Ya Allah, sesungguhnya mereka telah menyia-nyia kan kami, maka sia-siakanlah mereka. Janganlah Engkau gemakan suara mereka ke langit, janganlah Engkau anugerahi mereka tempat dan kehormatan di muka bumi, timpakanlah kepada mereka kemiskinan hingga di liang lahat, jangan Engkau curahkan kepada mereka syafaat kakek kami pada hari kiamat. Kabulkan doa orang yang suci dari noda dan dosa."[5]

Sehari kemudian, seorang pengendara onta dari Kufah datang menghadap Hur sambil menyerahkan surat balasan dari Ubaidillah yang memerintahkan supaya bersikap keras dan angkuh kepada Imam Husain as dan menggiring beliau ke pa dang sahara yang tandus hingga Ubaidilah mengirim balatentara bantuan. Hur memberitahu Imam Husain as isi surat ini.

Mendengar pernyataan yang tertera dalam surat Ubaidillah, seorang sahabat Imam Husain as yang bernama Yazid bin Muhajir Al-Kindi berseru kepada utusan Ibnu Ziyad: “Semoga ibumu meratapi kematianmu, betapa celakanya isi surat yang kamu bawa itu!”

Utusan itu menjawab:
“Aku mematuhi perintah imamku. Apa saja yang diperintahkannya akan aku laksa nakan.”
Muhajir berseru lagi:
“Kamu telah durhaka kepada Tuhanmu, karenanya api jahanam layak membakar mu.”
Salah seorang sahabat Imam Husain lainnya ikut menimpali. “Wahai putera Rasul!” Seru sahabat bernama Zuhair bin Al Qein itu. “Izinkan aku berperang sekarang juga dengan orang-orang ini sampai mereka tak berkutik.”
Imam menjawab:
“Aku tidak berniat memulai perang, aku ingin menuntaskan hujjahku kepada mere ka.”
Sahabat Imam Husain lainnya, Birrin bin Khudair ikut berseru:
“Demi Allah, kami akan berjihad membelamu walaupun tubuh kami akan tercin cang.”

Imam Husain as kemudian menyampaikan khutbahnya yang dikenal dengan khut bah Al-Gharra’ii untuk menjelaskan tujuan-tujuan beliau. Dalam khutbah ini, setelah memanjatkan puji syukur kepada Allah, Imam Husain berkata:

“Sesungguhnya Rasulullah pernah bersabda: ‘Barangsiapa mendapati penguasa za lim yang menghalalkan apa yang diharamkan Allah, melanggar janjinya, menen tang sunnah Rasulullah, memperlakukan hamba-hamba Allah dengan dosa dan aniaya, tetapi dia tidak menentangnya dengan tindakan maupun kata-kata, maka Allah berhak memasukannya ke (neraka) tempat orang zalim itu di semayam kan.”

Beberapa lama kemudian, kedua rombongan Imam Husain dan Hur bergerak. Ke tika tiba di suatu gurun sahara bernama Nainawa, Imam Husain as meminta supaya berhenti, tetapi Hur menolaknya. Hur berkata: “Aku tidak mengizinkanmu berhenti di sini, sebab utusan sang Amir datang untuk mengawasi keadaan. Karenanya, di depan utusan itu mau tidak mau aku harus melaksanakan segala perintahnya.”

Kedua pasukan hak dan pasukan batil bergerak lagi hingga sampai di suatu daerah bernama Karbala pada tanggal 2 Muharram 61 Hijriah, sebuah daerah yang dialiri sungai Elfrat.

Bersambung, insya Allah.......



Tidak ada komentar:

Posting Komentar