JADILAH
DIRIMU SEBAGAI HUSSEIN ATAU ZAINAB KUBRA
KALAU
TIDAK
BERARTI
ANDA YAZID
TIDAK
ADA ALTERNATIF LAINNYA
hsndwsp
Acheh
- Sumatra
di
Ujung
Dunia
BAB
12
MUSIBAH
HAZRAT QASIM AS
Pada malam Asyura
Imam Husain as telah memberitahu para saha batnya bahwa mereka besok akan
syahid. "Kalian
semua besok akan terbunuh." Ujar beliau. Saat itu, Qasim bin Hasan bin Ali
as, seorang remaja rupawan datang menghadap Imam Husain as.
"Paman," Panggil putera Imam Hasan as itu,
"apakah aku juga akan terbu nuh?" Pertanyaan ini mem buat sang Imam
terharu dan segera memeluk erat kemenakannya itu lalu bertanya:
"Bagaimanakah menurutmu kematian itu?"
Anak yang baru beranjak usia remaja itu menjawab:
"Kematian bagiku adalah lebih manis daripada
madu."
Mendengar jawaban ini, Imam segera memberitahu:
"Kamu akan terbunuh setelah terjadi bencana
besar, dan bahkan Ali Asghar pun juga akan terbunuh."
Pada hari Asyura, saat sudah mempersiapkan diri untuk
berperang, Qasim pergi menghadap pamannya untuk mengajukan sebuah permohonan. "Paman,
izin aku untuk ikut berperang." Pintanya. Namun Imam menjawab: "Kamu
bagiku adalah cindera mata dari kakakku, maka bagaimana aku da pat merelakan
kematianmu?"
Sikap Imam Husain as ini tidak memudarkan semangat
Qasim. Dia tetap me mohon lagi agar beliau membiarkannya bertempur melawan
musuh. Namun Imam tetap menahan kepergian Qasim. Remaja tampan ini bersedih
lalu terduduk seorang diri sambil berenung penuh duka cita. Di saat itu
tiba-tiba dia teringat pada pesan ayahnya dulu, Imam Hasan as. Saat masih
hidup, kepada Qasim Imam Hasan pernah berpesan: "Jika nanti suatu
penderitaan sedang menimpamu, maka bukalah catatan yang kamu ikatkan dilengan mu,
lalu bacalah dan amalkanlah."
Qasim kemudian berpikir-pikir lagi tentang musibah
sedemikian besar yang belum pernah dia alami sebelumnya. Dari situ dia lantas
merasa bahwa sekarang inilah saatnya dia membaca surat wasiat itu.. Surat itu
dibukanya dan disitu dia mendapatkan pesan ayahnya yang mengatakan:
"Hai Qasim, aku berpesan kepadamu bahwa jika kamu
mendapati paman mu Husain di Karbala dalam keadaan terasing dan dikerumuni oleh
musuh, maka janganlah kamu tinggalkan jihad, dan jangan sampai kamu enggan
mengorbankan jiwamu deminya."
Qasim lalu membawa pesan tertulis itu kepada Imam
Husain as. Imam Husain as terharu dan tiba menangis begitu menyaksikan ciri
khas tulisan tangan kakak yang amat dicintainya itu, lalu berkata kepada Qasim:
"Jika ayahmu telah berwasiat demikian kepadamu,
maka saudara ku Hasan itu juga pernah berwasiat suatu hal kepadaku sehingga
akupun sekarang harus menikahkan puteriku Fatimah denganmu." Imam meraih tangan Qasim dan membawanya ke dalam
tenda. Beliau bertanya kepada semua orang dan para pemuda yang ada di
sekitarnya: "Adakah pakaian bagus untuk aku kenakan kepada Qa sim?" Semua
orang menjawab tidak.
Imam lalu meminta adiknya, Hazrat Zainab, supaya mengambilkan
be be rapa potong pakaian peninggalan Imam Hasan as dari sebuah peti. Setelah
pakaian itu didatangkan, beliau mengenakan serban dan gamis Imam Hasan itu
kepada Qasim lalu mengakad nikahkan Fatimah dengannya. Begitu selesai, Imam berujar
kepada Qasim: "Hai puteraku, adakah sekarang kamu siap melangkah menuju
kematian?"
Qasim menjawab: "Entahlah paman, bagaimana aku harus
pergi me ning galkanmu seorang diri tanpa pelindung dan kawan diantara sekian
banyak musuh. Yang pasti, jiwaku siap
berkorban untuk jiwamu, diriku siap melindu ngi dirimu."
Setelah kembali
mengajukan permohonan dengan amat sangat untuk ber perang, Imam Husain as akhirnya
rela melepaskan Qasim berperang mela wan musuh. Beliau menyobek serbannya
menjadi dua potong, satu untuk be liau pakai lagi untuk serban, selebihnya
beliau kenakan dalam bentuk kain ka fan. Setelah menyerahkan sebilah pedang
kepada Qasim, Imampun mele paskan kepergiannya ke arah musuh yang tak sabar
menanti korban-korban suci selanjutnya.
Di medan
pertempuran, Qasim sang remaja suci itu menyorot tajam mata Umar bin Sa'ad
kemudian menumbuknya dengan kata-kata:
"Hai Umar,
masihkah kamu tidak takut kepada Allah?! Apakah kamu tetap saja mengabaikan hak
Rasulullah?! Lantas bagaimana kamu bisa mengaku sebagai seorang Muslim
sementara kamu memblokir sungai Elfrat agar putera dan Ahlul Bait Rasul yang
berteriak-teriak kehausan itu tidak dapat meneguk airnya?!"
Dengan angkuhnya
Umar bin Sa'ad menjawab:
"Aku hanya
akan membiarkan kalian meminumnya airnya jika kalian menang galkan sikap
takabur kalian."
"Oh tidak,
terima kasih, (kami tidak akan meminumnya)." Sergah Qasim.
(hsndwsp: "Jawaban Umar ini dapat dipahami semua pembaca kecuali pri badi
yang fanatikbuta, bahwa Umar yang angkuh menuduh Qasim bin Has san serta semua
pengikut Imam Hussein yang angkuh. Fenomena ini pantas kitagarisbawahi bahwa
demikian juga manusia yang angkuh dizaman kita kerap menuduh kami Syi’ah yang
angkuh. Fenomena ini terbaca jelas dalam system Taghut despotic ataupun ndi
medan Internet. Semoga dengan mere nungkan fenomena ini, mereka yang angkuh dan
gemar menuduh pihak lain angkuh sadar
kesalahannya yang berakibat tertutupnya hidayah Allah hing ga mereka kelak
menyesal yang teramat sangat")
Saat menatap
wajah-wajah musuh yang berjajar di depannya, putera Imam Hasan as itu sempat
mengucapkan sebuah syair tentang jiwanya yang sudah membaja dan tak kenal kata
gentar itu. Syair itu ber bunyi:
"Jika kalian
belum mengenalku, maka ketahuilah bahwa akulah putera Al Hasan, cucu Nabi
Al-Mustafa, manusia kepercayaan (Allah). Dan ini adalah Husain yang sedang
menderita bagai tawanan yang disandera di tengah o rang-orang."
Meski usianya masih
belia, Qasim akhirnya mementaskan kehebatan ilmu pe rang yang dikuasainya di
atas gelanggang sejarah heroisme Karbala. Sejum lah musuh jatuh bergelimpangan
setelah menikmati kerasnya sabetan pe dang Qasim.
Syaikh Mufid ra
dalam kitabnya, Al-Irsyad, meriwayatkan dari Hamid bin Muslim yang berkata:
"Saat
itu aku berada di tengah pasukan Ibnu Sa'ad. Aku menyaksikan seo rang remaja
belia yang wajahnya sangat rupawan dan bersinar bagai pur nama. Dia mengenakan
pakaian dan izar (semacam sarung). Kakinya me ngenakan sepasang sandal yang
tali satu diantaranya sudah terputus. Me nyaksikan remaja itu, Amr bin Sa'ad
Al-Izadi berkata: 'Demi Allah, aku mem perlakukannya dengan kasar dan membunuhnya.'
"Aku
berseru: 'Subhanallah! Kehendak macam apakah yang kamu katakan ini?! Orang
sebanyak itu dan kini sedang mengelilinginya itu sudah cukup un tuk
membantainya. Lantas untuk apa kamu mau ikut-ikutan menghabisinya? !'
"Saat
aku masih berpikir demikian, seekor kuda tiba-tiba menerjang kemu dian disusul
dengan hantaman pedang yang mengena bagian kepala anak yang sedang teraniaya
itu. Kepalanya terkoyak sehingga Qasim tersungkur ke tanah dan berteriak:
'Oh
paman, aku haus, aku dahaga. Beri aku seteguk air minum!'
"Hazrat Husain
bin Ali dari jauh mencoba memberinya semangat dan ketaba han hati, sementara
pasukan musuh terus mengerubungi sam bil mengania yanya secara bertubi-tubi.
Saat mereka hendak memenggal kepalanya, re maja belia itu merintih dan meminta
diberi kesempatan untuk mengucap kan suatu wasiat kepada seseorang. Namun, saat
dia tidak melihat siapapun di dekatnya kecuali kuda tunggangannya. Maka,
ditujukan kepada kuda nya itu dia berkata: "Katakanlah kepada puteri pamanku,
sesungguhnya aku ter bunuh dalam keadaan dahaga seorang diri. Maka, jika kamu
meminum air, ingatlah aku dan ratapilah aku, dan jika (di sini) kamu hendak
mewarnai ku kumu dengan sesuatu, maka warnailah dengan darahku."
Dalam keadaan tak
berdaya itu, Qasim dipenggal oleh musuh. Kepalanya terpisah dari badan.
Menyaksikan pemandangan sedemikian biadab itu, Imam Husain as segera menerjang
barisan pasukan musuh. Bagaikan elang yang menukik dari angkasa saat memburu
mangsa, Imam Husain as menero bos gerombolan musuh dan mengincar manusia liar
yang telah memenggal kepada kepala Qasim. Begitu manusia biadab berama Amr bin Sa’ad itu
terlihat di depan beliau, Imam Husain as segera membabatkan pedangnya ke arah
Amr. Amr pun mengerang kesakitan begitu melihat tangannya su dah terpisah dari
pangkal lengannya akibat sabetan pedang Imam Husain as. Namun, tanpa ampun
lagi, diiringi gelegar suara Imam Husain as yang menggetarkan nyali pasukan
musuh yang ada di sekitarnya, Amr bin Sa’ad mendapat serangan kedua kalinya
dari pedang Imam. Manusia sadis ter hempas dari
kudanya. Dalam keadaan bermandi darah dia pun sekarat dan mati.
Debu yang
beterbanganpun reda. Di saat musuh tercengang, Imam men dekati dan meraih
kepala Qasim dan memeluknya jasadnya yang tak ber nyawa itu. Imam berucap: “Demi
Allah, adalah sesuatu yang tidak mungkin bagi pamanmu untuk tidak memenuhi
panggilanmu jika kamu memang gil nya, atau memenuhinya tetapi tidak berguna
untukmu.” Hai Puteraku, orang-orang munafiq telah membunuhmu. Mereka tidak tahu
siapa kamu, ayahmu dan kakekmu.”
Gugurnya Qasim di
medan jihad tak urung disambut dengan jerit tangis histe ris isteri yang baru
saja dinikahinya. Ratapan histeris juga datang dari ibu Qasim. Mereka melumuri
wajah mereka dengan darah suci Qasim sambil menangis tanpa henti hingga
kemudian dengan hati pilu Imam Husain as meminta mereka untuk tabah didepan
cobaan yang amat besar ini. Beliau kemudian membawa jenazah suci Qasim ke dalam
tenda yang khusus untuk dibaringkan di sisi jenazah para syuhada sebelum Qasim.
Dengan wajah yang tak dapat membendung luapan duka, beliau menatap ke arah
langit dan berucap:
“Ya Allah Yang Maha
Kuat lagi Maha Perkasa, Engkau tahu bahwa orang-orang (Kufah) itu telah
mengundangku untuk mendukungku. Namun seka rang mereka telah melepaskan tangan
dariku kemudian menjabat tangan musuhku. Mereka membantu musuh dan bangkit
memerangiku. Ya Allah Yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana, binasa kanlah mereka,
cerai-beraikan mereka hingga tidak ada lagi satupun diantara mereka yang
tersisa."
“Laknat Allah atas
para pembunuh kalian (para syuhada).”
Di Karbala, saat
putera-putera ksatria Ali bin Abi Thalib as tidak tersisa lagi ke cuali Imam
Husain as dan Abu Fadl Abbas, Abbas datang menghampiri ka kaknnya, Imam Husain
as dan berkata:
“Turbunuhya para
sahabat dan kerabatku kini telah membuatku tak kuasa la gi menahan rasa sabar.
Maka izinkan aku untuk membalas darah mereka.”
“Saudara-saudara Imam Husain as yang sudah maju ke
depan dan mem ba wa bendera perlawanan sebelum Abbbas ialah Abdullah, Jakfar,
dan Ust man. Mereka sudah gugur mendahului Abbas hingga akhirnya tibalah gili ran
Abbas sendiri untuk melakukan perlawanan di atas pentas peperangan yang
sebenarnya lebih merupakan panggung pembantaian itu.
BAB 13
MUSIBAH HAZRAT ABU FADHL ABBAS AS
Dalam riwayat disebutkan bahwa Abu Fadhl Abbas as
adalah pria yang berperawakan tinggi, tegap, dan kekar. Dadanya bidang dan
wajahnya putih berseri. Sedemikian elok dan rupawannya Fisik Abbas sehingga
adik Imam Husain as dari lain ibu ini tenar dengan julukan ‘Purnama Bani
Hasyim’ (Qamar bani Hasyim).
Dalam sejarah Abbas juga dikenal sebagai pemegang
panji Karbala. Kebe raniann, kehebatan, dan kekuatannya saat itu tak
tertandingi oleh siapapun. Sebagai manusia yang tumbuh besar di tengah binaan
keluarga suci dan mulia, dia memiliki keteguhan dan kesetiaan yang luar biasa
kepada kepe mimpinan dalam untaian figur-figur utama Ahlul Bait as. Perjuangan
di Kar bala telah menyematkan namanya dalam sejarah keislaman dan Ahlul Bait
Rasul sebagai salah satu pahlawan yang sangat legendaris.
Tentang ini Imam Ali Zainal Abidin Assajjad as
berkata:
“Sesungguhnya di sisi Allah Abbas memiliki kedudukan
(sedemikian tinggi) sehingga seluruh para syuhada cemburu menyaksikannya pada
hari kia mat.”
Imam Assajad as dalam doanya untuk Abbas as juga
berucap:
"Ya Allah, rahmatilah pamanku, Abbas.
Sesungguhnya dia telah mengorban kan jiwanya untuk saudaranya."
Dalam peperangan kedua tangannya telah dipotong oleh
musuh sehingga Allah menggantinya dengan sepasang sayap untuk terbang dengan
para malaikat di alam surga. Di sisi Allah dia memiliki kedudukan yang sangat
agung sehingga membuat para sahabat cemburu melihatnya.
Sang Purnama Bani Hasyim adalah pria dewasa yang
perasaannya di kenal sangat peka. Perasaannya sangat tersayat menakala dia
mende ngar ratapan kehausan dan tumpahnya darah para pahlawan Karbala. Saat
itulah dia semakin merasakan tidak ada gunanya hidup bila tidak dia gunakan
untuk berjihad membela junjungan dan pemimpinnya, Imam Husain as. Namun, selama
terjadi peperangan yang menggugur kan satu persatu dari sahabat dan kerabatnya,
yang bisa dia nantikan hanyalah menanti instruksi Sang Imam. Dan saat dia mendapat
in struksi itu, banyak diantara pasukan musuh yang harus bergelimpa ngan
ditangannya untuk kemudian dia kirim ke neraka jahannam dengan harapan dapat
membalas kebejatan para musuh itu dengan sekuat tenaga.
Dalam penantian instruksi dari saudara sekaligus
pemimpinnya itu, kata-kata yang dia ucapkan kepada beliau adalah:
"Kakakku, sudahkah engkau me ngizinkan aku?" Pernyataan Sang
Purnama ini mem buat hati Sang Imam lu luh sehingga menangis tersedu dan
berkata: "Adikku, engkau adalah pe ngibar panjiku dan lambang
pasukanku." Beliau juga mengatakan: "Engkau lah pemegang panjiku,
namun cobalah engkau carikan seteguk air untuk anak-anak itu."
Hazrat Abbas as lantas mendatangi kelompok Bani
Umayyah dan men coba menasihati mereka kendati Abbas tahu bahwa itu tidak akan
mereka dengar. Setelah terbukti nasihat itu sia-sia, dia kembali meng hadap
Imam Husain as dan mendengar jerit tangis anak-anak kecil yang kehausan meminta
dibawakan air. Hati Abbas merintih. Sambil menatap langit, bibirnya berucap:
“Tuhanku, Junjunganku, aku berharap dapat memenuhi
janjiku, aku akan membawakan satu girbah air untuk anak-anak itu.”
Abbas kemudian meraih tombak dan memacu kudanya sambil
mem bawa girbah (kantung air dari kulit) menuju sungai Elfrat yang seluruh tepi
dijaga oleh sekitar empat ribu pasukan musuh. Begitu Abbas tiba di dekat sungai
itu, pasukan musuh itu segera mengepungnya sambil memasang anak panah ke
busurnya ke arah adik Imam Husain as tersebut. Pemandangan
seperti itu tak membuatnya gentar. Begitu beberapa anak panah melesat, Abbas
segera berkelit dan bergerak tangkas menyerang musuh. Sekali terjang, pedang
Abbas berhasil membabat nyawa sejumlah pasukan. Kemanapun kuda Abbas berge rak,
gerombalan musuh bubar dan porak poranda. Akibatnya, pen jagaan sungai ElFrat
yang berlapis-lapis akhirnya jebol diterjang pen dekar Abbas.
Sambil menahan
letih dan rasa haus yang mencekiknya, Abbas turun ke sungai dengan kudanya. Mula-mula dia berusaha cepat-cepat me ngisi girbahnya
dengan air. Setelah itu dia meraih air dengan telapak tangannya untuk
diminumnya. Namun, belum sempat air itu me nyentuh bibirnya, Abbas teringat
kepada Imam Husain as dan kerabatnya yang sedang kehausan menantikan
kedatangannya. Air di telapak tangannya langsung
dia tumpah kan lagi sambil berucap:
“Demi Allah aku
tidak akan meneguk air sementara junjunganku Husain se dang kehausan.”
Hazrat Abbas as
kemudian berusaha kembali dengan menempuh jalur lain melalui tanah yang
ditumbuhi pohon-pohon kurma agar air yang dibawanya tiba dengan selamat ke
tangan Imam. Namun, perjalanan Abbas tetap diha dang musuh. Dia tidak
diperkenankan mem bawa air itu kepada Ahlul Nabi tersebut. Kali ini pasukan
Umar bin Sa’ad semakin garang. Abbas dike pung lagi. Pasukan yang mengha dang
di depannya adalah pasukan pe manah yang sudah siap mele paskan sekian banyak
anak panah untuk mencabik-cabik tubuhnya. Namun, sebelum menjadi sarang
benda-benda tajam bera cun itu, dengan tangkasnya pedang Abbas menyambar musuh
ada dide pannya. Sejurus kemudian kepungan musuh kembali porak-poranda dio brak-abrik
Abbas.
Menyaksikan
kehebatan Abbas yang tidak bisa dipatahkan dengan berha dapan langsung itu,
beberapa pasukan penunggang kuda ahli diperintah kan untuk bekerjasama
menghabisi Abbas dengan cara menyelinap dan ber sembunyi di balik pepohonan
kurma. Saat Abbas lewat, dua pasukan musuh bernama Zaid bin Warqa dan Hakim bin
Tufail yang juga bersembunyi di balik pohon segera muncul sambil menghantamkan
pedangnya ke tangan Ab bas. Tanpa ampun lagi, ta ngan kanan Abbas putus dan
terpisah dari tubuh nya. Tangan kirinya segera menyambar girbah air dan
pedangnya. Dengan satu tangan dan sisa-sisa tenaga itu, Abbas masih bisa
membalas beberapa orang pasukan hingga tewas. Saat itu dia sempat berucap:
“Demi Allah,
walaupun tangan kananku telah kalian potong aku tetap akan membela agamaku,
membela Imam yang jujur, penuh keyakinan, dan cucu Nabi yang suci dan
terpercaya.”
Hazrat Abbas as
tetap berusaha bertahan dan menyerang walaupun badannya sudah lemah akibat
pendarahan. Dalam kondisi yang nyaris tak berdaya itu, seseorang bernama Nufail
Arzaq tiba-tiba muncul bak siluman dari balik pohon sambil mengayunkan
pedangnya ke arah bahu Abbas. Abbas tak sempat menghindar lagi. Satu-satunya
tangan yang diharapkan dapat membawakan air untuk anak keturu nan Rasul yang
sedang kehausan itu akhirnya putus. Dalam keadaan tanpa tangan, adik Imam
Husain ini mencoba meraihnya kantung air dengan menggigitnya. Tapi kebrutalan
hati musuh tak kunjung reda. Kantung itu dipanah sehingga air yang diharapkan
itu tumpah. Air itu pun mengucur habis seiring dengan habisnya harapan Abbas.
Aksi pembantaian ini berlanjut dengan tembusnya satu lagi anak panah ke dada
Abbas. Tak cukup dengan itu, Hakim bin Tufail datang lagi menghantamkan
batangan besi ke ubun-ubun Abbas. Abbas pun ter jungkal dari atas kuda sambil
mengerang kesakitan dan berteriak: “Hai kakakku, temuilah aku!”
Dengan sengalan nafas yang masih tersisa Abbas as
berucap lagi untuk Imam Husain as:
“Salam atasmu dariku, wahai Abu Abdillah.”
Suara dan ratapan Abbas ini secara ajaib terdengar
oleh Imam Husain as sehingga beliaupun beranjak ke arahnya sambil
berteriak-teriak: “Dimanakah kamu?” Imam Husain as tiba-tiba dikejutkan oleh kuda
Abu Fadhl Abbas yang diberi nama Dzul Janah itu. Secara ajaib kuda itu dapat
berucap: “Hai junjunganku, adakah engkau tidak melihat ke tanah?”
(hsndwsp: “Adakah diantara pembaca yang masih belum
yakin atas kebe naran Imam Hussein menyirami pohon Islam dengan darah dan
airmata, sa ’at memperhatikan ucapan kuda ajaib itu?. Bagi pengikut Ahlulbayt
pastilah melihat begitu banyak keajaiban di karafan Karbala”)
Imam lantas melihat
ke tanah dan tampaklah di depan mata beliau dua pasang tangan tergeletak di
atas tanah. Tangan yang dikenalnya segera diraih dan dipeluknya. Tak jauh dari
situ pula, Imam melihat tubuh adiknya yang tinggi besar itu tergeletak dalam
keadaan penuh luka bersimbah darah. Imam pun tak kuasa menahan duka. Beliau
menangis tersedu dan meratap hingga mengiris hati seluruh hamba sejati Allah di
langit dan bumi.
“Kini tulang
punggungku sudah patah, daya upayaku sudah menyu rut, dan musuhku pun semakin
mencaci maki diriku.” Ratap putera Fatimah itu sambil memeluk Abbas, adiknya
dari lain ibu. Di tengah isak tangisnya, Imam juga berucap kepada Abbas: “Semoga
Allah membalasmu dengan kebaikan, adikku. Engkau telah berjuang di jalan Allah
dengan sempurna.”
Jasad Abbas yang
tak bertangan itu ternyata masih bernyawa. Mulutnya bergetar dan kemudian
bersuara lirih:
“Kakakku, tolong
jangan engkau bawa aku ke tenda sana. Sebab, selain aku telah gagal memenuhi
janjiku untuk membawakan air ke pada anak-anak kecil itu, aku adalah pemegang
panji sayap tengah. Jika orang-orang di perkemahan sana tahu aku telah
terbunuh, maka ketabahan mereka akan menipis.”
Imam Husain as
kembali mendekap erat-erat kepada adiknya yang bersim bah darah itu. Air mata
Abbas yang mengalir beliau usap.
“Mengapa engkau
menangis?” Tanya Imam.
“Wahai kakakku,
wahai pelipur mataku. Bagaimana aku tidak akan mena ngis saat aku melihatmu
mengangkat kepalaku dari tanah dan merebahkan ku dalam pangkuanmu, sementara
tak lama lagi tidak akan ada seorangpun yang akan meraih dan mendekap kepalamu,
tidak ada seorangpun yang akan membersihkan debu-debu dan tanah di wajahmu.”
Kata-kata Abbas ini
semakin memeluluhkan hati Imam Husain as sehing ga beliau semakin terbawa derai
isak dan tangis haru sambil bersimpuh di sisi adiknya tanpa mempedulikan sengat
terik mentari yang membakar. Dengan hati yang pilu Sang Imam mengucapkan salam
perpisahan kepada tulang punggung pasukannya yang sudah takber daya itu lalu
beranjak pergi dengan langkah kaki yang berat. Abbas pun gugur tergeletak
bermandi darah, debu, dan air mata di bawah guyuran cahaya panas mentari
sahara.
Begitu tiba di
tenda tempat beliau tinggal, Imam yang masih tak kuasa membendung derai air
mata duka segera disambut dengan pertanyaan dari puterinya, Sakinah.
"Ayah, bagaimanakah dengan nasib pamanku?
Bukankah dia telah berjanji kepadaku untuk membawakan air, dan bukankah dia
tidak mungkin ingkar janji?"
Pertanyaan Sakinah nampak sulit untuk dijawab ayahnya.
Hanya isak tangis yang segera menjawabnya, sebelum kemudian beliau berkata
dengan suara meratap pilu:
"Puteriku, sesungguhnya paman sudah terbunuh,
tetapi ketahuilah bahwa arwahnya sudah bersemayam di dalam surga."
Berita pilu ini tak urung segera disusul dengan
gemuruh tangis dan ratapan pedih Sakinah, Zainab Al-Kubra, dan wanita-wanita
lain di sekitarnya. "Oh Abbas!" "Oh, saudaraku!"
"Habislah sudah sang penolong!" "Betapa pedihnya nanti bencana
sesudah kepergian mu!"
Sang Imam sendiri tetap tak kuasa menahan duka lara
kepergian Abbas yang telah menjadi perisai tangguh kelompoknya. "Oh Abbas,
oh adikku, oh buah hatiku, kini kami benar-benar telah kehilangan dirimu. Patah
sudah tu lang punggungku. Lemah sudah strategiku. Punah sudah harapanku."
Bersambung, insya Allah…….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar