KALAU TIDAK
BERARTI ANDA YAZID
TIDAK ADA ALTERNATIF LAINNYA
hsndwsp
Acheh - Sumatra
di
Ujung Dunia
BAB 16
PERJUANGAN KSATRIA KARBALA SEORANG DIRI
Sebagaimana yang sudah disepakati, terjadilah duel
satu lawan satu. Singkat cerita, Imam Husain as adalah pendekar yang tak
tertandingi oleh musuh-musuhnya dalam pertarungan secara jantan satu lawan
satu. Akibatnya, satu persatu lawan-lawan beliau dalam duel berge limpangan
menjadi korban hantaman pedang beliau. Umar bin Sa’ad pun was-was dan cemas
saat melihat sudah banyak pasukannya yang tak bernyawa setelah berani menjawab
tantangan duel Imam Husain as.
Dengan kesalnya,
Umar bin Sa’ad menggerutu:
“Keparat, tak ada
seorangpun yang mampu bertanding dengan Al Husain. Jika begini terus, tidak
akan ada satupun diantara pasukanku yang tersisa nanti.”
Dia lantas
berteriak kepada pasukannya:
“Tahukah kalian
dengan siapakah kalian hendak bertarung?!”
Umar bin Sa’ad
rupanya baru menyadari bahwa dia sedang ber hadapan dengan bukan sembarang
orang, termasuk untuk urusan. Dia adalah putera pendekar Islam legendaris, Imam Ali bin Abi Thalib as.
Dia
adalah putera ksatria yang dijuluki dengan Haidar Al-Karrar, Singa Yang Pantang
Mundur. Dia adalah putera si pemilik pedang Dzulfikar yang telah banyak
menghabisi benggolan-benggolan pen dekar kaum kafir dan musyrik. Dia adalah
putera yang mewarisi se mua kehebatan ayahnya. Karenanya, tak mengherankan jika
Imam Husain as tak tertandingi oleh siapapun dalam pertarungan secara ksatria.
Oleh sebab itu, begitu beliau tidak bisa dirobohkan dengan cara-cara jantan,
pasukan musuh akhirnya mengepung beliau yang sendirian dari segenap penjuru.
Mereka sudah siap merenggut nyawa beliau dengan cara mengeroyok habis-habisan.
Di saat yang lebih me negangkan itu, beliau tiba-tiba didatangi oleh sehelai
surat bertinta emas yang melayang jatuh dari angkasa dan hinggap di atas pelana
kuda beliau, Dzul Janah. Surat diraihnya dan tertera sebuah pernyataan:
“Salam atasmu wahai
hamba-Ku yang salih, Husain. Rahmat dan berkat Allah atasmu, wahai Husain.
(Ketahuilah bahwa) Kami tidak mewajibkan keterbu nuhanmu.”
“Jika engkau
menghendaki kehidupan di dunia, maka kembalilah ke sarang mu, dan urusilah
dunia hingga kaum itu binasa.”
Surat
itu dicium oleh Imam Husain as, dan melayangkan kembali ke angkasa bak burung
merpati. Beliau kemudian berucap kepada Allah:
“Ya
Allah, aku sudah berjanji kepada-Mu untuk memberi syafaat um mat kakekku.
Lantas bagaimana mungkin aku akan mencabut kembali janji itu, dan Engkaupun
juga sudah memberitahuku bah wa sesung guhnya untuk memberikan syafaat itu
terdapat suatu de rajat mulia yang tak dapat dicapai kecuali dengan syahadah…”
Perjanjian untuk
menggelar pertarungan secara ksatria akhirnya benar-benar diabaikan oleh musuh.
Umar bin Sa’ad memerintahkan seluruh pasukannya untuk ramai-ramai mengarungi
dan membantai Imam Husain as sedapat mungkin. Maka, sang Imam pun mulai men
jadi bulan-bulanan menghadapi sekian banyak manusia-manusia buas itu. Tubuh
Imam semakin lemas dalam melakukan perlawanan sehing ga saat demi saat tubuh
beliau mulai menuai luka dan kucuran darah. Jasad beliau mulai terkoyak-koyak oleh
berbagai jenis senjata pe dang, tombak, dan panah yang sudah tak sabar untuk
menghabisi riwayat Imam Husain as.
Di saat-saat Imam
dalam posisi yang nyaris tak berdaya itu, beliau me lihat seseorang bernama
Syimir bin Dzil Jausyan bersama anak buah nya mengendap-mengendap diantara
tempat Imam Husain bertahan dan lokasi perkemahan beliau. Di situ beliau
berteriak lantang:
“Celakalah kalian,
hai pengikut keluarga Abu Sufyan! Jika kalian me mang sudah tak beragama, tidak
takut kepada hari kebangkitan, maka berpesta poralah kalian dengan urusan
duniawi kalian!”
“Kamu bicara apa, hai putera Fatimah!” Sergah
Syimir.
Imam menjawab:
“Yang berperang
adalah aku dan kalian. Jangan kalian ganggu ka um wanita. Janganlah kalian
berbuat sesuatu yang sangat melang gar kehormatanku!”
Syimir menjawab:
“Kami tidak akan
melanggar kehormatan.”
Manusia kejam ini
lalu berteriak kepada pasukannya:
“Celakalah kalian!
Apa yang kalian pelototi?! Cepat habisi dia!”
Teriakan ini segera
disusul dengan keroyokan yang lebih sengit terhadap Imam Husain yang nampak
sudah kewalahan itu. Dari seki an pedang yang berebut untuk menghabisi nyawa
cucu Rasul dan putera Fatimah itu, satu pedang yang digenggam Soleh bin Wahab
berhasil menghunjam keras paha beliau. Hantaman ini menjatuhkan beliau dari
atas kuda. Pelipis kanan beliau menghempas pasir Karbala yang panas itu.
Beliau tetap
bangkit berdiri dan melanjutkan perlawanan sekuat tenaga. Dalam keadaan seperti
itu beliau masih sempat menjatuhkan beberapa pasukan. Saat spirit beliau
bertambah beliau selalu mengu cap kalimat:
لا
حول
ولاقوة
الا
بالله
العلي
العظيم
Beliau juga sempat
bersumbar kepada musuh bahwa mati terbunuh lebih baik daripada harus hidup
terpedaya oleh kehinaan dan keterce laan. Terbunuhnya para pengikut beliau
seiring dengan jerit tangis anak-anak kecil yang meratap kehausan sama sekali
tak menciutkan nyali beliau untuk terus melawan dan pantang mundur. Ketabahan
dan tawakkal di depan Allah adalah prinsip yang tak tergoyahkan. Saat itu
kepada Tuhannya beliau berucap:
"Aku sabar atas
garis yang telah Engkau tentukan, tiada Tuhan yang patut dita’ati kecuali
Engkau, wahai Pelindung orang-orang yang memohon perlindungan."
Dalam doa ziarah untuk beliau disebutkan:
"Dan para
malaikatpun terkesima menyaksikan kesabaranmu."
Hati musuh sama
sekali sudah buta dan tidak mengenal belas kasih. Dalam perlawanan sekuat
tenaga itu, tubuh Imam Husain as terpaksa semakin bermandi darah saat
tombak-tombak dan panah musuh ikut menggerogoti daya pertahanan beliau.
Dari arah sana
Hazrat Zainab tak kuasa menahan diri menyaksikan kakaknya menjadi sasaran
pembantaian seganas itu. Wanita agung menjerit-jerit mengadukan penderitaan
kepada kakek, ayah, dan pamannya yang sudah bersemayam di alam keabadian.
"Oh Muhammad! Oh Ayah! Oh Ali! Oh Jakfar!"
Ratap Zainab terse du-sedu. "Alangkah baiknya seandainya langit ini runtuh
menimpa bumi! Alangkah baiknya seandainya gunung-gunung ini berhambu ran
menimpa sahara.."
Puteri Fatimah Azzahra as mencoba mendekati ajang
pembantaian ka kaknya. Di saat yang sama, manusia biadab Umar bin Sa'ad dan ge
rombolannya bergerak menuju perkemahan keluarga dan rombo ngan Imam Husain as. Di saat tubuh Imam
roboh dan nafasnya sudah tersengal-sengal menanti ajal, gerombolan manusia liar
itu mengo brak-abrik perkemahan anak keturunan Rasul tersebut. Mereka
mela kukan aksi pembakaran, merampasi harta benda, dan menangkapi dan
menggiring kaum wanita dan anak-anak kecil sebagai tawanan.
Hazrat Zainab yang
masih terbayang nasib kakak sekaligus pemimpin sucinya itu berteriak kepada
Umar bin Sa'ad: "Hai Umar, apakah Abu Abdillah terbunuh dan kamu
menyaksikannya sendiri?!" Entah menga pa, kata-kata wanita pemberani ini
tiba-tiba menggedor perasaan putera Sa'ad itu sehingga tak berani menjawabnya
dengan bentakan. Bagai binatang pandir, dia tak berani menjawab atau menatap
wajah Zainab. Dia memaling muka.
Zainab berteriak
lagi:
"Adakah
seorang Muslim diantara kalian?!"
Tak seorangpun
menjawabnya. Saat gerombolan itu dibungkamkan oleh kata-kata Hazrat Zainab,
tubuh Imam Husain as yang masih bernafas tiba-tiba bangkit lalu menerjang
beberapa pasukan yang ada di dekatnya sehingga mereka mundur. Dengan tubuh yang
sudah ter cabik-cabik dan sengalan nafas yang masih tersisa itu, beliau ber
teriak:
"Hai umat yang
paling bejat, kalian telah memberikan perlakuan yang terburuk kepada Muhammad
dengan menganiaya anak ketu ranannya. Ketahuilah bahwa setelahku nanti kalian
tidak akan mungkin takut (berdosa) lagi dalam membunuh seseorang. Sesudah
membunuhku kalian pasti akan gampang sekali berbuat itu. Demi Allah, aku sangat
mendambakan kemuliaan dari Allah dengan sya hadah, lalu Dia akan menuntut balas
darahku dari kalian tanpa kalian sadari."
Setelah berusaha
melakukan perlawanan sekian lama di depan pesta pembantaian itu, Imam Husain as
mencoba menjauh dari pasukan la wan untuk mengatur nafas. Namun, tiba-tiba
sebuah batu melayang dari arah musuh dan mengena kepala beliau. Darahpun
mengucur de ras lagi. Belum selesai beliau mengusap darahnya yang suci itu,
dada beliau diterjang sebuah anak panah bermata tiga. Tertembus panah beracun
itu, beliau berucap: “Bismillahi wa billahi wa ‘ala millati rasulillah.”Beliau
menatap langit dan berdesah lagi:” Ilahi, sesung guhnya Engkau mengetahui
mereka telah membunuh seseorang di muka bumi yang tak lain adalah putera Nabi.”
Di saat beliau
semakin kehabisan tenaga itu, beliau mencabut anak panah itu dari dadanya.
Darah kembali menggenang. Sebagian beliau hamburkan ke atas dan sebagian yang
lain beliau usapkan ke wajah nya sambil berucap: “Beginilah aku jadinya hingga
aku bertemu de ngan kakekku Rasulullah dalam keadaan berlumuran darah lalu aku
adukan kepada beliau: fulan, fulan telah membunuhku.”
Puas menatap
pemandangan seperti ini, balatentara musuh sejenak menghentikan kebrutalannya.
Mereka terkekeh-kekeh menyaksikan Imam Husain as berdoa:
“Ya Rabbi, aku
bersabar atas ketetapan-Mu, tiada Tuhan selain-Mu, wahai Penolong orang-orang
yang memohon pertolongan. Tiada Tuhan Pemelihara kami selain-Mu, tiada Tuhan
Yang Patut dita’ati kecuali Engkau. Aku bersabar atas ketentuan (hukum)-Mu,
wahai Pelindung orang-orang yang tak memiliki perlindungan, wa hai Zat Yang
Maha Kekal dan Tak Berpenghabisan, wahai Yang Menghidupkan orang yang sudah
mati, wahai Zat Yang Mengha kimi setiap jiwa sesuai perbuatannya, hakimilah
antara aku dan mereka, sesungguhnya Engkau adalah yang terbaik diantara para
hakim.”
Setelah itu sempat
terjadi keheningan beberapa saat. Untuk semen tara waktu masih belum ada
seorangpun yang berani tampil sebagai pembunuh utama cucu Rasul itu di depan
Allah swt kelak.
Diriwayatkan bahwa
saat itu pula tiba-tiba Imam Husain as didatangi bayangan ajaib wajah kakek dan
ayahnya. Wajah-wajah suci itu bertutur kepada beliau: “Cepatlah kemari,
sesungguhnya kami sa ngat merindukanmu di surga.”
Keheningan itu
ternyata tak berlangsung lama. Umar bin Sa’ad kem bali buas dan memerintahkan
anak buahnya untuk segera menghabi si Imam Husain. Maka tampillah Shabats
sebagai orang pertama yang berani mendaratkan mata pedangnya ke kepala Imam
Husain as. Na mun, saat mata Imam menatap tajam wajah Shabats, tubuh pria ku
rang ajar ini tiba-tiba gemetaran lalu menggigil keras sehingga pe dang yang
ditangannya terhempas ke tanah. Dengan wajah pucat pria itu berkata kepada Umar
bin Sa'ad: “Hai Putera Sa’ad, kamu tidak mau membunuh sendiri Husain agar nanti
akulah yang akan dibalas. Tidak. Aku tidak mau bertanggujawab atas darah
Husain.”
Syabats segera
ditegur oleh seseorang bernama Sannan bin Anas. “Kenapa kamu tidak jadi
membunuhnya?!” Tanya Sannan ketus.
Syabats menjawab:
“Dia menatap
wajahku, Sannan! Kedua matanya menyerupai mata Rasulullah. Sungguh, aku segan
membunuh seseorang yang mirip de ngan Rasul.”
Sannan dengan
congkaknya berkata:
“Berikan kepadaku
pedangmu itu, karena akulah yang lebih patut untuk membunuhnya.”
Begitu pedang itu
pindah ke tangannya, Sannan segera menengger kannya di atas kepala beliau. Imam
yang sudah tak berdaya itu kembali menatap wajah orang yang berniat
menghabisinya itu. Seperti yang dialami, Syabats, tubuh Sannan yang kotor itu
tiba-tiba juga menggigil ketakutan setelah ditatap Imam dengan tajam. Sannan
mengambil langkah mundur sambil berucap: “Aku berlindung kepada Tuhannya Husain
dari pertemuan dengan-Nya dalam keadaan berlu muran darah Husain.”
Kini tibalah
giliran Syimir bin Dziljausan. Pria yang menutupi wajah dan hanya menyisakan
celah untuk matanya ini menghampiri Sannan sambil mengumpat. “Semoga ibumu
meratapi kematianmu, kenapa urung membunuhnya!?” Maki Syimir.
Sannan menjawab:
“Tatapan matanya
mengingatkanku pada keberanian ayahnya. Aku takut. Aku tak berani membunuhnya.”
Sambil menyeringai
Syimir berseru:
“Berikan pedang itu
kepadaku. Demi Allah, tak ada seorangpun yang lebih layak dariku untuk membunuh
Husain. Akulah yang akan meng habisinya, walaupun dia mirip Al-Mustafa ataupun
Al-Murtadha.”
Syimir berpaling ke
arah pasukannya lalu membentak:
“Hai, tunggu apa
lagi?! Cepat bunuh dia!!”
Tanpa basa-basi
lagi, satu anak panah melesat ke arah Imam Husain dari Hissin bin Numair.
Sejurus kemudian yang lain ikut ramai-ramai menghajar Imam Husain sehingga tak
ada anggota tubuh suci cucu Rasul itu yang luput dari hantaman benda tajam, dan
benda tumpul. Batu-batupun bahkan ikut meremukkan tubuh beliau.
Syimir bersumbar
lagi:
“Ha, ha, ha, tak
ada orang yang lebih patut dariku untuk membunuh Husain”
Dia bergerak
mendekati Imam Husain yang terbaring di tanah lalu menduduki dada Imam Husain
as yang masih bergerak turun turun naik. Imam mencoba membuka kedua kelompak
matanya dan mena tap wajah Syimir yang menyeringai di depan wajah beliau, namun
tatapan beliau kali ini tak meluluhkan hati Syimir yang sudah sangat membatu.
Bukannya ketakutan, dari mulut Syimir yang tertutup kain itu malah keluar
kata-kata:
“Aku bukanlah
seperti mereka yang mengurungkan niat untuk mem bunuhmu itu. Demi Allah, akulah
yang akan menceraikan kepalamu dari jasadmu, walaupun aku tahu kamu adalah
orang yang paling mulia karena kakek, ayah, dan ibumu itu.”
“Hai siapa kamu
sehingga berani menduduki tubuh yang sering diciumi oleh Rasul ini?”
“Aku Syimir bin
Dzil Jausyan!”
“Apakah kamu tahu
siapa aku?”
“Aku tahu persis.
Ayahmu adalah Ali Al-Murtadha, ibumu Fatimah Azzahra, kakekmu Muhammad
al-Mustafa, dan nenekmu Khadijah Al-Kubra.”
“Alangkah celakanya
kamu. Kamu tahu siapa aku, tetapi mengapa akan membunuhku dengan cara seperti
ini?”
“Supaya aku bisa
mendapat imbalan besar dari Yazid bin Muawiah.”
“Kamu lebih
menyukai imbalan dari Yazid daripada syafaat kakek ku?”
“Yah, aku lebih
menyukai imbalan Yazid.”
"Karena tidak
ada pilihan lain bagimu kecuali membunuhku, maka berilah aku seteguk air.”
“Oh tidak! Itu
tidak mungkin, kamu tidak mungkin bisa meneguknya sebelum kamu meneguk
kematian.”
Syimir kemudian
menyingkap dan melepas kain penutup muka yang hanya menyisakan celah untuk
kedua matanya yang juling itu. Maka, nampaklah seluruh wajah Syimir yang buruk,
kasar, belang, dan di tumbuhi bulu-bulu keras itu. Mulutnya ditutup oleh
penutup seperti penutup mulut anjing supaya tak menggigit. Melihat wajah Syimir, Imam Husain as segera berucap:
“Benar apa yang
dikatakan oleh Rasulullah.”
“Apa yang dikatakan
kakekmu itu?!” Tanya Syimir angkuh. “Kakekku pernah berkata kepada ayahku, Ali:
‘Sesungguhnya puteramu ini akan dibunuh oleh seseorang yang berkulit belang,
bermata juling, bertutup mulut seperti anjing, dan berambut keras seperti bulu
babi.”
“Kakekmu telah
menyamakanku dengan anjing?! Demi Allah, aku memisahkan kepalamu dari lehermu.”
Syimir mencabut
pedang dari sarungnya dan tanpa membuang-buang waktu lagi, lelaki bengis
mengayunkan pedangnya kuat-kuat ke leher cucu Rasul dan putera Fatimah Azzahra
itu. Sekali tebas, kepala manusia mulia terlepas dari badannya. Terpisahnya
kepala manusia suci itu disusul dengan suara takbir tiga kali dari liang mulut
bala tentara Umar bin Sa’ad yang busuk itu. Kepala yang dulu sering diciumi
oleh Rasulullah saww itu ditancapkan ke ujung tombak. Di antara mereka terdengar teriakan keras:
“Bergembiralah hai
Amir! Inilah Syimir yang telah membunuh Husain!” Langitpun kelabu. Bumi meratap
pilu.
BAB 17
KESAKRALAN SYAHADAH IMAM HUSAIN AS
Dalam banyak riwayat disebutkan bahwa tragedi
pembantaian keluarga Rasul pimpinan Imam Husain ini segera disusul dengan
berbagai tanda alam dan lain yang menunjukkan kesakaralan syahadah beliau.
Diantaranya dise butkan bahwa kematian suci cucu Rasul di tangan manusia-manusia
sadis itu segera disusul dengan bertiupnya angin kencang, angkasa tiba-tiba
gelap gulita, sehingga orang-orang tidak dapat melihat apa yang ada di depan nya.
Selain itu Zari’ Al-Asadi, seorang petani yang
bercocok tanam di tepian su ngai ‘Alqamah dalam kisahnya tentang Imam Husain
menga takan: Pukulan tongkat Nabi Musa as ke batu dapat memancarkan mata air
tetapi musibah Imam Husain telah memancarkan darah dari bebatuan, sebagaimana
darah pernah mengucur dari runtuhan batu-batu di Baitul Maqdis.
Dikisahkan pula bahwa dari awal malam ke 11 Muharram
hingga terbitnya fajar semua bebatuan dan bongkahan-bongkahan tanah me
ngucurkan darah dibawahnya.
Periwayat menceritakan:
“Hazrat Musa adalah pemilik Yad AlBaidha’ dan sering
memancarkan caha ya ketika dia memperlihatkan suatu mukjizat. Namun, dari Imam
Husain yang memancarkan cahaya cemerlang adalah dahi dan leher beliau.
Untuk Nabi Musa as Allah telah membelahkan laut agar
Bani Israel dapat me nyeberanginya. Namun, untuk Imam Husain as seluruh sa
mudera bergemu ruh hebat dan penghunipun meratap, sementara para bidadari juga
turun dari alam Firdaus dan mendatangi samudera sambil berucap: “Hai para
penghuni lautan, berdukalah atas terbunuhnya putera Rasulullah.”
Nabi Musa as telah
menggali liang lahadnya dengan tangannya sendiri. Na mun liang lahad Imam Husain as digali oleh
Rasulullah. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa pada hari 10 Muharram
(Asyura), Ummu Salamah bermim pi menyaksikan Rasulullah bermandi debu dan
berucap: “Orang-orang telah membantai dan mengugurkan puteraku. Aku
melihatnya jasadnya dan aku sedang sibuk menggalikan lubang kubur untuk Husain
dan para sahabat nya.”
Diriwayatkan pula
bahwa tujuh hari sepeninggal Imam Husain as langit ber warna merah dari ujung
ke ujung. Bahkan kendati tragedi Karbala sudah berlalu 14 abad, hingga kini
masih terdapat keajaibaban- keajaiban yang berkaitan dengannya, khususnya pada
hari Asyura. Satu diantara keajaiban itu ialah mengalirnya cairan seperti darah
dari sebuah pohon di Zarabad, sebuah daerah di Qazwin. Pohon yang tumbuh di
dekat benteng Alamut itu setiap tahun pada hari Asyura dikunjungi oleh ribuan
orang untuk menyaksi kan mengalirnya cairan seperti darah tersebut dari batang
pohon yang dise but dengan pohon canar (plane tree) tersebut.
Dalam doa ziarah Imam Al Mahdi as untuk Imam Husain as
disebutkan:
“Bagaiamana aku dapat membayangkan adegan nyata dimana
kuda mu kembali ke tendamu sambil merundukkan kepala seperti menangis, dan ka
um wanita mu mendapatinya dalam keadaan mengenaskan dan pelana nya terbalik
sehingga mereka keluar tenda, rambut mereka terurai, wajah mereka dibanjiri air
mata, dan tampak jelas, dan ratap tangis mereka terde ngar keras, setelah
mereka kehilangan orang yang sangat mereka cintai. Mereka lantas bergegas menuju
tempat pembantaianmu di saat Syimir men duduki dadamu sambil menghunus
pedangnya di atas lehermu.”
“(Wahai kakekku), maka aku akan sungguh-sungguh
meratapi dirimu setiap pagi dan sore. Bukannya dengan air mata, tetapi dengan
darahlah aku me nangisinya dan meratapi bencana besar yang telah menimpamu
hingga aku meninggal dunia nanti dalam keadaan me nanggung beban duka ci ta.”
Imam AlMahdi as juga bertutur kata untuk Imam Husain
as:
“Syimir telah duduk diatas dadamu sambil menghunus
pedang pedang dia tas lehermu dan menarik jenggotmu, lalu menyembe lihmu dengan
pedang nya. Sejak itu, panca inderamu redup, nafas mu reda, dan kepalamu ditan capkan
di atas tombak.”
Dalam ziarahnya untuk kakeknya, Imam Husain as, Imam
Al-Mahdi as juga berkata:
“Seandainyapun masa ini diakhirkan dan ditakdirkan
telah menghalangiku untuk menolongmu, maka aku akan tetap sunguh-sungguh meratapimu
dan menangisimu dengan darah, bukan dengan air mata”.
Adapun salam beliau untuk Imam Husain as ialah sebagai
berikut:
“Salam atas putera Nabi Putera Terakhir, salam atas
putera pemuka para washi, salam atas putera Fatimah Azzahra, salam atas putera
Khatijah Al-Kubra, salam atas putera Sidaratul Muntaha, salam atas putera surga
Al-Ma’wa, salam atas putera Zamzam dan Safa, salam atas dia yang telah
bermlumuran darah bercampur debu, salam atas dia yang kemahnya telah dihujani
anak panah, salam atas orang kelima penghuni Al-Kisa’, salam atas dia, orang
yang paling terasing, salam atas pemuka para syuhada, salam atas manusia yang
ditangisi oleh para malaikat di langit, salam atas manusia yang selalu
didatangi oleh orang-orang yang menderita. Salam atas bibir-bibir yang
kekeringan, salam atas jasad-jasad yang terlucuti, salam atas kepala-kepala
yang terpenggal, salam atas wanita-wanita yang tertawan, salam atas hujjah
Allah."
"Salam atas
jasad yang bermandikan darah luka-luka."
"Salam atas
jasad yang urat-urat jantungnya diputuskan oleh anak panah."
"Salam atas
jasad yang tersalib."
"Salam atas
deretan gigi yang ditumbuk oleh tongkat."
"Salam atas
bibir yang kering kehausan."
"Salam atas
kepala-kepala yang tertancap di ujung tombak dan pertonton kan di semua tempat.
Diriwayatkan bahwa
setelah Imam Husain as terbunuh, Umar Bin Sa’ad di tengah pasukannya berseru:
“Siapa
yang siap melumat jasad Husain dengan injakan kaki kuda?!”
Dari
sekian ribu pasukan yang ikut serta dalam pembantaian Imam Husain itu tak ada
yang bersedia berbuat sesuatu sebiadab itu terhadap cucu rasul tersebut kecuali
sepuluh orang. Mereka yang konon anak zina itu bergantian menghentak-hentakkan
kudanya diatas tubuh Imam hingga tulang belulang jasad beliau yang suci dan
mulia remuk.
Mereka melakukannya
sambil terkekeh-kekeh dan penuh kebanggaan sea kan dengan perbuatan seperti itu
mereka dapat menjatuhkan keagungan Imam Husain. Padahal, perlawanan pantang
mundur beliau dan para pengi kutnya di depan kezaliman dan pendurjana telah
menjadi teladan bagi umat manusia dan karena itu jutaan manusia di muka bumi
telah menjadi pengikut dan atau setidaknya pengagum beliau.. Sebaliknya,
Muawiah dan Yazid tidak menyisakan bekas apapun kecuali ketercelaan,
keterkutukan, dan laknat yang abadi.
Dengan demikian,
selamat untuk Imam Husain as atas perjuangan dan jihat nya di Karbala yang beliau mulai dengan
seruan “Adakah sang penolong yang akan menolongku?!” Kini, hamba-hamba
beriman sedang menantikan kedatangan Imam Al Mahdi as untuk kita penuhi seruan
firman allah: “Hai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong Allah niscaya Allah
akan menolong kalian, dan Dia akan mengokohkan langkah-langkah kalian.”
Sayidah Fatimah Azzahra as pernah berkata:
“Jika kalian hendak membantu puteraku, Al Mahdi, maka
jadikan lah jiwa kalian seperti jiwa seorang ibu yang telah melepaskan anak
salihnya pergi jauh dan tidak apakah hari ini, besok, atau tahun depan akan
pulang.”
Imam AlMahdi as sendiri berkata:
“Aku pasti akan kembali kepada orang yang paling lemah
diantara kalian, agar rahmat Allah yang abadi tercurah kepada kalian.”
“Aku akan datang
agar hati yang luka dapat terobati.”
“Aku pasti datang untuk
membebaskan orang-orang yang terbelenggu.”
“Aku pasti akan
datang untuk menegakkan agama Muhammad di dunia.”
Pada
masa Imam Al-Mahdi as nanti, sedemikian damainya muka bumi ini sehingga
kambingpun dapat hidup tentram berdamping dengan srigala. Anak-anak kecil dapat
bermain dengan ular dan kalajengking. Dunia saat itu tidak lagi menyisakan
keburukan. Yang tinggal hanyalah kebaikan. Bumi mempersembahkan segala kekayaannya,
dan langitpun mencurahkan segala berkahnya. Harta dari perut bumi melimpah,
permusuhan reda di hati setiap orang, pintu-pintu kebahagiaan dan keamanan
terbuka lebar, seorang wanita dapat bepergian ke mana saja di malam hari
seorang diri tanpa ada rasa takut. Wajah bumi serba hijau dan rindang, dan
siapaun tidak akan takut lagi kepada binatang-binatang liar.
Pada hari itu, Sang
Penyelamat manusia-manusia yang teraniaya itu akan menyeret ‘dua berhala Bani
Quraish; ke tiang gantungan, dan lalu beliau akan membawakan kisah lagi tentang
syahadah kakeknya, Imam Husain as, tentang penyembelihan anak-anak kecil
keturunan Rasul saww, dan tentang semua penderitaan dan keteraniayaan Ahlul
Bait suci Rasul dan para pengikutnya.
Imam AlMahdi as
akan tampil dan membalas darah datuknya setelah berada di alam kegaiban selama
sekian lama. Saat itu dia akan tampil di Mekah diantara Rukn dan Maqam lalu
mengumandangkan suara:
“Wahai para
penghuni dunia, akulah Imam Al Qaim, akulah pedang yang akan melakukan
pembalasan.”
“Wahai para
penghuni dunia, sesungguhnya kakekku Husain telah dibunuh dalam keadaan
tercekik kehausan.”
“Wahai para
penghuni dunia, sesungguhnya (jasad) kakekku Husain telah mereka gerus dengan
injakan kaki-kaki kuda.”
Rasulullah Muhammad saww tentang Imam Al Mahdi as bersabda:
“Al Mahdi adalah satu-satunya penyelamat umat manusia kelak
di mana kedatangannya akan membawa kedamaian universal.”
Rasulullah saww juga bersabda:
“Selamat atas
kalian dengan kedatangan puteraku, Al Mahdi, ke lak, karena janji Allah pasti
akan terpenuhi. Ketahuilah bahwa Al Mahdi dari keluarga Muhammad masih dalam
perjalanan.”
Diriwayatkan bahwa
ketika Imam Husain as menggapai puncak derajat sya hadah, kuda beliau,
Dzuljanah, melepoti kepala dan lehernya lalu menghen tak-hentakkan kakinya ke
tanah sambil meringkik keras hingga memantul kesegenap penjuru Karbala. Saat
kuda perkasa itu dilihat oleh Umar bin Sa ’ad, manusia ambisius berseru kepada
komplotannya: “Kuda milik Al Mustafa itu serahkan kepadaku.” Sesuai perintah
ini, beberapa pasukan penunggang kuda segera memacu kudanya untuk mendekati
Dzul janah. Namun, kuda yang sebelumnya ditunggangi oleh Abu Fadhl Abbas itu
tinggal diam oleh manusia-manusia kejam yang telah membantai habis tuannya. Dzuljanah
ti ba-tiba mengamuk dan menerjang siapapun yang mencoba mendekatinya. Beberapa
orang tewas diamuk oleh kuda perkasa itu, sampai akhirnya Umar bin Sa’ad
meminta anak buahnya membiarkan kuda itu.
Bersambung, insya
Allah.......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar