Jumat, 20 April 2018

SYAHIDNYA IMAM HUSEIN DI PERTEMPURAN KARBALA KISAH HARI ASHURA 10 MUHARRAM 61 H Sumber: www.eramuslim. IX




JADILAH DIRIMU SEBAGAI HUSSEIN ATAU ZAINAB KUBRA
KALAU TIDAK
BERARTI ANDA YAZID
TIDAK ADA ALTERNATIF LAINNYA

hsndwsp
Acheh - Sumatra
di
Ujung Dunia



BAB 16
PERJUANGAN KSATRIA KARBALA SEORANG DIRI

Sebagaimana yang sudah disepakati, terjadilah duel satu lawan satu. Singkat cerita, Imam Husain as adalah pendekar yang tak tertandingi oleh musuh-musuhnya dalam pertarungan secara jantan satu lawan satu. Akibatnya, satu persatu lawan-lawan beliau dalam duel berge limpangan menjadi korban hantaman pedang beliau. Umar bin Sa’ad pun was-was dan cemas saat melihat sudah banyak pasukannya yang tak bernyawa setelah berani menjawab tantangan duel Imam Husain as.
Dengan kesalnya, Umar bin Sa’ad menggerutu:
“Keparat, tak ada seorangpun yang mampu bertanding dengan Al Husain. Jika begini terus, tidak akan ada satupun diantara pasukanku yang tersisa nanti.”

Dia lantas berteriak kepada pasukannya:
“Tahukah kalian dengan siapakah kalian hendak bertarung?!”

Umar bin Sa’ad rupanya baru menyadari bahwa dia sedang ber hadapan dengan bukan sembarang orang, termasuk untuk urusan. Dia adalah putera pendekar Islam legendaris, Imam Ali bin Abi Thalib as. Dia adalah putera ksatria yang dijuluki dengan Haidar Al-Karrar, Singa Yang Pantang Mundur. Dia adalah putera si pemilik pedang Dzulfikar yang telah banyak menghabisi benggolan-benggolan pen dekar kaum kafir dan musyrik. Dia adalah putera yang mewarisi se mua kehebatan ayahnya. Karenanya, tak mengherankan jika Imam Husain as tak tertandingi oleh siapapun dalam pertarungan secara ksatria. Oleh sebab itu, begitu beliau tidak bisa dirobohkan dengan cara-cara jantan, pasukan musuh akhirnya mengepung beliau yang sendirian dari segenap penjuru. Mereka sudah siap merenggut nyawa beliau dengan cara mengeroyok habis-habisan. Di saat yang lebih me negangkan itu, beliau tiba-tiba didatangi oleh sehelai surat bertinta emas yang melayang jatuh dari angkasa dan hinggap di atas pelana kuda beliau, Dzul Janah. Surat diraihnya dan tertera sebuah pernyataan:
“Salam atasmu wahai hamba-Ku yang salih, Husain. Rahmat dan berkat Allah atasmu, wahai Husain. (Ketahuilah bahwa) Kami tidak mewajibkan keterbu nuhanmu.”
“Jika engkau menghendaki kehidupan di dunia, maka kembalilah ke sarang mu, dan urusilah dunia hingga kaum itu binasa.”

Surat itu dicium oleh Imam Husain as, dan melayangkan kembali ke angkasa bak burung merpati. Beliau kemudian berucap kepada Allah: “Ya Allah, aku sudah berjanji kepada-Mu untuk memberi syafaat um mat kakekku. Lantas bagaimana mungkin aku akan mencabut kembali janji itu, dan Engkaupun juga sudah memberitahuku bah wa sesung guhnya untuk memberikan syafaat itu terdapat suatu de rajat mulia yang tak dapat dicapai kecuali dengan syahadah…”

Perjanjian untuk menggelar pertarungan secara ksatria akhirnya benar-benar diabaikan oleh musuh. Umar bin Sa’ad memerintahkan seluruh pasukannya untuk ramai-ramai mengarungi dan membantai Imam Husain as sedapat mungkin. Maka, sang Imam pun mulai men jadi bulan-bulanan menghadapi sekian banyak manusia-manusia buas itu. Tubuh Imam semakin lemas dalam melakukan perlawanan sehing ga saat demi saat tubuh beliau mulai menuai luka dan kucuran darah. Jasad beliau mulai terkoyak-koyak oleh berbagai jenis senjata pe dang, tombak, dan panah yang sudah tak sabar untuk menghabisi riwayat Imam Husain as.

Di saat-saat Imam dalam posisi yang nyaris tak berdaya itu, beliau me lihat seseorang bernama Syimir bin Dzil Jausyan bersama anak buah nya mengendap-mengendap diantara tempat Imam Husain bertahan dan lokasi perkemahan beliau. Di situ beliau berteriak lantang:
“Celakalah kalian, hai pengikut keluarga Abu Sufyan! Jika kalian me mang sudah tak beragama, tidak takut kepada hari kebangkitan, maka berpesta poralah kalian dengan urusan duniawi kalian!”
“Kamu bicara apa, hai putera Fatimah!” Sergah Syimir.
Imam menjawab:
“Yang berperang adalah aku dan kalian. Jangan kalian ganggu ka um wanita. Janganlah kalian berbuat sesuatu yang sangat melang gar kehormatanku!”

Syimir menjawab:
“Kami tidak akan melanggar kehormatan.”
Manusia kejam ini lalu berteriak kepada pasukannya:
“Celakalah kalian! Apa yang kalian pelototi?! Cepat habisi dia!”
Teriakan ini segera disusul dengan keroyokan yang lebih sengit terhadap Imam Husain yang nampak sudah kewalahan itu. Dari seki an pedang yang berebut untuk menghabisi nyawa cucu Rasul dan putera Fatimah itu, satu pedang yang digenggam Soleh bin Wahab berhasil menghunjam keras paha beliau. Hantaman ini menjatuhkan beliau dari atas kuda. Pelipis kanan beliau menghempas pasir Karbala yang panas itu.

Beliau tetap bangkit berdiri dan melanjutkan perlawanan sekuat tenaga. Dalam keadaan seperti itu beliau masih sempat menjatuhkan beberapa pasukan. Saat spirit beliau bertambah beliau selalu mengu cap kalimat:
لا حول ولاقوة الا بالله العلي العظيم

Beliau juga sempat bersumbar kepada musuh bahwa mati terbunuh lebih baik daripada harus hidup terpedaya oleh kehinaan dan keterce laan. Terbunuhnya para pengikut beliau seiring dengan jerit tangis anak-anak kecil yang meratap kehausan sama sekali tak menciutkan nyali beliau untuk terus melawan dan pantang mundur. Ketabahan dan tawakkal di depan Allah adalah prinsip yang tak tergoyahkan. Saat itu kepada Tuhannya beliau berucap:
"Aku sabar atas garis yang telah Engkau tentukan, tiada Tuhan yang patut dita’ati kecuali Engkau, wahai Pelindung orang-orang yang memohon perlindungan."

Dalam doa ziarah untuk beliau disebutkan:
"Dan para malaikatpun terkesima menyaksikan kesabaranmu."
Hati musuh sama sekali sudah buta dan tidak mengenal belas kasih. Dalam perlawanan sekuat tenaga itu, tubuh Imam Husain as terpaksa semakin bermandi darah saat tombak-tombak dan panah musuh ikut menggerogoti daya pertahanan beliau.

Dari arah sana Hazrat Zainab tak kuasa menahan diri menyaksikan kakaknya menjadi sasaran pembantaian seganas itu. Wanita agung menjerit-jerit mengadukan penderitaan kepada kakek, ayah, dan pamannya yang sudah bersemayam di alam keabadian.

"Oh Muhammad! Oh Ayah! Oh Ali! Oh Jakfar!" Ratap Zainab terse du-sedu. "Alangkah baiknya seandainya langit ini runtuh menimpa bumi! Alangkah baiknya seandainya gunung-gunung ini berhambu ran menimpa sahara.."

Puteri Fatimah Azzahra as mencoba mendekati ajang pembantaian ka kaknya. Di saat yang sama, manusia biadab Umar bin Sa'ad dan ge rombolannya bergerak menuju perkemahan keluarga dan rombo        ngan Imam Husain as. Di saat tubuh Imam roboh dan nafasnya sudah tersengal-sengal menanti ajal, gerombolan manusia liar itu mengo brak-abrik perkemahan anak keturunan Rasul tersebut. Mereka mela kukan aksi pembakaran, merampasi harta benda, dan menangkapi dan menggiring kaum wanita dan anak-anak kecil sebagai tawanan.

Hazrat Zainab yang masih terbayang nasib kakak sekaligus pemimpin sucinya itu berteriak kepada Umar bin Sa'ad: "Hai Umar, apakah Abu Abdillah terbunuh dan kamu menyaksikannya sendiri?!" Entah menga pa, kata-kata wanita pemberani ini tiba-tiba menggedor perasaan putera Sa'ad itu sehingga tak berani menjawabnya dengan bentakan. Bagai binatang pandir, dia tak berani menjawab atau menatap wajah Zainab. Dia memaling muka.

Zainab berteriak lagi:
"Adakah seorang Muslim diantara kalian?!"

Tak seorangpun menjawabnya. Saat gerombolan itu dibungkamkan oleh kata-kata Hazrat Zainab, tubuh Imam Husain as yang masih bernafas tiba-tiba bangkit lalu menerjang beberapa pasukan yang ada di dekatnya sehingga mereka mundur. Dengan tubuh yang sudah ter cabik-cabik dan sengalan nafas yang masih tersisa itu, beliau ber teriak:
"Hai umat yang paling bejat, kalian telah memberikan perlakuan yang terburuk kepada Muhammad dengan menganiaya anak ketu ranannya. Ketahuilah bahwa setelahku nanti kalian tidak akan mungkin takut (berdosa) lagi dalam membunuh seseorang. Sesudah membunuhku kalian pasti akan gampang sekali berbuat itu. Demi Allah, aku sangat mendambakan kemuliaan dari Allah dengan sya hadah, lalu Dia akan menuntut balas darahku dari kalian tanpa kalian sadari."

Setelah berusaha melakukan perlawanan sekian lama di depan pesta pembantaian itu, Imam Husain as mencoba menjauh dari pasukan la wan untuk mengatur nafas. Namun, tiba-tiba sebuah batu melayang dari arah musuh dan mengena kepala beliau. Darahpun mengucur de ras lagi. Belum selesai beliau mengusap darahnya yang suci itu, dada beliau diterjang sebuah anak panah bermata tiga. Tertembus panah beracun itu, beliau berucap: “Bismillahi wa billahi wa ‘ala millati rasulillah.”Beliau menatap langit dan berdesah lagi:” Ilahi, sesung guhnya Engkau mengetahui mereka telah membunuh seseorang di muka bumi yang tak lain adalah putera Nabi.”

Di saat beliau semakin kehabisan tenaga itu, beliau mencabut anak panah itu dari dadanya. Darah kembali menggenang. Sebagian beliau hamburkan ke atas dan sebagian yang lain beliau usapkan ke wajah nya sambil berucap: “Beginilah aku jadinya hingga aku bertemu de ngan kakekku Rasulullah dalam keadaan berlumuran darah lalu aku adukan kepada beliau: fulan, fulan telah membunuhku.”

Puas menatap pemandangan seperti ini, balatentara musuh sejenak menghentikan kebrutalannya. Mereka terkekeh-kekeh menyaksikan Imam Husain as berdoa:

“Ya Rabbi, aku bersabar atas ketetapan-Mu, tiada Tuhan selain-Mu, wahai Penolong orang-orang yang memohon pertolongan. Tiada Tuhan Pemelihara kami selain-Mu, tiada Tuhan Yang Patut dita’ati kecuali Engkau. Aku bersabar atas ketentuan (hukum)-Mu, wahai Pelindung orang-orang yang tak memiliki perlindungan, wa hai Zat Yang Maha Kekal dan Tak Berpenghabisan, wahai Yang Menghidupkan orang yang sudah mati, wahai Zat Yang Mengha kimi setiap jiwa sesuai perbuatannya, hakimilah antara aku dan mereka, sesungguhnya Engkau adalah yang terbaik diantara para hakim.”

Setelah itu sempat terjadi keheningan beberapa saat. Untuk semen tara waktu masih belum ada seorangpun yang berani tampil sebagai pembunuh utama cucu Rasul itu di depan Allah swt kelak.

Diriwayatkan bahwa saat itu pula tiba-tiba Imam Husain as didatangi bayangan ajaib wajah kakek dan ayahnya. Wajah-wajah suci itu bertutur kepada beliau: “Cepatlah kemari, sesungguhnya kami sa ngat merindukanmu di surga.”

Keheningan itu ternyata tak berlangsung lama. Umar bin Sa’ad kem bali buas dan memerintahkan anak buahnya untuk segera menghabi si Imam Husain. Maka tampillah Shabats sebagai orang pertama yang berani mendaratkan mata pedangnya ke kepala Imam Husain as. Na mun, saat mata Imam menatap tajam wajah Shabats, tubuh pria ku rang ajar ini tiba-tiba gemetaran lalu menggigil keras sehingga pe dang yang ditangannya terhempas ke tanah. Dengan wajah pucat pria itu berkata kepada Umar bin Sa'ad: “Hai Putera Sa’ad, kamu tidak mau membunuh sendiri Husain agar nanti akulah yang akan dibalas. Tidak. Aku tidak mau bertanggujawab atas darah Husain.”

Syabats segera ditegur oleh seseorang bernama Sannan bin Anas. “Kenapa kamu tidak jadi membunuhnya?!” Tanya Sannan ketus.
Syabats menjawab:
“Dia menatap wajahku, Sannan! Kedua matanya menyerupai mata Rasulullah. Sungguh, aku segan membunuh seseorang yang mirip de ngan Rasul.”

Sannan dengan congkaknya berkata:
“Berikan kepadaku pedangmu itu, karena akulah yang lebih patut untuk membunuhnya.”
Begitu pedang itu pindah ke tangannya, Sannan segera menengger kannya di atas kepala beliau. Imam yang sudah tak berdaya itu kembali menatap wajah orang yang berniat menghabisinya itu. Seperti yang dialami, Syabats, tubuh Sannan yang kotor itu tiba-tiba juga menggigil ketakutan setelah ditatap Imam dengan tajam. Sannan mengambil langkah mundur sambil berucap: “Aku berlindung kepada Tuhannya Husain dari pertemuan dengan-Nya dalam keadaan berlu muran darah Husain.”

Kini tibalah giliran Syimir bin Dziljausan. Pria yang menutupi wajah dan hanya menyisakan celah untuk matanya ini menghampiri Sannan sambil mengumpat. “Semoga ibumu meratapi kematianmu, kenapa urung membunuhnya!?” Maki Syimir.
Sannan menjawab:
“Tatapan matanya mengingatkanku pada keberanian ayahnya. Aku takut. Aku tak berani membunuhnya.”

Sambil menyeringai Syimir berseru:
“Berikan pedang itu kepadaku. Demi Allah, tak ada seorangpun yang lebih layak dariku untuk membunuh Husain. Akulah yang akan meng habisinya, walaupun dia mirip Al-Mustafa ataupun Al-Murtadha.”

Syimir berpaling ke arah pasukannya lalu membentak:
“Hai, tunggu apa lagi?! Cepat bunuh dia!!”
Tanpa basa-basi lagi, satu anak panah melesat ke arah Imam Husain dari Hissin bin Numair. Sejurus kemudian yang lain ikut ramai-ramai menghajar Imam Husain sehingga tak ada anggota tubuh suci cucu Rasul itu yang luput dari hantaman benda tajam, dan benda tumpul. Batu-batupun bahkan ikut meremukkan tubuh beliau.

Syimir bersumbar lagi:
“Ha, ha, ha, tak ada orang yang lebih patut dariku untuk membunuh Husain”

Dia bergerak mendekati Imam Husain yang terbaring di tanah lalu menduduki dada Imam Husain as yang masih bergerak turun turun naik. Imam mencoba membuka kedua kelompak matanya dan mena tap wajah Syimir yang menyeringai di depan wajah beliau, namun tatapan beliau kali ini tak meluluhkan hati Syimir yang sudah sangat membatu. Bukannya ketakutan, dari mulut Syimir yang tertutup kain itu malah keluar kata-kata:

“Aku bukanlah seperti mereka yang mengurungkan niat untuk mem bunuhmu itu. Demi Allah, akulah yang akan menceraikan kepalamu dari jasadmu, walaupun aku tahu kamu adalah orang yang paling mulia karena kakek, ayah, dan ibumu itu.”

“Hai siapa kamu sehingga berani menduduki tubuh yang sering diciumi oleh Rasul ini?”
“Aku Syimir bin Dzil Jausyan!”
“Apakah kamu tahu siapa aku?”
“Aku tahu persis. Ayahmu adalah Ali Al-Murtadha, ibumu Fatimah Azzahra, kakekmu Muhammad al-Mustafa, dan nenekmu Khadijah Al-Kubra.”

“Alangkah celakanya kamu. Kamu tahu siapa aku, tetapi mengapa akan membunuhku dengan cara seperti ini?”
“Supaya aku bisa mendapat imbalan besar dari Yazid bin Muawiah.”

“Kamu lebih menyukai imbalan dari Yazid daripada syafaat kakek ku?”
“Yah, aku lebih menyukai imbalan Yazid.”
"Karena tidak ada pilihan lain bagimu kecuali membunuhku, maka berilah aku seteguk air.”
“Oh tidak! Itu tidak mungkin, kamu tidak mungkin bisa meneguknya sebelum kamu meneguk kematian.”

Syimir kemudian menyingkap dan melepas kain penutup muka yang hanya menyisakan celah untuk kedua matanya yang juling itu. Maka, nampaklah seluruh wajah Syimir yang buruk, kasar, belang, dan di tumbuhi bulu-bulu keras itu. Mulutnya ditutup oleh penutup seperti penutup mulut anjing supaya tak menggigit. Melihat wajah Syimir, Imam Husain as segera berucap:
“Benar apa yang dikatakan oleh Rasulullah.”
“Apa yang dikatakan kakekmu itu?!” Tanya Syimir angkuh. “Kakekku pernah berkata kepada ayahku, Ali: ‘Sesungguhnya puteramu ini akan dibunuh oleh seseorang yang berkulit belang, bermata juling, bertutup mulut seperti anjing, dan berambut keras seperti bulu babi.”

“Kakekmu telah menyamakanku dengan anjing?! Demi Allah, aku memisahkan kepalamu dari lehermu.”

Syimir mencabut pedang dari sarungnya dan tanpa membuang-buang waktu lagi, lelaki bengis mengayunkan pedangnya kuat-kuat ke leher cucu Rasul dan putera Fatimah Azzahra itu. Sekali tebas, kepala manusia mulia terlepas dari badannya. Terpisahnya kepala manusia suci itu disusul dengan suara takbir tiga kali dari liang mulut bala tentara Umar bin Sa’ad yang busuk itu. Kepala yang dulu sering diciumi oleh Rasulullah saww itu ditancapkan ke ujung tombak. Di     antara mereka terdengar teriakan keras:

“Bergembiralah hai Amir! Inilah Syimir yang telah membunuh Husain!” Langitpun kelabu. Bumi meratap pilu.


BAB 17
KESAKRALAN SYAHADAH IMAM HUSAIN AS

Dalam banyak riwayat disebutkan bahwa tragedi pembantaian keluarga Rasul pimpinan Imam Husain ini segera disusul dengan berbagai tanda alam dan lain yang menunjukkan kesakaralan syahadah beliau. Diantaranya dise butkan bahwa kematian suci cucu Rasul di tangan manusia-manusia sadis itu segera disusul dengan bertiupnya angin kencang, angkasa tiba-tiba gelap gulita, sehingga orang-orang tidak dapat melihat apa yang ada di depan nya.

Selain itu Zari’ Al-Asadi, seorang petani yang bercocok tanam di tepian su ngai ‘Alqamah dalam kisahnya tentang Imam Husain menga takan: Pukulan tongkat Nabi Musa as ke batu dapat memancarkan mata air tetapi musibah Imam Husain telah memancarkan darah dari bebatuan, sebagaimana darah pernah mengucur dari runtuhan batu-batu di Baitul Maqdis.

Dikisahkan pula bahwa dari awal malam ke 11 Muharram hingga terbitnya fajar semua bebatuan dan bongkahan-bongkahan tanah me ngucurkan darah dibawahnya.

Periwayat menceritakan:
“Hazrat Musa adalah pemilik Yad AlBaidha’ dan sering memancarkan caha ya ketika dia memperlihatkan suatu mukjizat. Namun, dari Imam Husain yang memancarkan cahaya cemerlang adalah dahi dan leher beliau.

Untuk Nabi Musa as Allah telah membelahkan laut agar Bani Israel dapat me nyeberanginya. Namun, untuk Imam Husain as seluruh sa mudera bergemu ruh hebat dan penghunipun meratap, sementara para bidadari juga turun dari alam Firdaus dan mendatangi samudera sambil berucap: “Hai para penghuni lautan, berdukalah atas terbunuhnya putera Rasulullah.”

Nabi Musa as telah menggali liang lahadnya dengan tangannya sendiri. Na mun liang lahad Imam Husain as digali oleh Rasulullah. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa pada hari 10 Muharram (Asyura), Ummu Salamah bermim pi menyaksikan Rasulullah bermandi debu dan berucap: “Orang-orang telah membantai dan mengugurkan puteraku. Aku melihatnya jasadnya dan aku sedang sibuk menggalikan lubang kubur untuk Husain dan para sahabat nya.”

Diriwayatkan pula bahwa tujuh hari sepeninggal Imam Husain as langit ber warna merah dari ujung ke ujung. Bahkan kendati tragedi Karbala sudah berlalu 14 abad, hingga kini masih terdapat keajaibaban- keajaiban yang berkaitan dengannya, khususnya pada hari Asyura. Satu diantara keajaiban itu ialah mengalirnya cairan seperti darah dari sebuah pohon di Zarabad, sebuah daerah di Qazwin. Pohon yang tumbuh di dekat benteng Alamut itu setiap tahun pada hari Asyura dikunjungi oleh ribuan orang untuk menyaksi kan mengalirnya cairan seperti darah tersebut dari batang pohon yang dise but dengan pohon canar (plane tree) tersebut.

Dalam doa ziarah Imam Al Mahdi as untuk Imam Husain as disebutkan:
“Bagaiamana aku dapat membayangkan adegan nyata dimana kuda mu kembali ke tendamu sambil merundukkan kepala seperti menangis, dan ka um wanita mu mendapatinya dalam keadaan mengenaskan dan pelana nya terbalik sehingga mereka keluar tenda, rambut mereka terurai, wajah mereka dibanjiri air mata, dan tampak jelas, dan ratap tangis mereka terde ngar keras, setelah mereka kehilangan orang yang sangat mereka cintai. Mereka lantas bergegas menuju tempat pembantaianmu di saat Syimir men duduki dadamu sambil menghunus pedangnya di atas lehermu.”

“(Wahai kakekku), maka aku akan sungguh-sungguh meratapi dirimu setiap pagi dan sore. Bukannya dengan air mata, tetapi dengan darahlah aku me nangisinya dan meratapi bencana besar yang telah menimpamu hingga aku meninggal dunia nanti dalam keadaan me nanggung beban duka ci ta.”

Imam AlMahdi as juga bertutur kata untuk Imam Husain as:
“Syimir telah duduk diatas dadamu sambil menghunus pedang pedang dia tas lehermu dan menarik jenggotmu, lalu menyembe lihmu dengan pedang nya. Sejak itu, panca inderamu redup, nafas mu reda, dan kepalamu ditan capkan di atas tombak.”

Dalam ziarahnya untuk kakeknya, Imam Husain as, Imam Al-Mahdi as juga berkata:

“Seandainyapun masa ini diakhirkan dan ditakdirkan telah menghalangiku untuk menolongmu, maka aku akan tetap sunguh-sungguh meratapimu dan menangisimu dengan darah, bukan dengan air mata”.

Adapun salam beliau untuk Imam Husain as ialah sebagai berikut:
“Salam atas putera Nabi Putera Terakhir, salam atas putera pemuka para washi, salam atas putera Fatimah Azzahra, salam atas putera Khatijah Al-Kubra, salam atas putera Sidaratul Muntaha, salam atas putera surga Al-Ma’wa, salam atas putera Zamzam dan Safa, salam atas dia yang telah bermlumuran darah bercampur debu, salam atas dia yang kemahnya telah dihujani anak panah, salam atas orang kelima penghuni Al-Kisa’, salam atas dia, orang yang paling terasing, salam atas pemuka para syuhada, salam atas manusia yang ditangisi oleh para malaikat di langit, salam atas manusia yang selalu didatangi oleh orang-orang yang menderita. Salam atas bibir-bibir yang kekeringan, salam atas jasad-jasad yang terlucuti, salam atas kepala-kepala yang terpenggal, salam atas wanita-wanita yang tertawan, salam atas hujjah Allah."

"Salam atas jasad yang bermandikan darah luka-luka."
"Salam atas jasad yang urat-urat jantungnya diputuskan oleh anak panah."
"Salam atas jasad yang tersalib."
"Salam atas deretan gigi yang ditumbuk oleh tongkat."
"Salam atas bibir yang kering kehausan."
"Salam atas kepala-kepala yang tertancap di ujung tombak dan pertonton kan di semua tempat.

Diriwayatkan bahwa setelah Imam Husain as terbunuh, Umar Bin Sa’ad di tengah pasukannya berseru:
“Siapa yang siap melumat jasad Husain dengan injakan kaki kuda?!”
Dari sekian ribu pasukan yang ikut serta dalam pembantaian Imam Husain itu tak ada yang bersedia berbuat sesuatu sebiadab itu terhadap cucu rasul tersebut kecuali sepuluh orang. Mereka yang konon anak zina itu bergantian menghentak-hentakkan kudanya diatas tubuh Imam hingga tulang belulang jasad beliau yang suci dan mulia remuk.

Mereka melakukannya sambil terkekeh-kekeh dan penuh kebanggaan sea kan dengan perbuatan seperti itu mereka dapat menjatuhkan keagungan Imam Husain. Padahal, perlawanan pantang mundur beliau dan para pengi kutnya di depan kezaliman dan pendurjana telah menjadi teladan bagi umat manusia dan karena itu jutaan manusia di muka bumi telah menjadi pengikut dan atau setidaknya pengagum beliau.. Sebaliknya, Muawiah dan Yazid tidak menyisakan bekas apapun kecuali ketercelaan, keterkutukan, dan laknat yang abadi.

Dengan demikian, selamat untuk Imam Husain as atas perjuangan dan  jihat nya di Karbala yang beliau mulai dengan seruan “Adakah sang penolong yang akan menolongku?!” Kini, hamba-hamba beriman sedang menantikan kedatangan Imam Al Mahdi as untuk kita penuhi seruan firman allah: “Hai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong Allah niscaya Allah akan menolong kalian, dan Dia akan mengokohkan langkah-langkah kalian.”

Sayidah Fatimah Azzahra as pernah berkata:
“Jika kalian hendak membantu puteraku, Al Mahdi, maka jadikan lah jiwa kalian seperti jiwa seorang ibu yang telah melepaskan anak salihnya pergi jauh dan tidak apakah hari ini, besok, atau tahun depan akan pulang.”

Imam AlMahdi as sendiri berkata:
“Aku pasti akan kembali kepada orang yang paling lemah diantara kalian, agar rahmat Allah yang abadi tercurah kepada kalian.”
“Aku akan datang agar hati yang luka dapat terobati.”
“Aku pasti datang untuk membebaskan orang-orang yang terbelenggu.”
“Aku pasti akan datang untuk menegakkan agama Muhammad di dunia.”

Pada masa Imam Al-Mahdi as nanti, sedemikian damainya muka bumi ini sehingga kambingpun dapat hidup tentram berdamping dengan srigala. Anak-anak kecil dapat bermain dengan ular dan kalajengking. Dunia saat itu tidak lagi menyisakan keburukan. Yang tinggal hanyalah kebaikan. Bumi mempersembahkan segala kekayaannya, dan langitpun mencurahkan segala berkahnya. Harta dari perut bumi melimpah, permusuhan reda di hati setiap orang, pintu-pintu kebahagiaan dan keamanan terbuka lebar, seorang wanita dapat bepergian ke mana saja di malam hari seorang diri tanpa ada rasa takut. Wajah bumi serba hijau dan rindang, dan siapaun tidak akan takut lagi kepada binatang-binatang liar.

Pada hari itu, Sang Penyelamat manusia-manusia yang teraniaya itu akan menyeret ‘dua berhala Bani Quraish; ke tiang gantungan, dan lalu beliau akan membawakan kisah lagi tentang syahadah kakeknya, Imam Husain as, tentang penyembelihan anak-anak kecil keturunan Rasul saww, dan tentang semua penderitaan dan keteraniayaan Ahlul Bait suci Rasul dan para pengikutnya.

Imam AlMahdi as akan tampil dan membalas darah datuknya setelah berada di alam kegaiban selama sekian lama. Saat itu dia akan tampil di Mekah diantara Rukn dan Maqam lalu mengumandangkan suara:
“Wahai para penghuni dunia, akulah Imam Al Qaim, akulah pedang yang akan melakukan pembalasan.”
“Wahai para penghuni dunia, sesungguhnya kakekku Husain telah dibunuh dalam keadaan tercekik kehausan.”
“Wahai para penghuni dunia, sesungguhnya (jasad) kakekku Husain telah mereka gerus dengan injakan kaki-kaki kuda.”

 Rasulullah Muhammad saww tentang Imam Al Mahdi as bersabda:
“Al Mahdi adalah satu-satunya penyelamat umat manusia kelak di mana kedatangannya akan membawa kedamaian universal.”

Rasulullah saww juga bersabda:
“Selamat atas kalian dengan kedatangan puteraku, Al Mahdi, ke lak, karena janji Allah pasti akan terpenuhi. Ketahuilah bahwa Al Mahdi dari keluarga Muhammad masih dalam perjalanan.”

Diriwayatkan bahwa ketika Imam Husain as menggapai puncak derajat sya hadah, kuda beliau, Dzuljanah, melepoti kepala dan lehernya lalu menghen tak-hentakkan kakinya ke tanah sambil meringkik keras hingga memantul kesegenap penjuru Karbala. Saat kuda perkasa itu dilihat oleh Umar bin Sa ’ad, manusia ambisius berseru kepada komplotannya: “Kuda milik Al Mustafa itu serahkan kepadaku.” Sesuai perintah ini, beberapa pasukan penunggang kuda segera memacu kudanya untuk mendekati Dzul janah. Namun, kuda yang sebelumnya ditunggangi oleh Abu Fadhl Abbas itu tinggal diam oleh manusia-manusia kejam yang telah membantai habis tuannya. Dzuljanah ti ba-tiba mengamuk dan menerjang siapapun yang mencoba mendekatinya. Beberapa orang tewas diamuk oleh kuda perkasa itu, sampai akhirnya Umar bin Sa’ad meminta anak buahnya membiarkan kuda itu.


Bersambung, insya Allah.......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar