Jumat, 20 April 2018

SYAHIDNYA IMAM HUSEIN DI PERTEMPURAN KARBALA KISAH HARI ASHURA 10 MUHARRAM 61 H Sumber: www.eramuslim. VII




JADILAH DIRIMU SEBAGAI HUSSEIN ATAU ZAINAB KUBRA
KALAU TIDAK
BERARTI ANDA YAZID
TIDAK ADA ALTERNATIF LAINNYA

hsndwsp
Acheh - Sumatra
di
Ujung Dunia


BAB 12
MUSIBAH HAZRAT QASIM AS

Pada malam Asyura Imam Husain as telah memberitahu para saha batnya bahwa mereka besok akan syahid. "Kalian semua besok akan terbunuh." Ujar beliau. Saat itu, Qasim bin Hasan bin Ali as, seorang remaja rupawan datang menghadap Imam Husain as.
"Paman," Panggil putera Imam Hasan as itu, "apakah aku juga akan terbu nuh?" Pertanyaan ini mem buat sang Imam terharu dan segera memeluk erat kemenakannya itu lalu bertanya: "Bagaimanakah menurutmu kematian itu?"
Anak yang baru beranjak usia remaja itu menjawab:
"Kematian bagiku adalah lebih manis daripada madu."
Mendengar jawaban ini, Imam segera memberitahu:
"Kamu akan terbunuh setelah terjadi bencana besar, dan bahkan Ali Asghar pun juga akan terbunuh."

Pada hari Asyura, saat sudah mempersiapkan diri untuk berperang, Qasim pergi menghadap pamannya untuk mengajukan sebuah permohonan. "Paman, izin aku untuk ikut berperang." Pintanya. Namun Imam menjawab: "Kamu bagiku adalah cindera mata dari kakakku, maka bagaimana aku da pat merelakan kematianmu?"

Sikap Imam Husain as ini tidak memudarkan semangat Qasim. Dia tetap me mohon lagi agar beliau membiarkannya bertempur melawan musuh. Namun Imam tetap menahan kepergian Qasim. Remaja tampan ini bersedih lalu terduduk seorang diri sambil berenung penuh duka cita. Di saat itu tiba-tiba dia teringat pada pesan ayahnya dulu, Imam Hasan as. Saat masih hidup, kepada Qasim Imam Hasan pernah berpesan: "Jika nanti suatu penderitaan sedang menimpamu, maka bukalah catatan yang kamu ikatkan dilengan mu, lalu bacalah dan amalkanlah."

Qasim kemudian berpikir-pikir lagi tentang musibah sedemikian besar yang belum pernah dia alami sebelumnya. Dari situ dia lantas merasa bahwa sekarang inilah saatnya dia membaca surat wasiat itu.. Surat itu dibukanya dan disitu dia mendapatkan pesan ayahnya yang mengatakan:

"Hai Qasim, aku berpesan kepadamu bahwa jika kamu mendapati paman mu Husain di Karbala dalam keadaan terasing dan dikerumuni oleh musuh, maka janganlah kamu tinggalkan jihad, dan jangan sampai kamu enggan mengorbankan jiwamu deminya."

Qasim lalu membawa pesan tertulis itu kepada Imam Husain as. Imam Husain as terharu dan tiba menangis begitu menyaksikan ciri khas tulisan tangan kakak yang amat dicintainya itu, lalu berkata kepada Qasim:

"Jika ayahmu telah berwasiat demikian kepadamu, maka saudara ku Hasan itu juga pernah berwasiat suatu hal kepadaku sehingga akupun sekarang harus menikahkan puteriku Fatimah denganmu." Imam meraih tangan Qasim dan membawanya ke dalam tenda. Beliau bertanya kepada semua orang dan para pemuda yang ada di sekitarnya: "Adakah pakaian bagus untuk aku kenakan kepada Qa sim?" Semua orang menjawab tidak.

Imam lalu meminta adiknya, Hazrat Zainab, supaya mengambilkan be be rapa potong pakaian peninggalan Imam Hasan as dari sebuah peti. Setelah pakaian itu didatangkan, beliau mengenakan serban dan gamis Imam Hasan itu kepada Qasim lalu mengakad nikahkan Fatimah dengannya. Begitu selesai, Imam berujar kepada Qasim: "Hai puteraku, adakah sekarang kamu siap melangkah menuju kematian?"
Qasim menjawab: "Entahlah paman, bagaimana aku harus pergi me ning galkanmu seorang diri tanpa pelindung dan kawan diantara sekian banyak musuh. Yang pasti, jiwaku siap berkorban untuk jiwamu, diriku siap melindu ngi dirimu."

Setelah kembali mengajukan permohonan dengan amat sangat untuk ber perang, Imam Husain as akhirnya rela melepaskan Qasim berperang mela wan musuh. Beliau menyobek serbannya menjadi dua potong, satu untuk be liau pakai lagi untuk serban, selebihnya beliau kenakan dalam bentuk kain ka fan. Setelah menyerahkan sebilah pedang kepada Qasim, Imampun mele paskan kepergiannya ke arah musuh yang tak sabar menanti korban-korban suci selanjutnya.

Di medan pertempuran, Qasim sang remaja suci itu menyorot tajam mata Umar bin Sa'ad kemudian menumbuknya dengan kata-kata:
"Hai Umar, masihkah kamu tidak takut kepada Allah?! Apakah kamu tetap saja mengabaikan hak Rasulullah?! Lantas bagaimana kamu bisa mengaku sebagai seorang Muslim sementara kamu memblokir sungai Elfrat agar putera dan Ahlul Bait Rasul yang berteriak-teriak kehausan itu tidak dapat meneguk airnya?!"
Dengan angkuhnya Umar bin Sa'ad menjawab:
"Aku hanya akan membiarkan kalian meminumnya airnya jika kalian menang galkan sikap takabur kalian."
"Oh tidak, terima kasih, (kami tidak akan meminumnya)." Sergah Qasim.
(hsndwsp: "Jawaban Umar  ini dapat dipahami semua pembaca kecuali pri badi yang fanatikbuta, bahwa Umar yang angkuh menuduh Qasim bin Has san serta semua pengikut Imam Hussein yang angkuh. Fenomena ini pantas kitagarisbawahi bahwa demikian juga manusia yang angkuh dizaman kita kerap menuduh kami Syi’ah yang angkuh. Fenomena ini terbaca jelas dalam system Taghut despotic ataupun ndi medan Internet. Semoga dengan mere nungkan fenomena ini, mereka yang angkuh dan gemar menuduh pihak lain  angkuh sadar kesalahannya yang berakibat tertutupnya hidayah Allah hing ga mereka kelak menyesal yang teramat sangat")

Saat menatap wajah-wajah musuh yang berjajar di depannya, putera Imam Hasan as itu sempat mengucapkan sebuah syair tentang jiwanya yang sudah membaja dan tak kenal kata gentar itu. Syair itu ber bunyi:

"Jika kalian belum mengenalku, maka ketahuilah bahwa akulah putera Al Hasan, cucu Nabi Al-Mustafa, manusia kepercayaan (Allah). Dan ini adalah Husain yang sedang menderita bagai tawanan yang disandera di tengah o rang-orang."

Meski usianya masih belia, Qasim akhirnya mementaskan kehebatan ilmu pe rang yang dikuasainya di atas gelanggang sejarah heroisme Karbala. Sejum lah musuh jatuh bergelimpangan setelah menikmati kerasnya sabetan pe dang Qasim.

Syaikh Mufid ra dalam kitabnya, Al-Irsyad, meriwayatkan dari Hamid bin Muslim yang berkata:
"Saat itu aku berada di tengah pasukan Ibnu Sa'ad. Aku menyaksikan seo rang remaja belia yang wajahnya sangat rupawan dan bersinar bagai pur nama. Dia mengenakan pakaian dan izar (semacam sarung). Kakinya me ngenakan sepasang sandal yang tali satu diantaranya sudah terputus. Me nyaksikan remaja itu, Amr bin Sa'ad Al-Izadi berkata: 'Demi Allah, aku mem perlakukannya dengan kasar dan membunuhnya.'

"Aku berseru: 'Subhanallah! Kehendak macam apakah yang kamu katakan ini?! Orang sebanyak itu dan kini sedang mengelilinginya itu sudah cukup un tuk membantainya. Lantas untuk apa kamu mau ikut-ikutan menghabisinya? !'
"Saat aku masih berpikir demikian, seekor kuda tiba-tiba menerjang kemu dian disusul dengan hantaman pedang yang mengena bagian kepala anak yang sedang teraniaya itu. Kepalanya terkoyak sehingga Qasim tersungkur ke tanah dan berteriak: 'Oh paman, aku haus, aku dahaga. Beri aku seteguk air minum!'

"Hazrat Husain bin Ali dari jauh mencoba memberinya semangat dan ketaba han hati, sementara pasukan musuh terus mengerubungi sam bil mengania yanya secara bertubi-tubi. Saat mereka hendak memenggal kepalanya, re maja belia itu merintih dan meminta diberi kesempatan untuk mengucap kan suatu wasiat kepada seseorang. Namun, saat dia tidak melihat siapapun di dekatnya kecuali kuda tunggangannya. Maka, ditujukan kepada kuda nya itu dia berkata: "Katakanlah kepada puteri pamanku, sesungguhnya aku ter bunuh dalam keadaan dahaga seorang diri. Maka, jika kamu meminum air, ingatlah aku dan ratapilah aku, dan jika (di sini) kamu hendak mewarnai ku kumu dengan sesuatu, maka warnailah dengan darahku."

Dalam keadaan tak berdaya itu, Qasim dipenggal oleh musuh. Kepalanya terpisah dari badan. Menyaksikan pemandangan sedemikian biadab itu, Imam Husain as segera menerjang barisan pasukan musuh. Bagaikan elang yang menukik dari angkasa saat memburu mangsa, Imam Husain as menero bos gerombolan musuh dan mengincar manusia liar yang telah memenggal kepada kepala Qasim. Begitu manusia biadab berama Amr bin Sa’ad itu terlihat di depan beliau, Imam Husain as segera membabatkan pedangnya ke arah Amr. Amr pun mengerang kesakitan begitu melihat tangannya su dah terpisah dari pangkal lengannya akibat sabetan pedang Imam Husain as. Namun, tanpa ampun lagi, diiringi gelegar suara Imam Husain as yang menggetarkan nyali pasukan musuh yang ada di sekitarnya, Amr bin Sa’ad mendapat serangan kedua kalinya dari pedang Imam. Manusia sadis ter hempas dari kudanya. Dalam keadaan bermandi darah dia pun sekarat dan mati.

Debu yang beterbanganpun reda. Di saat musuh tercengang, Imam men dekati dan meraih kepala Qasim dan memeluknya jasadnya yang tak ber nyawa itu. Imam berucap: “Demi Allah, adalah sesuatu yang tidak mungkin bagi pamanmu untuk tidak memenuhi panggilanmu jika kamu memang gil nya, atau memenuhinya tetapi tidak berguna untukmu.” Hai Puteraku, orang-orang munafiq telah membunuhmu. Mereka tidak tahu siapa kamu, ayahmu dan kakekmu.”

Gugurnya Qasim di medan jihad tak urung disambut dengan jerit tangis histe ris isteri yang baru saja dinikahinya. Ratapan histeris juga datang dari ibu Qasim. Mereka melumuri wajah mereka dengan darah suci Qasim sambil menangis tanpa henti hingga kemudian dengan hati pilu Imam Husain as meminta mereka untuk tabah didepan cobaan yang amat besar ini. Beliau kemudian membawa jenazah suci Qasim ke dalam tenda yang khusus untuk dibaringkan di sisi jenazah para syuhada sebelum Qasim. Dengan wajah yang tak dapat membendung luapan duka, beliau menatap ke arah langit dan berucap:

“Ya Allah Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa, Engkau tahu bahwa orang-orang (Kufah) itu telah mengundangku untuk mendukungku. Namun seka rang mereka telah melepaskan tangan dariku kemudian menjabat tangan musuhku. Mereka membantu musuh dan bangkit memerangiku. Ya Allah Yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana, binasa kanlah mereka, cerai-beraikan mereka hingga tidak ada lagi satupun diantara mereka yang tersisa."
“Laknat Allah atas para pembunuh kalian (para syuhada).”

Di Karbala, saat putera-putera ksatria Ali bin Abi Thalib as tidak tersisa lagi ke cuali Imam Husain as dan Abu Fadl Abbas, Abbas datang menghampiri ka kaknnya, Imam Husain as dan berkata:

“Turbunuhya para sahabat dan kerabatku kini telah membuatku tak kuasa la gi menahan rasa sabar. Maka izinkan aku untuk membalas darah mereka.”

“Saudara-saudara Imam Husain as yang sudah maju ke depan dan mem ba wa bendera perlawanan sebelum Abbbas ialah Abdullah, Jakfar, dan Ust man. Mereka sudah gugur mendahului Abbas hingga akhirnya tibalah gili ran Abbas sendiri untuk melakukan perlawanan di atas pentas peperangan yang sebenarnya lebih merupakan panggung pembantaian itu.


BAB 13
MUSIBAH HAZRAT ABU FADHL ABBAS AS

Dalam riwayat disebutkan bahwa Abu Fadhl Abbas as adalah pria yang berperawakan tinggi, tegap, dan kekar. Dadanya bidang dan wajahnya putih berseri. Sedemikian elok dan rupawannya Fisik Abbas sehingga adik Imam Husain as dari lain ibu ini tenar dengan julukan ‘Purnama Bani Hasyim’ (Qamar bani Hasyim).

Dalam sejarah Abbas juga dikenal sebagai pemegang panji Karbala. Kebe raniann, kehebatan, dan kekuatannya saat itu tak tertandingi oleh siapapun. Sebagai manusia yang tumbuh besar di tengah binaan keluarga suci dan mulia, dia memiliki keteguhan dan kesetiaan yang luar biasa kepada kepe mimpinan dalam untaian figur-figur utama Ahlul Bait as. Perjuangan di Kar bala telah menyematkan namanya dalam sejarah keislaman dan Ahlul Bait Rasul sebagai salah satu pahlawan yang sangat legendaris.

Tentang ini Imam Ali Zainal Abidin Assajjad as berkata:
“Sesungguhnya di sisi Allah Abbas memiliki kedudukan (sedemikian tinggi) sehingga seluruh para syuhada cemburu menyaksikannya pada hari kia mat.”

Imam Assajad as dalam doanya untuk Abbas as juga berucap:
"Ya Allah, rahmatilah pamanku, Abbas. Sesungguhnya dia telah mengorban kan jiwanya untuk saudaranya."

Dalam peperangan kedua tangannya telah dipotong oleh musuh sehingga Allah menggantinya dengan sepasang sayap untuk terbang dengan para malaikat di alam surga. Di sisi Allah dia memiliki kedudukan yang sangat agung sehingga membuat para sahabat cemburu melihatnya.

Sang Purnama Bani Hasyim adalah pria dewasa yang perasaannya di kenal sangat peka. Perasaannya sangat tersayat menakala dia mende ngar ratapan kehausan dan tumpahnya darah para pahlawan Karbala. Saat itulah dia semakin merasakan tidak ada gunanya hidup bila tidak dia gunakan untuk berjihad membela junjungan dan pemimpinnya, Imam Husain as. Namun, selama terjadi peperangan yang menggugur kan satu persatu dari sahabat dan kerabatnya, yang bisa dia nantikan hanyalah menanti instruksi Sang Imam. Dan saat dia mendapat in struksi itu, banyak diantara pasukan musuh yang harus bergelimpa ngan ditangannya untuk kemudian dia kirim ke neraka jahannam dengan harapan dapat membalas kebejatan para musuh itu dengan sekuat tenaga.

Dalam penantian instruksi dari saudara sekaligus pemimpinnya itu, kata-kata yang dia ucapkan kepada beliau adalah: "Kakakku, sudahkah engkau me ngizinkan aku?" Pernyataan Sang Purnama ini mem buat hati Sang Imam lu luh sehingga menangis tersedu dan berkata: "Adikku, engkau adalah pe ngibar panjiku dan lambang pasukanku." Beliau juga mengatakan: "Engkau lah pemegang panjiku, namun cobalah engkau carikan seteguk air untuk anak-anak itu."

Hazrat Abbas as lantas mendatangi kelompok Bani Umayyah dan men coba menasihati mereka kendati Abbas tahu bahwa itu tidak akan mereka dengar. Setelah terbukti nasihat itu sia-sia, dia kembali meng hadap Imam Husain as dan mendengar jerit tangis anak-anak kecil yang kehausan meminta dibawakan air. Hati Abbas merintih. Sambil menatap langit, bibirnya berucap:
“Tuhanku, Junjunganku, aku berharap dapat memenuhi janjiku, aku akan membawakan satu girbah air untuk anak-anak itu.”

Abbas kemudian meraih tombak dan memacu kudanya sambil mem bawa girbah (kantung air dari kulit) menuju sungai Elfrat yang seluruh tepi dijaga oleh sekitar empat ribu pasukan musuh. Begitu Abbas tiba di dekat sungai itu, pasukan musuh itu segera mengepungnya sambil memasang anak panah ke busurnya ke arah adik Imam Husain as tersebut. Pemandangan seperti itu tak membuatnya gentar. Begitu beberapa anak panah melesat, Abbas segera berkelit dan bergerak tangkas menyerang musuh. Sekali terjang, pedang Abbas berhasil membabat nyawa sejumlah pasukan. Kemanapun kuda Abbas berge rak, gerombalan musuh bubar dan porak poranda. Akibatnya, pen jagaan sungai ElFrat yang berlapis-lapis akhirnya jebol diterjang pen dekar Abbas.

Sambil menahan letih dan rasa haus yang mencekiknya, Abbas turun ke sungai dengan kudanya. Mula-mula dia berusaha cepat-cepat me ngisi girbahnya dengan air. Setelah itu dia meraih air dengan telapak tangannya untuk diminumnya. Namun, belum sempat air itu me nyentuh bibirnya, Abbas teringat kepada Imam Husain as dan kerabatnya yang sedang kehausan menantikan kedatangannya. Air di telapak tangannya langsung dia tumpah kan lagi sambil berucap:
“Demi Allah aku tidak akan meneguk air sementara junjunganku Husain se dang kehausan.”

Hazrat Abbas as kemudian berusaha kembali dengan menempuh jalur lain melalui tanah yang ditumbuhi pohon-pohon kurma agar air yang dibawanya tiba dengan selamat ke tangan Imam. Namun, perjalanan Abbas tetap diha dang musuh. Dia tidak diperkenankan mem bawa air itu kepada Ahlul Nabi tersebut. Kali ini pasukan Umar bin Sa’ad semakin garang. Abbas dike pung lagi. Pasukan yang mengha dang di depannya adalah pasukan pe manah yang sudah siap mele paskan sekian banyak anak panah untuk mencabik-cabik tubuhnya. Namun, sebelum menjadi sarang benda-benda tajam bera cun itu, dengan tangkasnya pedang Abbas menyambar musuh ada dide pannya. Sejurus kemudian kepungan musuh kembali porak-poranda dio brak-abrik Abbas.

Menyaksikan kehebatan Abbas yang tidak bisa dipatahkan dengan berha dapan langsung itu, beberapa pasukan penunggang kuda ahli diperintah kan untuk bekerjasama menghabisi Abbas dengan cara menyelinap dan ber sembunyi di balik pepohonan kurma. Saat Abbas lewat, dua pasukan musuh bernama Zaid bin Warqa dan Hakim bin Tufail yang juga bersembunyi di balik pohon segera muncul sambil menghantamkan pedangnya ke tangan Ab bas. Tanpa ampun lagi, ta ngan kanan Abbas putus dan terpisah dari tubuh nya. Tangan kirinya segera menyambar girbah air dan pedangnya. Dengan satu tangan dan sisa-sisa tenaga itu, Abbas masih bisa membalas beberapa orang pasukan hingga tewas. Saat itu dia sempat berucap:

“Demi Allah, walaupun tangan kananku telah kalian potong aku tetap akan membela agamaku, membela Imam yang jujur, penuh keyakinan, dan cucu Nabi yang suci dan terpercaya.”

Hazrat Abbas as tetap berusaha bertahan dan menyerang walaupun badannya sudah lemah akibat pendarahan. Dalam kondisi yang nyaris tak berdaya itu, seseorang bernama Nufail Arzaq tiba-tiba muncul bak siluman dari balik pohon sambil mengayunkan pedangnya ke arah bahu Abbas. Abbas tak sempat menghindar lagi. Satu-satunya tangan yang diharapkan dapat membawakan air untuk anak keturu nan Rasul yang sedang kehausan itu akhirnya putus. Dalam keadaan tanpa tangan, adik Imam Husain ini mencoba meraihnya kantung air dengan menggigitnya. Tapi kebrutalan hati musuh tak kunjung reda. Kantung itu dipanah sehingga air yang diharapkan itu tumpah. Air itu pun mengucur habis seiring dengan habisnya harapan Abbas. Aksi pembantaian ini berlanjut dengan tembusnya satu lagi anak panah ke dada Abbas. Tak cukup dengan itu, Hakim bin Tufail datang lagi menghantamkan batangan besi ke ubun-ubun Abbas. Abbas pun ter jungkal dari atas kuda sambil mengerang kesakitan dan berteriak: “Hai kakakku, temuilah aku!”

Dengan sengalan nafas yang masih tersisa Abbas as berucap lagi untuk Imam Husain as:
“Salam atasmu dariku, wahai Abu Abdillah.”

Suara dan ratapan Abbas ini secara ajaib terdengar oleh Imam Husain as sehingga beliaupun beranjak ke arahnya sambil berteriak-teriak: “Dimanakah kamu?” Imam Husain as tiba-tiba dikejutkan oleh kuda Abu Fadhl Abbas yang diberi nama Dzul Janah itu. Secara ajaib kuda itu dapat berucap: “Hai junjunganku, adakah engkau tidak melihat ke tanah?”

(hsndwsp: “Adakah diantara pembaca yang masih belum yakin atas kebe naran Imam Hussein menyirami pohon Islam dengan darah dan airmata, sa ’at memperhatikan ucapan kuda ajaib itu?. Bagi pengikut Ahlulbayt pastilah melihat begitu banyak keajaiban di karafan Karbala”)

Imam lantas melihat ke tanah dan tampaklah di depan mata beliau dua pasang tangan tergeletak di atas tanah. Tangan yang dikenalnya segera diraih dan dipeluknya. Tak jauh dari situ pula, Imam melihat tubuh adiknya yang tinggi besar itu tergeletak dalam keadaan penuh luka bersimbah darah. Imam pun tak kuasa menahan duka. Beliau menangis tersedu dan meratap hingga mengiris hati seluruh hamba sejati Allah di langit dan bumi.

“Kini tulang punggungku sudah patah, daya upayaku sudah menyu rut, dan musuhku pun semakin mencaci maki diriku.” Ratap putera Fatimah itu sambil memeluk Abbas, adiknya dari lain ibu. Di tengah isak tangisnya, Imam juga berucap kepada Abbas: “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, adikku. Engkau telah berjuang di jalan Allah dengan sempurna.”

Jasad Abbas yang tak bertangan itu ternyata masih bernyawa. Mulutnya bergetar dan kemudian bersuara lirih:
“Kakakku, tolong jangan engkau bawa aku ke tenda sana. Sebab, selain aku telah gagal memenuhi janjiku untuk membawakan air ke pada anak-anak kecil itu, aku adalah pemegang panji sayap tengah. Jika orang-orang di perkemahan sana tahu aku telah terbunuh, maka ketabahan mereka akan menipis.”

Imam Husain as kembali mendekap erat-erat kepada adiknya yang bersim bah darah itu. Air mata Abbas yang mengalir beliau usap.
“Mengapa engkau menangis?” Tanya Imam.
“Wahai kakakku, wahai pelipur mataku. Bagaimana aku tidak akan mena ngis saat aku melihatmu mengangkat kepalaku dari tanah dan merebahkan ku dalam pangkuanmu, sementara tak lama lagi tidak akan ada seorangpun yang akan meraih dan mendekap kepalamu, tidak ada seorangpun yang akan membersihkan debu-debu dan tanah di wajahmu.”

Kata-kata Abbas ini semakin memeluluhkan hati Imam Husain as sehing ga beliau semakin terbawa derai isak dan tangis haru sambil bersimpuh di sisi adiknya tanpa mempedulikan sengat terik mentari yang membakar. Dengan hati yang pilu Sang Imam mengucapkan salam perpisahan kepada tulang punggung pasukannya yang sudah takber daya itu lalu beranjak pergi dengan langkah kaki yang berat. Abbas pun gugur tergeletak bermandi darah, debu, dan air mata di bawah guyuran cahaya panas mentari sahara.

Begitu tiba di tenda tempat beliau tinggal, Imam yang masih tak kuasa membendung derai air mata duka segera disambut dengan pertanyaan dari puterinya, Sakinah.
"Ayah, bagaimanakah dengan nasib pamanku? Bukankah dia telah berjanji kepadaku untuk membawakan air, dan bukankah dia tidak mungkin ingkar janji?"

Pertanyaan Sakinah nampak sulit untuk dijawab ayahnya. Hanya isak tangis yang segera menjawabnya, sebelum kemudian beliau berkata dengan suara meratap pilu:
"Puteriku, sesungguhnya paman sudah terbunuh, tetapi ketahuilah bahwa arwahnya sudah bersemayam di dalam surga."

Berita pilu ini tak urung segera disusul dengan gemuruh tangis dan ratapan pedih Sakinah, Zainab Al-Kubra, dan wanita-wanita lain di sekitarnya. "Oh Abbas!" "Oh, saudaraku!" "Habislah sudah sang penolong!" "Betapa pedihnya nanti bencana sesudah kepergian mu!"

Sang Imam sendiri tetap tak kuasa menahan duka lara kepergian Abbas yang telah menjadi perisai tangguh kelompoknya. "Oh Abbas, oh adikku, oh buah hatiku, kini kami benar-benar telah kehilangan dirimu. Patah sudah tu lang punggungku. Lemah sudah strategiku. Punah sudah harapanku."

Bersambung, insya Allah…….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar