Jumat, 20 April 2018

SYAHIDNYA IMAM HUSEIN DI PERTEMPURAN KARBALA KISAH HARI ASHURA 10 MUHARRAM 61 H Sumber: www.eramuslim. VI





JADILAH DIRIMU SEBAGAI HUSSEIN ATAU ZAINAB KUBRA
KALAU TIDAK
BERARTI ANDA YAZID
TIDAK ADA ALTERNATIF LAINNYA

hsndwsp
Acheh - Sumatra
di
Ujung Dunia

BAB 10
DIMULAINYA PERANG TAK SEIMBANG
Gugurnya Qasim di medan jihad tak urung disambut dengan jerit tangis histe ris isteri yang baru saja dinikahinya. Ratapan histeris juga datang dari ibu Qasim. Mereka melumuri wajah mereka dengan darah suci Qasim sambil menangis tanpa henti hingga kemudian dengan hati pilu Imam Husain as meminta mereka untuk tabah didepan cobaan yang amat besar ini. Beliau kemudian membawa jenazah suci Qasim ke dalam tenda yang khusus untuk dibaringkan di sisi jenazah para syuhada sebelum Qasim. Dengan wajah yang tak dapat membendung luapan duka, beliau menatap ke arah langit dan berucap:
(hsndwsp: bung Usman! Ibu Qasim ini isteri Imam Hassan. Berapa orang isteri Imam Hassan?

“Ya Allah Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa, Engkau tahu bahwa orang-orang (Kufah) itu telah mengundangku untuk mendukungku. Namun seka rang mereka telah melepaskan tangan dariku kemudian menjabat tangan musuhku. Mereka membantu musuh dan bangkit memerangiku. Ya Allah Yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana, binasa kanlah mereka, cerai-beraikan mereka hingga tidak ada lagi satupun diantara mereka yang tersisa."
“Laknat Allah atas para pembunuh kalian (para syuhada).”

(hsndwsp: Dulu saya pelajari dari Sunni tidakboleh berdo’a yang tidak baik se perti sa at Rasulullah mendapat malapetaka di perang Uhud. Ternyata beta pa banyaknyan kepalsuan yang dibuat Sunni.)

Pasukan dari pihak yang hak dan pihak yang batil akhirnya bergerak maju dalam posisi frontal. Dari pihak Imam Husain as, nampak wajah-wajah cemerlang dan berbinar seakan tak sabar lagi untuk berjumpa dengan Yang Maha Kuasa. Mereka siap terbang bahu membahu dan berlomba menuju alam keabadian di sisi Al-Khalik dengan kepakan sayap-sayap imannya yang lebar. Dengan jiwa yang membaja mereka siap mengarungi lautan darah membela kehormatan dan cita-cita mulia Al-Husain as, bintang kejora dari keluarga suci Rasulullah. Jiwa mereka yang sudah terpatri dalam semangat altruisme telah siap menyongsong kematian yang suci dan sakral sebelum Imam Husain as sendiri meneguk puncak kemuliaan derajat syahadah.

Saat bayangan kecamuk perang sudah nampak di depan mata itu, Hur da tang mendekati Imam Husain sambil berkata:
"Hai Putera Rasul, saat Ubaidillah menggiringku untuk memerangimu, dan lalu aku keluar dari Darul Imarah aku mendengar suara lapat-lapat dari bela kang mengatakan: 'Berita gembira tentang kebaikan untukmu, Hai Hur.' Saat aku berpaling ke belakang, aku tak melihat satu orangpun sehingga aku lan tas berkata dalam hati bahwa demi Allah ini bukanlah berita gembira karena aku akan pergi untuk memerangi putera Rasul, dan aku tadinya tak pernah berpikir bahwa suatu saat nanti aku akan bertaubat. Baru sekarang aku me nyadari bahwa itu memang berita gembira.

"Hai Husain, aku adalah orang pertama yang berani menghadangmu. Kare na itu sekarang perkenankan aku untuk menjadi orang pertama yang akan berkorban untukmu agar di hari kiamat kelak aku bisa menjadi orang per tama yang dapat berjabat tangan dengan Rasulullah saww."

Imam Husain as mengizinkan permohonan Hur untuk maju sebagai orang pertama untuk berjihad. Hur pun maju dengan gagah berani. Saat berha dapan dengan barisan pasukan musuh yang berjumlah besar itu, dia berte riak lantang:

"Hai orang-orang Kufah, laknat untuk kalian dan ibu yang melahirkan kalian. Kalianlah yang mengundang hamba salih Allah ini untuk mendatangi kalian tetapi kemudian melupakan begitu saja janji yang pernah kalian nyatakan. Kalian sekarang malah mengepungnya. Kalian telah memjadikan bumi Allah yang luas ini sempit baginya sehingga tak ada lagi tempat yang aman bagi dia dan keluarganya. Kini mereka menderita bagai orang-orang tawanan. Kalian mencegah mereka untuk meneguk air sungai El Frat sementara kalian membiar kan binatang-binatang liar meminumnya. Betapa celakanya pera ngai kalian terhadap anak keturanan Rasul. Di hari kiamat Allah pasti akan membiarkan kalian tercekik kehausan..."

Kata-kata Hur kembali menyengat telinga pasukan dari Kufah terse but. Tak tak tahan digedor emosi, mereka menyerang Hur. Sambil melawan dan mengayun-ayunkan pedangnya Hur berteriak-teriak lagi:
"Rumahku selalu menjadi tempat singgahnya para tamu dan aku tahu adat menghormarti tamu. Namun, untuk membela para tamu yang lebih mulia da ripada para tamu Allah di Makkah dan Mina ini pedangku tak akan segan-se gan membabat siapa saja. Akulah orang yang tumbuh besar di tengah kelua rga pemberani dan aku mewarisi mereka."

Selama melakukan perlawanan dan serangan di tengah pasukan musuh yang mengerubunginya, Hur sempat melihat anaknya yang juga termasuk satu diantara ribuan pasukan musuh. Hur meminta puteranya yang bernama Ali itu supaya bertobat, dan usaha Hur itu berhasil sebelum manusia yang terbebas dari angkara murka ini gugur sebagai syahid.

Dalam riwayat disebutkan bahwa saat melihat anaknya, Hur berkata:
"Puteraku, kini sudah tiba saatnya bagimu untuk mempertonton kan keberani anmu di jalan putera Rasulullah hingga kamu gugur." Kata-kata sang ayah se gera membuat anaknya sadar. Putera bernama Ali dari keluarga pemberani itu segera menari-narikan pedangnya untuk membabat siapa saja dari pasu kan musuh yang ada di dekatnya. Tak kurang dari 24 pasukan musuh mati terkapar akibat sabetan pedangnya sebelum dia sendiri kehabisan tenaga dan gugur dibantai musuh.

Saat menyaksikan anaknya tersungkur ke tanah tanpa nyawa, Hur memanjat kan puji syukur untuk anaknya: "Segala puji bagi Allah yang telah menganu gerahi- Mu dengan syahadah di sisi putera dari puteri Rasulullah."

Hur kemudian bergegas lagi menghadapi pasukan musuh. Saat itu dia me lihat saudaranya yang bernama Mash'ab yang bergerak mendekatinya. Pasukan Umar bin Sa'ad segera menduga akan terjadi duel antara kakak dan adik. Mereka menyoraki keduanya. Namun, ketika berhadapan dengan Hur, Mash'ab tiba-tiba berkata:
"Aku ucapkan selamat kepadamu yang telah berhasil membebaskan diri dari kesesatan dan mendapatkan hidayah. Sekarang bawalah aku ke hada pan Imam Husain agar taubatku diterima."

Hur lantas membawanya menghadap Imam Husain dan memperkenalkan nya kepada beliau. Mash'abpun bertaubat dan masuk ke dalam barisan pe ngikut Imam Husain as. Umar bin Sa'ad semakin naik pitam melihat ulah dua orang kakak beradik itu. Dia segera memerintahkan Sofwan bin Handalah, orang yang dikenal jagoan di Kufah, untuk menghabisi Hur jika Hur memanan tang duel.

Maka, begitu Hur memacu kudanya ke arena pertempuran, Sofwan segera menghadangnya sambil berteriak:
"Hai Hur, betapa keparatnya perbuatanmu. Kamu berpaling dari kha lifah Yazid dan menyebrang ke kelompok Husain."
Hur menjawab:
"Setahuku kamu adalah lelaki yang pintar, tetapi sekarang aku heran menga pa kamu sampai mengeluarkan kata-kata seperti ini. Kamu memintaku supa ya meninggalkan Husain lalu memilih bergabung dengan Yazid, si tukang ma buk dan penzina itu?!"

Mendapati jawaban seperti ini, tanpa basa-basi lagi Sofwan menghunus pedang dan mengayunkannya ke arah tubuh Hur. Namun dengan tangkas nya Hur menangkis ayunan pedang jagoan Kufah itu. Belum sempat melan carkan serangan lagi, Sofwan tiba-tiba mengerang kesakitan begitu menda pat serangan balas dari Hur. Ketangkasannya ternyata tak sehebat Hur. Da da Sofwan tertembus tombak yang dihunjamkan Hur. Sofwan sang jagoan itu roboh bersimbah darah.

Tiga saudara Sofwan geram menyaksikan pemandangan itu. Hur segera dikeroyok oleh mereka. Tapi ketiga orang itu ternyata tak ada artinya di de pan kehebatan Hur yang baru saja menjadi komandan pasukan musuh itu. Tiga-tiganya roboh menyusul Sofwan ke alam baka. Hur kemudian menan tang orang-orang lain untuk duel. Tapi begitu tak seorang pun berani menja wab tantangannya, Hur segera mendobrak barisan musuh. Barisan itupun ce rai-berai dan Hur segera kembali lagi menghadap Imam Husain dengan wa jah ceria setelah berhasil menambah jumlah korban tewas di pihak musuh. Begitulah seterusnya apa yang dilakukan Hur hingga banyak korban yang berjatuhan akibat sabetan pedang Hur.

Di lain pihak, menyaksikan pasukannya kacau balau diterjang pen dekar ber nama Hur itu, Umar bin Sa'ad segera memekikkan suara: "Hujani dia dengan panah. Jangan biarkan dia lolos!"

Hujan panahpun menyerbu tubuh sang pendekar bernama Hur itu. Dia tak kuasa menghalau serangan selicik itu. Tubuhnya menjadi sarang beberapa anak panah beracun itu. Sebelum tubuhnya roboh, para sahabat Imam Husain as maju menerjang musuh dan sebagian lain membopong Hur yang dalam keadaan sekarat dan membawa ke hadapan Imam Husain as. Imam kemudian mengusap wajah Hur sambil berucap:
"Kini telah hur (bebas) sebagaimana nama yang diberikan ibumu un tukmu. Kamu hur di dunia dan di akhirat."

Hur sang manusia bijak dan pemberani itu kemudian menghembuskan nafas terakhir. Dan kini giliran Mash'ab, saudara Hur, yang meminta izin kepada Imam Husain as untuk berbuat seperti Hur. Imam mengizinkan dan Mash'ab pun menantang musuh untuk berduel. Setelah tak seorangpun dari pihak musuh yang berani berduel, Mash'ab memulai serangannya dengan mengo brak-abrik barisan musuh. Seperti Hur, Mash'ab juga ahli perang. Pedang Mash'ab berkelebat ke sana kemari dan mengimbas siapapun yang ada di dekatnya. Korbannya berjatuhan. Namun, apalah artinya seo rang Hur dan Mash'ab di depan lautan pasukan hypocrite itu. Tubuh Mash'ab akhirnya menerima tikaman-tikaman senjata musuh setelah tubuhnya lemas kehabi san tenaga. Mash'abpun roboh menyusul saudara dan kemenakannya sete lah berusaha menggunakan sisa-sisa tenaganya untuk mendekati junjungan nya, Imam Husain as. Dia mengakhiri kehidupannya di alam fana ini setelah mengucapkan kata-kata: "Salam atasmu wahai putera Rasul." Imam pun menjawab: "Salam pula atasmu, dan kami akan menyusulmu." Setelah itu be liau membacakan ayat suci AlQuran :
"Diantara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka diantara mere ka ada yang gugur. Dan diantara mereka ada (pula) yang menung gu-nunggu dan mere ka sedikitpun tidak mengubah (janjinya)."

Gugurnya beberapa orang bekas pasukan musuh itu kemudian disusul de ngan terjunnya para sahabat Imam Husain as ke medan pertempuran. Me reka berguguran satu persatu setelah masing-masing berhasil merenggut ajal beberapa orang dari serdadu musuh. Diantara para sahabat setia itu adalah Muslim bin Ausajah, pemuda gagah berani yang berhasil membinasakan sejumlah besar pasukan musuh. Sebelum menemui ajalnya, pemuda ini sem pat mengucapkan kata-kata indah kepada junjungannya, Imam Husain as.

“Wahai Putera Rasul!” Ucap Muslim. “Aku akan pergi untuk memberikan be rita gembira kepada kakek dan ayahmu tentang ketibaanmu.” Arwah Mus lim bin Ausajah terbang meninggalkan jasadnya yang fana setelah ucapan itu tuntas. Kematian Muslim itu kebetulan juga disaksikan anaknya. Darah sang anak mendidih menyaksikan kematian ayahnya dalam keadaan ber simbah darah. Dia segera menungangi kuda untuk memacunya ke arah pa sukan musuh dan melancarkan serangan. Namun, gerakan itu dicegah oleh Imam Husain as. “Hai pemuda!” Panggil beliau. “Ayahmu telah gugur. Jika ka mu juga gugur, siapakah nanti yang akan melindungi ibumu?”

Putera Muslim lantas bergerak mundur. Namun, tiba-tiba ibu putera Muslim itu mencegahnya sendiri. “Apakah kamu lebih mementing kan kehidupan di du nia ini daripada kebersamaan dengan Putera Rasul? Kalau begitu, aku tidak pernah rela kepadamu.”

Mendengar kata-kata itu, putera Muslim bin Ausajah segera menarik tali kendali dan memacu kudanya ke medan pertempuran. Gerakan itu diiringi suara ibunya dari belakang: “Bergembiralah anakku, tak lama lagi kamu akan meneguk air telaga Al-Kautsar!” Suara ini rupanya menambah sema ngat putera Muslim sehingga tarian-tarian pedangnya berhasil memanen nyawa tak kurang dari 30 tentara musuh. Pemuda itu kemudian tersungkur dalam keadaan penuh luka. Kepalanya kemudian dipenggal dan dilempar ke dekat ibunya. Sang ibu segera mendekap dan menciuminya di depan beberapa pasang mata pengikut Imam Husain yang berlinang menyaksikan adegan tragis dan mengharukan itu.

Diriwayatkan pula bahwa saat kecamuk perang berlanjut hingga per te ngahan hari Asyura, sahabat Imam yang bernama Abu Tsamamah Asshai dawi datang mendekati beliau sambil berkata: “Walaupun aku tahu musuh tidak akan memberi kesempatan, tetapi demi Allah, jangan sampai engkau terbunuh sebelum aku, wahai Putera Rasul. Walau demikian, aku ingin meng hadap Allah dan kini aku ingin mendirikan shalat di belakangmu karena wak tu dhuhur telah tiba.”

Wajah Imam Husain as menatap ke langit dan berucap: “Kamu telah mengi ngatkanku kepada shalat. Semoga Allah memasukkanmu ke dalam golo ngan orang-orang yang shalat dan ingat kepada-Nya. Mintalah kesempatan kepada musuh untuk kita tunaikan shalat.”

Adalah Habib bin Madhahir yang menyampaikan permintaan Imam Husain itu kepada pihak musuh. Habib sendiri adalah orang yang pernah hidup menyaksikan Rasul serta termasuk sahabat dekat Imam Ali as, dan kini dia memendam kesetian yang luar biasa kepada Imam Husain as. Karenanya, dia termasuk orang yang gigih menyerukan ke pada masyarakat kufah agar membaiat Muslim Bin Aqil yang datang mewakili Imam Husain as.

Dikisahkan bahwa setelah Habib menyampaikan permohonan terse but, Hisshin bin Tamim, salah seorang komandan pasukan musuh ber teriak: “Hai Husain, shalatlah sesuka hatimu, tapi ketahuilah shalat mu itu tidak akan dite rima.”
Habib menjawab: “Hai si tukang mabok, apa mungkin Allah meneri mamu tetapi menolak putera Rasul?!” Hisshin merasa dihina sehing ga naik pitam. Tanpa basa-basi lagi dia segera menyerang Habib. Habib berusaha me nangkis, menghindari serangan, dan membalas serangan sehingga terjadilah duel satu lawan satu. Setelah duel bertahan beberapa lama, Habib berhasil mengungguli Hisshin. Pen tolan pasukan bejat ini terlempar dari kudanya, te tapi kemudian dito long dan dilindungi oleh anak buahnya.

Habib lantas menghantamkan pedangnya ke arah beberapa pasukan mu suh mengakibatkan sejumlah orang dari mereka tewas. Namun, saat Habib kecapaian dalam bertahan dan menyerang, hantaman pedang musuh lolos dari tangkisannya dan langsung mendarat di bagian kepalanya. Habib ter jerembab dari atas kuda. Dalam keadaan lunglai, Habib mencoba bangkit bertahan. Namun, berdirinya Habib segera disusul dengan ayunan pedang Hisshin yang menghantam kepala Habib lagi. Sahabat setia Imam Husain as ini roboh dalam kondisi mengenaskan. Tak puas dengan itu, Hisshin datang la gi dan memenggal kepada Habib hingga terpisah dari jasadnya.

Kejadian ini menimbulkan sedikit percekcokan antara beberapa orang yang mengeroyok Hisshin. Mereka satu dengan yang lain saling ber bangga seba gai orang yang paling berjasa membunuh Habib. Tetapi mereka kemudian sepakat menyerahkan kepala Habib kepada Hisshin dan menggantungnya ke leher kuda Hisshin. Kepala manusia mulia dipertontonkan ke sana kemari oleh Hisshin, dan Hisshin pun mendapat imbalan dari atasannya.

Periwayat juga menceritakan, di medan pertempuran Habib bin Madhahir sempat menyerukan kata-kata lantang kepada musuh :
"Hai manusia-manusia yang paling bejat! Demi Allah, seandainya jumlah ba latentara kami setara dengan jumlah kalian atau setidaknya separoh dari jumlah kalian, niscaya kalian akan lari tunggang-lang gang."

Kematian Habib bin Madhahir membuat Imam Husain as tak kuasa menahan haru. Wajah beliau tampak sangat berduka menyaksikan gugurnya peme gang tiang bendera sayap kiri pasukan beliau. Ke pergian Habib ke alam ba ka diiring kata-kata beliau: "Pahala Allah un tukmu, hai Habib! Engkau adalah manusia penuh keutamaan dimana dalam satu malam engkau mengkha tamkan AlQuran."

Imam Husain as kemudian memerintahkan Zuhair bin Al-Qain, Said bin Ab dullah untuk berbaris di depan Imam Husain bersama separuh pasukan be liau yang masih tersisa untuk mengawal shalat beliau bersama separuh pasukan dan pengikut Imam Husain as lainnya, karena pasukan musuh nam pak tidak mengizinkan beliau shalat.

Kekejaman musuh keluarga Nabi saww itu ternyata tak kenal waktu. Said bin Abdullah yang berdiri tepat di depan Imam Husain as menja di sasaran be berapa anak panah. Tak urung, pria pemberani ini gugur setelah menjadi pe risai hidup Imam Husain as. Dia roboh tepat di de pan mata junjungannya yang suci itu. "Ya Allah, laknatlah golongan (musuh) itu seperti (laknat-Mu ter hadap) kaum 'Aad dan Tsamud." Ucap Imam Husain as.

Pembantaian terhadap Said hingga gugur itu tidak dilanjutkan musuh se hingga Imam Husain as melanjutkan shalat hingga tuntas. Seusai shalat, Imam kembali menyiramkan semangat jihad kepada para pengikutnya. Be liau antara lain berkata:
"Pintu-pintu surga telah terbuka, angkasanya cerah, buah-buahan nya telah matang, istana-istananya sudah berhias, anak-anak dan para bidadarinya sudah berkumpul. Rasulullah dan para syuhada yang gugur bersamanya serta ayah dan ibuku sedang menantikan kedatangan kalian. Mereka mengucapkan selamat kepada kalian. Mereka merindukan kalian".
"Belalah agama kalian! Belalah kehormatan Rasulullah, imam kalian, dan pu tera dari puteri Nabi kalian sebab kalian sebenarnya sedang diuji dengan ke beradaan kami. Kalian ada di sisi kakek kami dan kalian akan menjadi ma nusia mulia di sisi kami. Maka ber jihadlah kalian, niscaya Allah akan memba las kalian dengan kebaikan." (Siapapun yang mendengar seruan ini tidak a da manusia yang tidak mau ikut bersama Imam Hussein kecuali orang-orang yang telah tertutup matahatinya disebabkan ‘penyakit’ fanatikbuta, hsndw sp)

Para sahabat Imam Husain as tak kuasa menahan gejolak dan koba ran se mangat sekaligus rasa haru mendengar kata-kata beliau. Mere ka menangis tersedu-sedu, dan sebagian menjerit histeris. Diantara mereka ada berseru mewakili yang lain.
"Demi Allah." Seru seseorang dari mereka. "Selagi hayat masih di kandung ba dan, jasad kami siap menantang hujaman pedang dan serbuan anak panah agar tak seorangpun dapat menyakitimu sedikitpun, agar kami dapat men jauhkanmu dari barisan musuh yang datang menyerang hingga kami akhir nya meneguk kematian. Kebaikan yang dicari oleh seseorang hari ini akan lah kekal pada esok hari…"

Para pahlawan Karbala itu akhirnya terjun ke medan laga dan bahu mem bahu membela junjungannya dari kebejatan kaum zalim. Selagi tenaga ma sih tersisa mereka tak membiarkan siapapun untuk menja mah kehormatan cucu Rasul itu. Bahkan para pengikut Imam Husain as dari kalangan non- Bani Hasyim tidak membiarkan seorangpun dari Bani Hasyim yang terjun ke medan laga melawan musuh sebelum mereka sendiri yang maju. Kehidupan mereka di alam fana ini satu persatu redup. Arwah mereka terbang susul me nyusul.

Zuhair bin Al Qain adalah salah satu dari mereka. Selain pemberani, dia juga termasuk salah satu pemuka kabilahnya. Tak sedikit pepe rangan yang pernah dialaminya. Karena itu, kepadanyalah Imam Husain as menyerahkan tongkat komando sayap kanan. Banyak kor ban dari pihak musuh yang jatuh bergelimpangan akibat kehebatan nya dalam bertempur. Siapapun yang berhadapan dengannya pasti akan tersungkur. Karena itu tak sembarang orang yang berani berha dapan dengannya kalau tidak ingin segera dikirimnya ke neraka. Se mua pasukan musuh baru berani menghadapinya saat dia sudah tam pak letih menerjang musuh yang terus mengerubunginya. Saat itulah, seseorang dari pihak musuh yang bernama Katsir bin Abdullah berani menyerangnya. Itupun dengan bantuan temannya, Muhajir bin Us. Serangan kedua orang inilah yang akhirnya merobohkan Zuhair. Ro bohnya pendekar beriman ini diiringi ucapan Imam Husain:
"Allah merahmatimu, hai Zuhair. Pembunuhmu akan mendapat lak nat seba gaimana laknat atas orang-orang yang dikutuk menjadi kera dan babi."

Satu lagi diantara pasukan Imam Husain as yang gugur di sahara Karbala yang tandus itu adalah Jaun, lelaki berkulit hitam. Dia adalah budak Abu Dzar yang sudah dibebaskan. Dia adalah termasuk orang yang meminta sendiri kepada Imam untuk turut serta dalam rombo ngan beliau dengan resiko apapun, termasuk berjihad melawan musuh. Menjawab permintaan ini Imam Husain as berkata: "Dulu selagi sehat kamu selalu bersama kami, dan sekarang terserah kamu kemanapun kamu hendak pergi."

Jaun berkata: "Hai Putera Rasul, dulu aku bersamamu di saat keada an se dang baik dan menggembirakan. Kini, apakah adil jika aku membiarkanmu sendirian dalam kesulitan?! Demi Allah, bau tubuh ku tidak sedap, aku lahir dari keturunan yang hina, dan warna kulit ku hitam. Namun, apakah engkau tidak rela jika aku menjadi peng huni surga sehingga aroma tubuhku harum semerbak, jasmaniku tampak mulia, dan wajahnya putih?! Tidak, demi Allah aku tidak ingin berpisah denganmu sampai darahku yang kelam ini melebur dengan darahmu."

Dengan restu Imam Husain as di Karbala, bekas budak itu ikut berjuang mela wan musuh. Seperti rekan-rekannya yang lain, dia juga berhasil merenggut nyawa beberapa orang dari balatentara musuh sebelum tubuhnya yang hitam itu akhirnya menjadi onggokan tanpa nyawa di tanah Karbala. Dia berhasil menggapai impiannya membela keluarga Rasul untuk kemudian ber gabung dengan mereka sebagai para 'bangsawan' di alam surga.

Demikianlah, para pahlawan pembela Islam dan Ahlul Bait suci itu bergugu ran satu persatu. Darahnya telah menyiramkan cahaya spiritual yang terang benderang di bumi Karbala, bumi duka nestapa. Jasad-jasad mereka yang fana memang sudah tergolek tanpa nyawa seperti yang diharapkan musuh. Namun, jejak-jejak spiritual mereka akan tetap abadi dan tidak akan pernah sirna untuk selamanya.



BAB 11
BANJIR DARAH HARI ASYURA

Untuk sementara kalangan, hari Asyura saat itu adalah hari jihad, pengorba nan, dan perjuangan menegakkan kebenaran. Namun, untuk kalangan lain, hari itu adalah hari pesta darah, hari perang, dan hari penumpahan ambisi-ambisi duniawi. Akibatnya, terjadilah banjir darah para pahlawan Karbala yang terdiri anak keturunan Rasul dan para pecintanya.

Hari itu tanah Karbala sedang diguyur sengatan terik mentari yang menge ringkan tenggorokan para pahlawan Karbala. Hari itu, para pejuang Islam sejati itu satu persatu bergelimpangan meninggalkan sanjungan sejatinya, Husain putera Fatimah binti Muhammad saww. Bintang kejora Ahlul Bait Rasul ini akhirnya menatap pemandangan sekelilingnya. Wajah-wajah setia pecin ta keluarga suci Nabi itu sudah tiada. Dari para pejuang gagah berani itu yang ada hanyalah onggo kan jasad tanpa nyawa. Putera Amirul Mukminin sejati itu melantunkan kata mutiaranya:
"Akulah putera Ali dari Bani Hasyim, dan cukuplah kiranya ini menjadi ke banggaan bagiku. Fatimah adalah ibundaku, dan Muhammad adalah kakek ku. Dengan perantara kamilah Allah menunjukkan kebenaran dari kesesa tan. Kamilah pelita-pelita Allah yang menerangi muka bumi. Kamilah pemilik telaga Al-Kautsar yang akan memberi minum para pecinta kami dengan cawan-cawan Rasulullah. Tidak seorangpun dapat mengingkari kedudukan kami ini".

"Para pengikut kami adalah umat yang paling mulia di tengah makhluk, dan musuh-musuh kami adalah orang paling rugi pada hari kiamat. Beruntunglah hamba-hamba yang dapat berkunjung kepada kami di surga setelah kema tian, surga yang keindahannya tak kunjung habis untuk disifati."

Hari Asyura adalah hari pementasan duka nestapa Ahlul Bait Rasul, hari rinti han sunyi putera Fatimah, hari keterasingan putera Azzahra, hari kehausan dan jerit tangis anak keturunan Nabi. "Adakah sang penolong yang akan menolong kami? Adakah sang pelindung yang akan melindungi kami? Adakah sang pembela yang akan menjaga kehormatan Rasulullah?" Pinta putera Imam Ali bin Abi Thalib as itu kepada ummat kakeknya, Muhammad saww.

Rintih pinta cucu Rasul itu tak dijawab kecuali oleh beberapa pemuda Bani Hasyim yaitu keluarga, kaum kerabat dan pengikut beliau yang masih tersisa. Diantara mereka adalah Ali Akbar, putera beliau sendiri. Ali Akbar meminta izin sang ayah untuk maju melawan musuh. Sang ayah mendapati wajah anaknya itu dibinari cahaya spiritual yang amat cemerlang, mengingatkan beliau pada wajah Rasul. Wajah memohon itu direstui tatapan bisu sang ayah. Hanya linangan air mata dan tak sepatah katapun terucap sebagai kata perpisahan untuk pemuda ksatria itu di alam fana. Demi tujuan sebuah yang agung, Imam Husain as itu harus rela mengorbankan jiwa dan raga putera yang sangat dikasihinya.

Demikianlah, Imam Husain as akhirnya mempersembahkan putera tercinta nya, Ali Akbar, sebagai pejuang pertama Bani Hasyim di Karbala. Dalam per tempurannya, Ali Akbar selalu beliau perhatikan dengan seksama dan pe nuh ketabahan. Dalam keadaan berlinang air mata, imam Husain as beru cap:
"Ya Allah, saksikanlah seorang remaja yang paras, perangai, dan tutur kata nya paling menyerupai rasul-Mu kini telah tampil berju ang melawan kaum itu. Kepada wajah remaja inilah kami meman dang jika kami sedang merin dukan rasul-Mu."

Imam Husain as kemudian berseru kepada Umar bin Sa'ad:
"Hai putera Sa'ad semoga Allah memutuskan hubungan kekeluargaanmu se bagaimana kamu telah memutuskan hubungan kekeluargaanku."

Ali Akbar bin Husain as sudah ada di medan laga. Tanpa di duga pasukan musuh, mereka tercengang menyaksikan kepiawaian Ali Akbar dalam berpe rang. Gerakan dan ketangkasannya dalam bertem pur mengingatkan me reka kepada Haidar Al-Karrar alias Imam Ali bin Abi Thalib as yang tenar de ngan Singa Allah. Tak sedikit pasukan musuh yang mati menjadi mangsa sam baran pedang Ali Akbar. Na mun, saat tenaganya sudah terkuras dan jumlah musuh seakan tak berkurang, Ali Akbar sempat mendatangi sang ayah dan berkata: "Ayah, aku tercekik kehausan sehingga (senjata) besipun kini mem beratkanku. .."
Imam Husain as menjawab:
"Tabahkan dirimu, hai puteraku tercinta. Sesungguhnya Rasulullah tak lama la gi akan memberimu minum yang akan membuatmu tidak akan pernah lagi merasa kehausan."

Remaja berhati baja itu akhirnya kembali lagi ke medan laga. Namun, kea daannya yang sudah nyaris tanpa daya itu segera dimanfaatkan musuh untuk menghabisi riwayatnya. Maka dari itu, kedatangannya disambut de ngan hantaman pedang tepat mengena di bagian atas kepala Ali Akbar. Darahnya yang mengucur segera disusul dengan sambaran anak panah yang menusuk tubuhnya secara bertubi-tubi. Dalam kondisi fisik yang me ngenaskan itu, bibir Ali Akbar mengucapkan kata-kata yang dimaksudkan kepada ayahnya:
"Sekarang aku sudah melihat kakekku yang sedang membawa cawan yang beliau persiapkan untukmu."

Ali Akbar lalu tergolek di atas kudanya yang berputar-putar ke sana kemari setelah kehilangan kendali di tengah riuhnya suasana perang. Tubunnya yang sudah mengenaskan itu masih sempat dihantam senjata dan dipanah lagi saat kuda yang tak terkendali itu bergerak di sekitar pasukan musuh. Di saat-saat itulah, sambil memanfaatkan sisa-sisa tenaga dan nafasnya, Ali Ak bar berucap lagi:

"Salam atasmu wahai ayahku, sekarang aku sudah menyaksikan kakekku Rasulullah. Beliau menyampaikan salam kepadamu dan bersabda: 'Cepat lah datang kepada kami!'"

Kata-kata yang didengar Imam Husain as ini segera disambut dengan kata-kata lantang beliau:
"Allah akan membinasakan kaum yang telah membunuhmu!"
"Hai orang-orang Kufah, aku berharap mata kalian kelak akan dipedihkan o leh tangisan, dada kalian akan dibebani rintihan untuk selamanya, dan Allah tidak memberkati kalian, dan Dia akan men cerai beraikan kumpulan kali an."

Setelah memekikkan kutukan ini, Imam Husain as maju sendiri ke medan pe rang menerobos dan membubarkan barisan depan musuh. Beliau mendekati kuda Ali Akbar dan menggiringnya ke tempat yang aman lalu menurunkan tubuh penuh luka dan bermandi darah puteranya itu dari kuda. Tubuh suci direbahkan dalam pelukan hangat beliau. Di situ dada Ali Akbar ternyata masih bergerak. Setelah kelopak matanya terbuka perlahan, bibirnya beru cap:
"Ayahku yang mulia, aku sudah melihat pintu-pintu langit terbuka, para bida dari di surga sedang berkumpul sambil membawa cawan-cawan minuman dan memanggil-manggil diriku. Sekarang aku akan pergi ke sana dan mem binarkan wajah mereka yang merindukan kedatanganku itu…"

(hsndwsp: "Mata hati siapakah yang tidak akan terbuka untuk memikirkan kebenaran para Imam dan pengikut setianya, kecuali mata hati kaum fana tikbuta"

Ruh Ali Akbar melayang setelah jasadnya menghembus nafas terakhir. Ke pergiannya ke alam keabadian diantar ayahandanya yang mulia itu de ngan kata-kata:
"Adalah sesuatu yang berat bagi kakekmu, pamanmu, dan ayahmu untuk tidak memenuhi permohonanmu".

Imam Husain as membawa jasadnya yang penuh luka bacokan dan menjadi sarang anak panah itu ke arah perkemahan. Hazrat Zainab segera keluar dari dalam tenda dan menyambut jasad itu dengan jerit tangis dan ratapan. Jasad itu dipeluknya erat sambil meratap: "Oh kemenakanku. Oh putera kesayangku." Imam Husain as mengantarkan adiknya itu ke dalam kemah orang-orang perempuan lagi lalu kembali memeluk jasad Ali Akbar sambil berucap:
"Puteraku, engkau sudah beristirahat dari kegundahan dan kegeti ran hidup di dunia. Kini tinggallah ayahmu seorang diri."

Imam Husain as lantas memerintahkan para pemuda Bani Hasyim untuk membawa jasad suci yang tercabik-cabik itu ke dalam tenda tempat jasad para syuhada dikumpulkan. Jasad putera kesayangan Imam itu diusung diiringi dengan kata-kata beliau berkali-kali:
"Innaa lillaahi wa innaa ilahi raaji'uun."

Dengan hati pilu putera Ali bin Abi Thalib as ini berkata dengan nada tinggi kepada Umar bin Sa'ad:
"Tahukah kamu apa yang akan terjadi nanti denganmu? Allah pasti akan membinasakan keluarga dan keturunanmu sebagaimana kamu membinasa kan keluargaku, sebagaimana kamu tidak mengindahkan kekerabatanku dengan Rasulullah. Allah tidak akan mem berkahimu. Allah akan menguasa kan atasmu seseorang yang akan memenggal kepalamu di atas tempat tidurmu!"

Satu lagi diantara ksatria Karbala dari kerabat Rasul yang berdiri teguh melawan badai bencana dengan segala jiwa dan raga ialah Abdullah bin Muslim bin Aqil. Dia termasuk prajurit yang meminta sendiri kepada Imam Husain as untuk angkat pedang melawan musuh. Imam menjawab:
"Masih belum lama ayahmu Muslim gugur sebagai syahid. Aku akan mengi zinkanmu berperang jika kamu membawa ibumu yang sudah tua itu keluar dari suasana pertempuran ini."
Abdullah bin Muslim menjawab:
"Ibuku pasti siap berkorban untukmu, dan aku sendiri bukanlah orang yang mengutamakan kehidupan di dunia daripada kehidupan yang abadi di akhi rat. Aku memohon restumu untuk mengorban jiwaku di jalanmu."

Sang Imam suci dan agung itupun kemudian merestuinya. Maka, dengan jiwa yang besar dan tak kenal kata gentar, Abdullah maju ke medan laga dengan tatapan yang tajam ke arah musuh yang bergerombol bak srigala kelaparan. Di tengah kerumunan manusia-manusia srigala padang pasir itu, Abdullah bin Muslim mengamuk bak singa sahara. Pedangnya berkelebat-kelebat memangkas nyawa manusia-manusia tak berperasaan dari Kufah itu. Beberapa serdadu bergelimpang diterjang keperkasaan Abdullah yang mewarisi darah kependekaran ayahnya, sebelum kemudian dia sendiri tak berdaya melawan prajurit iblis yang menyemut itu. Putera Muslim bin Aqil ini gugur di tangan Amr bin Sabih Assaidawi dan Asad bin Malik.

Berakhirnya legenda kependekaran Abdullah disusul dengan tampilnya satu lagi putera Muslim, Muhammad. Sebagaimana Abdullah, Muhammad juga meneguk manisnya derajat syahadah di bumi gersang Karbala itu.

Dikisahkan pula dalam sejarah bahwa di hari yang paling na'as untuk anak keturunan dan kerabat suci Rasul itu, Hazrat Zainab Al-Kubra as sempat mengenakan baju baru kepada kedua puteranya, Muham mad dan 'Aun, sebelum kemudian menyerahkan pedang kepada mereka sambil menahan jerit hati yang pilu di dalam hati. Dengan linangan air mata, wanita suci, pemberani, dan mulia ini meminta restu kepada kakaknya supaya kedua puteranya itu ikut memper sembahkan jiwa dan raganya di jalan Allah. Imam Husain as tadinya masih ingin menahan keberadaan kedua putera itu. Namun, keingi nan itu luluh setelah Hazrat Zainab tetap mendesak beliau supaya mengizinkan kepergian mereka. Imam lantas merestui kepergian ke dua kemenakan yang dikasihinya itu.

Yang maju terlebih dahulu adalah Muhammad bin Abdullah bin Jakfar. Se perti syuhada sebelumnya, Muhammad jatuh dan gugur se telah menghabisi ajal sejumlah serdadu musuh. Setelah itu baru me nyusullah 'Aun bin Abdullah bin Jakfar. Dalam keadaan bertahan dan menyerang pasukan musuh, dia mencoba mendekati jasad saudaranya yang sudah tak bernyawa itu lalu berkata: "Saudaraku, nantikan aku yang tak lama lagi akan menyusulmu."
Benar, tak lama setelah itu 'Aun menyusul kepergian saudaranya ke alam keabadian setelah tubuhnya mendapat serangan telak dari seseorang Abdullah bin Qathanah. Arwah kedua putera Hazrat Zainab itu terbang tinggi bak dua merpati menuju kerimbunan taman-taman surgawi.

Diriwayatkan pula bahwa dua kakak beradik dari putera-putera Mus lim bin Aqil juga tampil ke medan laga. Mereka adalah Abdurrahman bin Aqil dan Jakfar bin Aqil. Kedua tampil untuk mempersembahkan jiwa dan raganya di jalan yang hak. Keduanya kemudian disusul lagi oleh Muhammad bin Abi Said bin Aqil yang juga tampil dengan lang kah mantap untuk menerjang pasukan iblis hingga titik darah pengha bisan, titik darah yang terukir abadi dalam prasasti sejarah heroisme dan duka nestapa perjuangan Ahlul Bait Nabi demi tegaknya agama Muhammad saww.

Insya Allah, bersambung.......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar