JADILAH
DIRIMU SEBAGAI HUSSEIN ATAU ZAINAB KUBRA
KALAU
TIDAK
BERARTI
ANDA YAZID
TIDAK
ADA ALTERNATIF LAINNYA
hsndwsp
Acheh
- Sumatra
di
Ujung
Dunia
BAB
10
DIMULAINYA
PERANG TAK SEIMBANG
Gugurnya
Qasim di medan jihad tak urung disambut dengan jerit tangis histe ris isteri
yang baru saja dinikahinya. Ratapan histeris juga datang dari ibu Qasim. Mereka
melumuri wajah mereka dengan darah suci Qasim sambil menangis tanpa henti
hingga kemudian dengan hati pilu Imam Husain as meminta mereka untuk tabah
didepan cobaan yang amat besar ini. Beliau kemudian membawa jenazah suci Qasim
ke dalam tenda yang khusus untuk dibaringkan di sisi jenazah para syuhada
sebelum Qasim. Dengan wajah yang tak dapat membendung luapan duka, beliau
menatap ke arah langit dan berucap:
(hsndwsp:
bung Usman! Ibu Qasim ini isteri Imam Hassan. Berapa orang isteri Imam Hassan?
“Ya Allah Yang Maha
Kuat lagi Maha Perkasa, Engkau tahu bahwa orang-orang (Kufah) itu telah
mengundangku untuk mendukungku. Namun seka rang mereka telah melepaskan tangan
dariku kemudian menjabat tangan musuhku. Mereka membantu musuh dan bangkit
memerangiku. Ya Allah Yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana, binasa kanlah mereka,
cerai-beraikan mereka hingga tidak ada lagi satupun diantara mereka yang
tersisa."
“Laknat Allah atas
para pembunuh kalian (para syuhada).”
(hsndwsp:
Dulu saya pelajari dari Sunni tidakboleh berdo’a yang tidak baik se perti sa at
Rasulullah mendapat malapetaka di perang Uhud. Ternyata beta pa banyaknyan
kepalsuan yang dibuat Sunni.)
Pasukan dari pihak
yang hak dan pihak yang batil akhirnya bergerak maju dalam posisi frontal. Dari
pihak Imam Husain as, nampak wajah-wajah cemerlang dan berbinar seakan tak
sabar lagi untuk berjumpa dengan Yang Maha Kuasa. Mereka siap terbang bahu
membahu dan berlomba menuju alam keabadian di sisi Al-Khalik dengan kepakan
sayap-sayap imannya yang lebar. Dengan jiwa yang membaja mereka siap mengarungi
lautan darah membela kehormatan dan cita-cita mulia Al-Husain as, bintang
kejora dari keluarga suci Rasulullah. Jiwa mereka yang sudah terpatri dalam
semangat altruisme telah siap menyongsong kematian yang suci dan sakral sebelum
Imam Husain as sendiri meneguk puncak kemuliaan derajat syahadah.
Saat bayangan
kecamuk perang sudah nampak di depan mata itu, Hur da tang mendekati Imam
Husain sambil berkata:
"Hai Putera
Rasul, saat Ubaidillah menggiringku untuk memerangimu, dan lalu aku keluar dari
Darul Imarah aku mendengar suara lapat-lapat dari bela kang mengatakan: 'Berita
gembira tentang kebaikan untukmu, Hai Hur.' Saat aku berpaling ke belakang, aku
tak melihat satu orangpun sehingga aku lan tas berkata dalam hati bahwa demi
Allah ini bukanlah berita gembira karena aku akan pergi untuk memerangi putera
Rasul, dan aku tadinya tak pernah berpikir bahwa suatu saat nanti aku akan
bertaubat. Baru sekarang aku me nyadari bahwa itu memang berita gembira.
"Hai Husain,
aku adalah orang pertama yang berani menghadangmu. Kare na itu sekarang
perkenankan aku untuk menjadi orang pertama yang akan berkorban untukmu agar di
hari kiamat kelak aku bisa menjadi orang per tama yang dapat berjabat tangan
dengan Rasulullah saww."
Imam Husain as
mengizinkan permohonan Hur untuk maju sebagai orang pertama untuk berjihad. Hur
pun maju dengan gagah berani. Saat berha dapan dengan barisan pasukan musuh
yang berjumlah besar itu, dia berte riak lantang:
"Hai
orang-orang Kufah, laknat untuk kalian dan ibu yang melahirkan kalian.
Kalianlah yang mengundang hamba salih Allah ini untuk mendatangi kalian tetapi
kemudian melupakan begitu saja janji yang pernah kalian nyatakan. Kalian
sekarang malah mengepungnya. Kalian telah memjadikan bumi Allah yang luas ini
sempit baginya sehingga tak ada lagi tempat yang aman bagi dia dan keluarganya.
Kini mereka menderita bagai orang-orang tawanan. Kalian mencegah mereka untuk
meneguk air sungai El Frat sementara kalian membiar kan binatang-binatang liar
meminumnya. Betapa celakanya pera ngai kalian terhadap anak keturanan Rasul. Di
hari kiamat Allah pasti akan membiarkan kalian tercekik kehausan..."
Kata-kata Hur
kembali menyengat telinga pasukan dari Kufah terse but. Tak tak tahan digedor
emosi, mereka menyerang Hur. Sambil melawan dan mengayun-ayunkan pedangnya Hur
berteriak-teriak lagi:
"Rumahku
selalu menjadi tempat singgahnya para tamu dan aku tahu adat menghormarti tamu.
Namun, untuk membela para tamu yang lebih mulia da ripada para tamu Allah di
Makkah dan Mina ini pedangku tak akan segan-se gan membabat siapa saja. Akulah
orang yang tumbuh besar di tengah kelua rga pemberani dan aku mewarisi
mereka."
Selama melakukan
perlawanan dan serangan di tengah pasukan musuh yang mengerubunginya, Hur
sempat melihat anaknya yang juga termasuk satu diantara ribuan pasukan musuh.
Hur meminta puteranya yang bernama Ali itu supaya bertobat, dan usaha Hur itu
berhasil sebelum manusia yang terbebas dari angkara murka ini gugur sebagai
syahid.
Dalam riwayat
disebutkan bahwa saat melihat anaknya, Hur berkata:
"Puteraku,
kini sudah tiba saatnya bagimu untuk mempertonton kan keberani anmu di jalan
putera Rasulullah hingga kamu gugur." Kata-kata sang ayah se gera membuat
anaknya sadar. Putera bernama Ali dari keluarga pemberani itu segera
menari-narikan pedangnya untuk membabat siapa saja dari pasu kan musuh yang ada
di dekatnya. Tak kurang dari 24 pasukan musuh mati terkapar akibat sabetan
pedangnya sebelum dia sendiri kehabisan tenaga dan gugur dibantai musuh.
Saat menyaksikan
anaknya tersungkur ke tanah tanpa nyawa, Hur memanjat kan puji syukur untuk
anaknya: "Segala puji bagi Allah yang telah menganu gerahi- Mu dengan
syahadah di sisi putera dari puteri Rasulullah."
Hur kemudian
bergegas lagi menghadapi pasukan musuh. Saat itu dia me lihat saudaranya yang
bernama Mash'ab yang bergerak mendekatinya. Pasukan Umar bin Sa'ad segera
menduga akan terjadi duel antara kakak dan adik. Mereka menyoraki keduanya.
Namun, ketika berhadapan dengan Hur, Mash'ab tiba-tiba berkata:
"Aku ucapkan
selamat kepadamu yang telah berhasil membebaskan diri dari kesesatan dan
mendapatkan hidayah. Sekarang bawalah aku ke hada pan Imam Husain agar taubatku
diterima."
Hur lantas
membawanya menghadap Imam Husain dan memperkenalkan nya kepada beliau. Mash'abpun
bertaubat dan masuk ke dalam barisan pe ngikut Imam Husain as. Umar bin Sa'ad
semakin naik pitam melihat ulah dua orang kakak beradik itu. Dia segera memerintahkan
Sofwan bin Handalah, orang yang dikenal jagoan di Kufah, untuk menghabisi Hur
jika Hur memanan tang duel.
Maka, begitu Hur
memacu kudanya ke arena pertempuran, Sofwan segera menghadangnya sambil berteriak:
"Hai
Hur, betapa keparatnya perbuatanmu. Kamu berpaling dari kha lifah Yazid dan
menyebrang ke kelompok Husain."
Hur menjawab:
"Setahuku kamu
adalah lelaki yang pintar, tetapi sekarang aku heran menga pa kamu sampai
mengeluarkan kata-kata seperti ini. Kamu memintaku supa ya meninggalkan Husain
lalu memilih bergabung dengan Yazid, si tukang ma buk dan penzina itu?!"
Mendapati jawaban
seperti ini, tanpa basa-basi lagi Sofwan menghunus pedang dan mengayunkannya ke
arah tubuh Hur. Namun dengan tangkas nya Hur menangkis ayunan pedang jagoan
Kufah itu. Belum sempat melan carkan serangan lagi, Sofwan tiba-tiba mengerang
kesakitan begitu menda pat serangan balas dari Hur. Ketangkasannya ternyata tak
sehebat Hur. Da da Sofwan tertembus tombak yang dihunjamkan Hur. Sofwan sang jagoan itu roboh bersimbah darah.
Tiga saudara Sofwan geram menyaksikan pemandangan itu.
Hur
segera dikeroyok oleh mereka. Tapi ketiga orang itu ternyata tak ada artinya di
de pan kehebatan Hur yang baru saja menjadi komandan pasukan musuh itu.
Tiga-tiganya roboh menyusul Sofwan ke alam baka. Hur kemudian menan tang
orang-orang lain untuk duel. Tapi begitu tak seorang pun berani menja wab
tantangannya, Hur segera mendobrak barisan musuh. Barisan itupun ce rai-berai
dan Hur segera kembali lagi menghadap Imam Husain dengan wa jah ceria setelah
berhasil menambah jumlah korban tewas di pihak musuh. Begitulah seterusnya apa
yang dilakukan Hur hingga banyak korban yang berjatuhan akibat sabetan pedang
Hur.
Di lain pihak,
menyaksikan pasukannya kacau balau diterjang pen dekar ber nama Hur itu, Umar
bin Sa'ad segera memekikkan suara: "Hujani
dia dengan panah. Jangan biarkan dia lolos!"
Hujan panahpun
menyerbu tubuh sang pendekar bernama Hur itu. Dia tak kuasa menghalau serangan
selicik itu. Tubuhnya menjadi sarang beberapa anak panah beracun itu. Sebelum
tubuhnya roboh, para sahabat Imam Husain as maju menerjang musuh dan sebagian
lain membopong Hur yang dalam keadaan sekarat dan membawa ke hadapan Imam
Husain as. Imam kemudian mengusap wajah Hur sambil berucap:
"Kini telah
hur (bebas) sebagaimana nama yang diberikan ibumu un tukmu. Kamu hur di dunia
dan di akhirat."
Hur sang manusia
bijak dan pemberani itu kemudian menghembuskan nafas terakhir. Dan kini giliran
Mash'ab, saudara Hur, yang meminta izin kepada Imam Husain as untuk berbuat
seperti Hur. Imam mengizinkan dan Mash'ab pun menantang musuh untuk berduel.
Setelah tak seorangpun dari pihak musuh yang berani berduel, Mash'ab memulai
serangannya dengan mengo brak-abrik barisan musuh. Seperti Hur, Mash'ab juga
ahli perang. Pedang Mash'ab berkelebat ke sana kemari dan mengimbas siapapun
yang ada di dekatnya. Korbannya berjatuhan. Namun, apalah artinya seo rang Hur
dan Mash'ab di depan lautan pasukan hypocrite itu. Tubuh Mash'ab akhirnya
menerima tikaman-tikaman senjata musuh setelah tubuhnya lemas kehabi san
tenaga. Mash'abpun roboh menyusul saudara dan kemenakannya sete lah berusaha
menggunakan sisa-sisa tenaganya untuk mendekati junjungan nya, Imam Husain as.
Dia mengakhiri kehidupannya di alam fana ini setelah mengucapkan kata-kata:
"Salam atasmu wahai putera Rasul." Imam pun menjawab:
"Salam pula atasmu, dan kami akan menyusulmu." Setelah itu be
liau membacakan ayat suci AlQuran :
"Diantara
orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka
janjikan kepada Allah; maka diantara mere ka ada yang gugur. Dan diantara
mereka ada (pula) yang menung gu-nunggu dan mere ka sedikitpun tidak mengubah
(janjinya)."
Gugurnya beberapa
orang bekas pasukan musuh itu kemudian disusul de ngan terjunnya para sahabat
Imam Husain as ke medan pertempuran. Me reka berguguran satu persatu setelah
masing-masing berhasil merenggut ajal beberapa orang dari serdadu musuh.
Diantara para sahabat setia itu adalah Muslim bin Ausajah, pemuda gagah berani
yang berhasil membinasakan sejumlah besar pasukan musuh. Sebelum menemui
ajalnya, pemuda ini sem pat mengucapkan kata-kata indah kepada junjungannya,
Imam Husain as.
“Wahai Putera Rasul!” Ucap Muslim. “Aku akan pergi untuk memberikan be rita
gembira kepada kakek dan ayahmu tentang ketibaanmu.” Arwah Mus lim bin
Ausajah terbang meninggalkan jasadnya yang fana setelah ucapan itu tuntas. Kematian
Muslim itu kebetulan juga disaksikan anaknya. Darah sang anak mendidih
menyaksikan kematian ayahnya dalam keadaan ber simbah darah. Dia segera
menungangi kuda untuk memacunya ke arah pa sukan musuh dan melancarkan
serangan. Namun, gerakan itu dicegah oleh Imam Husain as. “Hai pemuda!” Panggil beliau.
“Ayahmu telah gugur. Jika ka mu juga gugur, siapakah nanti yang akan melindungi
ibumu?”
Putera Muslim
lantas bergerak mundur. Namun, tiba-tiba ibu putera Muslim itu mencegahnya sendiri. “Apakah
kamu lebih mementing kan kehidupan di du nia ini daripada kebersamaan dengan
Putera Rasul? Kalau begitu, aku tidak pernah rela kepadamu.”
Mendengar kata-kata
itu, putera Muslim bin Ausajah segera menarik tali kendali dan memacu kudanya
ke medan pertempuran. Gerakan itu diiringi suara ibunya dari belakang: “Bergembiralah
anakku, tak lama lagi kamu akan meneguk air telaga Al-Kautsar!” Suara
ini rupanya menambah sema ngat putera Muslim sehingga tarian-tarian pedangnya
berhasil memanen nyawa tak kurang dari 30 tentara musuh. Pemuda itu kemudian
tersungkur dalam keadaan penuh luka. Kepalanya kemudian dipenggal dan dilempar
ke dekat ibunya. Sang ibu segera mendekap dan menciuminya di depan beberapa
pasang mata pengikut Imam Husain yang berlinang menyaksikan adegan tragis dan
mengharukan itu.
Diriwayatkan pula
bahwa saat kecamuk perang berlanjut hingga per te ngahan hari Asyura, sahabat
Imam yang bernama Abu Tsamamah Asshai dawi datang mendekati beliau sambil
berkata: “Walaupun aku tahu musuh tidak akan memberi kesempatan, tetapi demi
Allah, jangan sampai engkau terbunuh sebelum aku, wahai Putera Rasul. Walau
demikian, aku ingin meng hadap Allah dan kini aku ingin mendirikan shalat di
belakangmu karena wak tu dhuhur telah tiba.”
Wajah Imam Husain
as menatap ke langit dan berucap: “Kamu telah mengi ngatkanku kepada shalat.
Semoga Allah memasukkanmu ke dalam golo ngan orang-orang yang shalat dan ingat
kepada-Nya. Mintalah kesempatan kepada musuh untuk kita tunaikan shalat.”
Adalah Habib bin
Madhahir yang menyampaikan permintaan Imam Husain itu kepada pihak musuh. Habib
sendiri adalah orang yang pernah hidup menyaksikan Rasul serta termasuk sahabat
dekat Imam Ali as, dan kini dia memendam kesetian yang luar biasa kepada Imam
Husain as. Karenanya, dia termasuk orang yang gigih menyerukan ke pada masyarakat
kufah agar membaiat Muslim Bin Aqil yang datang mewakili Imam Husain as.
Dikisahkan bahwa
setelah Habib menyampaikan permohonan terse but, Hisshin bin Tamim, salah
seorang komandan pasukan musuh ber teriak:
“Hai Husain, shalatlah sesuka hatimu, tapi ketahuilah shalat mu itu tidak akan
dite rima.”
Habib menjawab: “Hai
si tukang mabok, apa mungkin Allah meneri mamu tetapi menolak putera Rasul?!”
Hisshin merasa dihina sehing ga naik pitam. Tanpa basa-basi lagi dia segera
menyerang Habib. Habib berusaha me nangkis, menghindari serangan, dan membalas
serangan sehingga terjadilah duel satu lawan satu. Setelah duel bertahan
beberapa lama, Habib berhasil mengungguli Hisshin. Pen tolan pasukan bejat ini
terlempar dari kudanya, te tapi kemudian dito long dan dilindungi oleh anak
buahnya.
Habib lantas
menghantamkan pedangnya ke arah beberapa pasukan mu suh mengakibatkan sejumlah
orang dari mereka tewas. Namun, saat Habib kecapaian dalam bertahan dan
menyerang, hantaman pedang musuh lolos dari tangkisannya dan langsung mendarat
di bagian kepalanya. Habib ter jerembab dari atas kuda. Dalam keadaan lunglai,
Habib mencoba bangkit bertahan. Namun, berdirinya Habib segera disusul dengan
ayunan pedang Hisshin yang menghantam kepala Habib lagi. Sahabat setia Imam
Husain as ini roboh dalam kondisi mengenaskan. Tak puas dengan itu, Hisshin
datang la gi dan memenggal kepada Habib hingga terpisah dari jasadnya.
Kejadian ini
menimbulkan sedikit percekcokan antara beberapa orang yang mengeroyok Hisshin.
Mereka satu dengan yang lain saling ber bangga seba gai orang yang paling
berjasa membunuh Habib. Tetapi mereka kemudian sepakat menyerahkan kepala Habib
kepada Hisshin dan menggantungnya ke leher kuda Hisshin. Kepala manusia mulia
dipertontonkan ke sana kemari oleh Hisshin, dan Hisshin pun mendapat imbalan
dari atasannya.
Periwayat juga
menceritakan, di medan pertempuran Habib bin Madhahir sempat menyerukan
kata-kata lantang kepada musuh :
"Hai
manusia-manusia yang paling bejat! Demi Allah, seandainya jumlah ba latentara
kami setara dengan jumlah kalian atau setidaknya separoh dari jumlah kalian,
niscaya kalian akan lari tunggang-lang gang."
Kematian Habib bin Madhahir membuat Imam Husain as tak
kuasa menahan haru. Wajah beliau tampak sangat berduka menyaksikan gugurnya
peme gang tiang bendera sayap kiri pasukan beliau. Ke pergian Habib ke alam ba ka
diiring kata-kata beliau: "Pahala Allah un tukmu, hai Habib! Engkau adalah
manusia penuh keutamaan dimana dalam satu malam engkau mengkha tamkan
AlQuran."
Imam Husain as kemudian memerintahkan Zuhair bin
Al-Qain, Said bin Ab dullah untuk berbaris di depan Imam Husain bersama separuh
pasukan be liau yang masih tersisa untuk mengawal shalat beliau bersama separuh
pasukan dan pengikut Imam Husain as lainnya, karena pasukan musuh nam pak tidak
mengizinkan beliau shalat.
Kekejaman musuh keluarga Nabi saww itu ternyata tak
kenal waktu. Said bin Abdullah yang berdiri tepat di depan Imam Husain as menja
di sasaran be berapa anak panah. Tak urung, pria pemberani ini gugur setelah
menjadi pe risai hidup Imam Husain as. Dia roboh tepat di de pan mata
junjungannya yang suci itu. "Ya Allah, laknatlah golongan (musuh)
itu seperti (laknat-Mu ter hadap) kaum 'Aad dan Tsamud." Ucap Imam
Husain as.
Pembantaian terhadap Said hingga gugur itu tidak dilanjutkan
musuh se hingga Imam Husain as melanjutkan shalat hingga tuntas. Seusai shalat,
Imam kembali menyiramkan semangat jihad kepada para pengikutnya. Be liau antara
lain berkata:
"Pintu-pintu surga telah terbuka, angkasanya
cerah, buah-buahan nya telah matang, istana-istananya sudah berhias, anak-anak
dan para bidadarinya sudah berkumpul. Rasulullah dan para syuhada yang gugur
bersamanya serta ayah dan ibuku sedang menantikan kedatangan kalian. Mereka
mengucapkan selamat kepada kalian. Mereka merindukan kalian".
"Belalah agama
kalian! Belalah kehormatan Rasulullah, imam kalian, dan pu tera dari puteri
Nabi kalian sebab kalian sebenarnya sedang diuji dengan ke beradaan kami.
Kalian ada di sisi kakek kami dan kalian akan menjadi ma nusia mulia di sisi
kami. Maka ber jihadlah kalian, niscaya Allah akan memba las kalian dengan
kebaikan." (Siapapun yang mendengar seruan ini tidak a da manusia yang
tidak mau ikut bersama Imam Hussein kecuali orang-orang yang telah tertutup
matahatinya disebabkan ‘penyakit’ fanatikbuta, hsndw sp)
Para sahabat Imam
Husain as tak kuasa menahan gejolak dan koba ran se mangat sekaligus rasa haru
mendengar kata-kata beliau. Mere ka menangis tersedu-sedu, dan sebagian
menjerit histeris. Diantara mereka ada berseru mewakili yang lain.
"Demi
Allah." Seru seseorang dari mereka. "Selagi hayat masih di kandung ba
dan, jasad kami siap menantang hujaman pedang dan serbuan anak panah agar tak
seorangpun dapat menyakitimu sedikitpun, agar kami dapat men jauhkanmu dari
barisan musuh yang datang menyerang hingga kami akhir nya meneguk kematian.
Kebaikan yang dicari oleh seseorang hari ini akan lah kekal pada esok
hari…"
Para pahlawan
Karbala itu akhirnya terjun ke medan laga dan bahu mem bahu membela
junjungannya dari kebejatan kaum zalim. Selagi tenaga ma sih tersisa mereka tak
membiarkan siapapun untuk menja mah kehormatan cucu Rasul itu. Bahkan para
pengikut Imam Husain as dari kalangan non- Bani Hasyim tidak membiarkan
seorangpun dari Bani Hasyim yang terjun ke medan laga melawan musuh sebelum
mereka sendiri yang maju. Kehidupan mereka di alam fana ini satu persatu redup.
Arwah mereka terbang susul me nyusul.
Zuhair bin Al Qain adalah salah satu dari mereka.
Selain pemberani, dia juga termasuk salah satu pemuka kabilahnya. Tak sedikit
pepe rangan yang pernah dialaminya. Karena itu, kepadanyalah Imam Husain as
menyerahkan tongkat komando sayap kanan. Banyak kor ban dari pihak musuh yang
jatuh bergelimpangan akibat kehebatan nya dalam bertempur. Siapapun yang
berhadapan dengannya pasti akan tersungkur. Karena itu tak sembarang orang yang
berani berha dapan dengannya kalau tidak ingin segera dikirimnya ke neraka. Se
mua pasukan musuh baru berani menghadapinya saat dia sudah tam pak letih
menerjang musuh yang terus mengerubunginya. Saat itulah, seseorang dari pihak
musuh yang bernama Katsir bin Abdullah berani menyerangnya. Itupun dengan
bantuan temannya, Muhajir bin Us. Serangan kedua orang inilah yang akhirnya
merobohkan Zuhair. Ro bohnya pendekar beriman ini diiringi ucapan Imam Husain:
"Allah merahmatimu, hai Zuhair. Pembunuhmu akan
mendapat lak nat seba gaimana laknat atas orang-orang yang dikutuk menjadi kera
dan babi."
Satu lagi diantara pasukan Imam Husain as yang gugur
di sahara Karbala yang tandus itu adalah Jaun, lelaki berkulit hitam. Dia
adalah budak Abu Dzar yang sudah dibebaskan. Dia adalah termasuk orang yang
meminta sendiri kepada Imam untuk turut serta dalam rombo ngan beliau dengan
resiko apapun, termasuk berjihad melawan musuh. Menjawab permintaan ini Imam
Husain as berkata: "Dulu selagi sehat kamu selalu bersama kami, dan sekarang
terserah kamu kemanapun kamu hendak pergi."
Jaun berkata:
"Hai Putera Rasul, dulu aku bersamamu di saat keada an se dang baik dan
menggembirakan. Kini, apakah adil jika aku membiarkanmu sendirian dalam
kesulitan?! Demi Allah, bau tubuh ku tidak sedap, aku lahir dari keturunan yang
hina, dan warna kulit ku hitam. Namun, apakah engkau tidak rela jika aku
menjadi peng huni surga sehingga aroma tubuhku harum semerbak, jasmaniku tampak
mulia, dan wajahnya putih?! Tidak, demi Allah aku tidak ingin berpisah denganmu
sampai darahku yang kelam ini melebur dengan darahmu."
Dengan restu Imam
Husain as di Karbala, bekas budak itu ikut berjuang mela wan musuh. Seperti
rekan-rekannya yang lain, dia juga berhasil merenggut nyawa beberapa orang dari
balatentara musuh sebelum tubuhnya yang hitam itu akhirnya menjadi onggokan
tanpa nyawa di tanah Karbala. Dia berhasil menggapai impiannya membela keluarga
Rasul untuk kemudian ber gabung dengan mereka sebagai para 'bangsawan' di alam
surga.
Demikianlah, para pahlawan pembela Islam dan Ahlul
Bait suci itu bergugu ran satu persatu. Darahnya telah menyiramkan
cahaya spiritual yang terang benderang di bumi Karbala, bumi duka nestapa.
Jasad-jasad mereka yang fana memang sudah tergolek tanpa nyawa seperti yang
diharapkan musuh. Namun, jejak-jejak spiritual mereka akan tetap abadi dan
tidak akan pernah sirna untuk selamanya.
BAB 11
BANJIR DARAH HARI
ASYURA
Untuk sementara
kalangan, hari Asyura saat itu adalah hari jihad, pengorba nan, dan perjuangan
menegakkan kebenaran. Namun, untuk kalangan lain, hari itu adalah hari pesta
darah, hari perang, dan hari penumpahan ambisi-ambisi duniawi. Akibatnya,
terjadilah banjir darah para pahlawan Karbala yang terdiri anak keturunan Rasul
dan para pecintanya.
Hari itu tanah
Karbala sedang diguyur sengatan terik mentari yang menge ringkan tenggorokan
para pahlawan Karbala. Hari itu, para pejuang Islam sejati itu satu persatu
bergelimpangan meninggalkan sanjungan sejatinya, Husain putera Fatimah binti
Muhammad saww. Bintang kejora Ahlul Bait Rasul ini akhirnya menatap pemandangan
sekelilingnya. Wajah-wajah
setia pecin ta keluarga suci Nabi itu sudah tiada. Dari para pejuang gagah
berani itu yang ada hanyalah onggo kan jasad tanpa nyawa. Putera Amirul
Mukminin sejati itu melantunkan kata mutiaranya:
"Akulah putera Ali dari Bani Hasyim, dan cukuplah
kiranya ini menjadi ke banggaan bagiku. Fatimah adalah ibundaku, dan Muhammad
adalah kakek ku. Dengan perantara kamilah Allah menunjukkan kebenaran dari
kesesa tan. Kamilah pelita-pelita Allah yang menerangi muka bumi. Kamilah
pemilik telaga Al-Kautsar yang akan memberi minum para pecinta kami dengan
cawan-cawan Rasulullah. Tidak seorangpun dapat mengingkari kedudukan kami
ini".
"Para pengikut kami adalah umat yang paling mulia
di tengah makhluk, dan musuh-musuh kami adalah orang paling rugi pada hari
kiamat. Beruntunglah hamba-hamba yang dapat berkunjung kepada kami di surga
setelah kema tian, surga yang keindahannya tak kunjung habis untuk
disifati."
Hari Asyura adalah hari pementasan duka nestapa Ahlul
Bait Rasul, hari rinti han sunyi putera Fatimah, hari keterasingan putera
Azzahra, hari kehausan dan jerit tangis anak keturunan Nabi. "Adakah
sang penolong yang akan menolong kami? Adakah sang pelindung yang akan
melindungi kami? Adakah sang pembela yang akan menjaga kehormatan
Rasulullah?" Pinta putera Imam Ali bin Abi Thalib as itu kepada ummat
kakeknya, Muhammad saww.
Rintih pinta cucu
Rasul itu tak dijawab kecuali oleh beberapa pemuda Bani Hasyim yaitu keluarga,
kaum kerabat dan pengikut beliau yang masih tersisa. Diantara mereka adalah Ali
Akbar, putera beliau sendiri. Ali Akbar meminta izin sang ayah untuk maju
melawan musuh. Sang ayah mendapati wajah anaknya itu dibinari cahaya spiritual
yang amat cemerlang, mengingatkan beliau pada wajah Rasul. Wajah memohon itu
direstui tatapan bisu sang ayah. Hanya linangan air mata dan tak sepatah
katapun terucap sebagai kata perpisahan untuk pemuda ksatria itu di alam fana.
Demi tujuan sebuah yang agung, Imam Husain as itu harus rela mengorbankan jiwa
dan raga putera yang sangat dikasihinya.
Demikianlah, Imam
Husain as akhirnya mempersembahkan putera tercinta nya, Ali Akbar, sebagai
pejuang pertama Bani Hasyim di Karbala. Dalam per tempurannya, Ali Akbar selalu
beliau perhatikan dengan seksama dan pe nuh ketabahan. Dalam keadaan berlinang air mata, imam Husain as beru
cap:
"Ya Allah, saksikanlah seorang remaja yang paras,
perangai, dan tutur kata nya paling menyerupai rasul-Mu kini telah tampil berju
ang melawan kaum itu. Kepada wajah remaja inilah kami meman dang jika kami
sedang merin dukan rasul-Mu."
Imam Husain as kemudian berseru kepada Umar bin Sa'ad:
"Hai putera Sa'ad semoga Allah memutuskan
hubungan kekeluargaanmu se bagaimana kamu telah memutuskan hubungan
kekeluargaanku."
Ali Akbar bin Husain as sudah ada di medan laga. Tanpa
di duga pasukan musuh, mereka tercengang menyaksikan kepiawaian Ali Akbar dalam
berpe rang. Gerakan dan ketangkasannya dalam bertem pur mengingatkan me reka kepada
Haidar Al-Karrar alias Imam Ali bin Abi Thalib as yang tenar de ngan Singa
Allah. Tak
sedikit pasukan musuh yang mati menjadi mangsa sam baran pedang Ali Akbar. Na
mun, saat tenaganya sudah terkuras dan jumlah musuh seakan tak berkurang, Ali
Akbar sempat mendatangi sang ayah dan berkata: "Ayah, aku tercekik
kehausan sehingga (senjata) besipun kini mem beratkanku. .."
Imam Husain as menjawab:
"Tabahkan dirimu, hai puteraku tercinta.
Sesungguhnya Rasulullah tak lama la gi akan memberimu minum yang akan membuatmu
tidak akan pernah lagi merasa kehausan."
Remaja berhati baja
itu akhirnya kembali lagi ke medan laga. Namun, kea daannya yang sudah nyaris
tanpa daya itu segera dimanfaatkan musuh untuk menghabisi riwayatnya. Maka dari
itu, kedatangannya disambut de ngan hantaman pedang tepat mengena di bagian
atas kepala Ali Akbar. Darahnya yang mengucur segera disusul dengan sambaran
anak panah yang menusuk tubuhnya secara bertubi-tubi. Dalam kondisi fisik yang
me ngenaskan itu, bibir Ali Akbar mengucapkan kata-kata yang dimaksudkan kepada
ayahnya:
"Sekarang aku
sudah melihat kakekku yang sedang membawa cawan yang beliau persiapkan
untukmu."
Ali Akbar lalu
tergolek di atas kudanya yang berputar-putar ke sana kemari setelah kehilangan
kendali di tengah riuhnya suasana perang. Tubunnya yang sudah mengenaskan itu
masih sempat dihantam senjata dan dipanah lagi saat kuda yang tak terkendali
itu bergerak di sekitar pasukan musuh. Di saat-saat itulah, sambil memanfaatkan
sisa-sisa tenaga dan nafasnya, Ali Ak bar berucap lagi:
"Salam atasmu
wahai ayahku, sekarang aku sudah menyaksikan kakekku Rasulullah. Beliau
menyampaikan salam kepadamu dan bersabda: 'Cepat lah datang kepada kami!'"
Kata-kata yang
didengar Imam Husain as ini segera disambut dengan kata-kata lantang beliau:
"Allah akan
membinasakan kaum yang telah membunuhmu!"
"Hai
orang-orang Kufah, aku berharap mata kalian kelak akan dipedihkan o leh
tangisan, dada kalian akan dibebani rintihan untuk selamanya, dan Allah tidak
memberkati kalian, dan Dia akan men cerai beraikan kumpulan kali an."
Setelah memekikkan
kutukan ini, Imam Husain as maju sendiri ke medan pe rang menerobos dan
membubarkan barisan depan musuh. Beliau mendekati kuda Ali Akbar dan
menggiringnya ke tempat yang aman lalu menurunkan tubuh penuh luka dan bermandi
darah puteranya itu dari kuda. Tubuh suci direbahkan dalam pelukan hangat
beliau. Di situ dada Ali Akbar ternyata masih bergerak. Setelah kelopak matanya
terbuka perlahan, bibirnya beru cap:
"Ayahku yang
mulia, aku sudah melihat pintu-pintu langit terbuka, para bida dari di surga
sedang berkumpul sambil membawa cawan-cawan minuman dan memanggil-manggil
diriku. Sekarang aku akan pergi ke sana dan mem binarkan wajah mereka yang
merindukan kedatanganku itu…"
(hsndwsp:
"Mata hati siapakah yang tidak akan terbuka untuk memikirkan kebenaran
para Imam dan pengikut setianya, kecuali mata hati kaum fana tikbuta"
Ruh Ali Akbar
melayang setelah jasadnya menghembus nafas terakhir. Ke pergiannya ke alam
keabadian diantar ayahandanya yang mulia itu de ngan kata-kata:
"Adalah
sesuatu yang berat bagi kakekmu, pamanmu, dan ayahmu untuk tidak memenuhi
permohonanmu".
Imam Husain as
membawa jasadnya yang penuh luka bacokan dan menjadi sarang anak panah itu ke
arah perkemahan. Hazrat Zainab segera keluar dari dalam tenda dan menyambut
jasad itu dengan jerit tangis dan ratapan. Jasad itu dipeluknya erat sambil
meratap: "Oh kemenakanku. Oh putera kesayangku." Imam Husain as
mengantarkan adiknya itu ke dalam kemah orang-orang perempuan lagi lalu kembali
memeluk jasad Ali Akbar sambil berucap:
"Puteraku,
engkau sudah beristirahat dari kegundahan dan kegeti ran hidup di dunia. Kini
tinggallah ayahmu seorang diri."
Imam Husain as
lantas memerintahkan para pemuda Bani Hasyim untuk membawa jasad suci yang
tercabik-cabik itu ke dalam tenda tempat jasad para syuhada dikumpulkan. Jasad
putera kesayangan Imam itu diusung diiringi dengan kata-kata beliau
berkali-kali:
"Innaa
lillaahi wa innaa ilahi raaji'uun."
Dengan hati pilu
putera Ali bin Abi Thalib as ini berkata dengan nada tinggi kepada Umar bin
Sa'ad:
"Tahukah kamu
apa yang akan terjadi nanti denganmu? Allah pasti akan membinasakan keluarga
dan keturunanmu sebagaimana kamu membinasa kan keluargaku, sebagaimana kamu
tidak mengindahkan kekerabatanku dengan Rasulullah. Allah tidak akan mem
berkahimu. Allah akan menguasa kan atasmu seseorang yang akan memenggal
kepalamu di atas tempat tidurmu!"
Satu lagi diantara
ksatria Karbala dari kerabat Rasul yang berdiri teguh melawan badai bencana
dengan segala jiwa dan raga ialah Abdullah bin Muslim bin Aqil. Dia termasuk
prajurit yang meminta sendiri kepada Imam Husain as untuk angkat pedang melawan
musuh. Imam menjawab:
"Masih belum
lama ayahmu Muslim gugur sebagai syahid. Aku akan mengi zinkanmu berperang jika
kamu membawa ibumu yang sudah tua itu keluar dari suasana pertempuran
ini."
Abdullah bin Muslim
menjawab:
"Ibuku pasti
siap berkorban untukmu, dan aku sendiri bukanlah orang yang mengutamakan
kehidupan di dunia daripada kehidupan yang abadi di akhi rat. Aku memohon
restumu untuk mengorban jiwaku di jalanmu."
Sang Imam suci dan
agung itupun kemudian merestuinya. Maka, dengan jiwa yang besar dan tak kenal
kata gentar, Abdullah maju ke medan laga dengan tatapan yang tajam ke arah
musuh yang bergerombol bak srigala kelaparan. Di tengah kerumunan
manusia-manusia srigala padang pasir itu, Abdullah bin Muslim mengamuk bak
singa sahara. Pedangnya berkelebat-kelebat memangkas nyawa manusia-manusia tak
berperasaan dari Kufah itu. Beberapa serdadu bergelimpang diterjang keperkasaan
Abdullah yang mewarisi darah kependekaran ayahnya, sebelum kemudian dia sendiri
tak berdaya melawan prajurit iblis yang menyemut itu. Putera Muslim bin Aqil
ini gugur di tangan Amr bin Sabih Assaidawi dan Asad bin Malik.
Berakhirnya legenda
kependekaran Abdullah disusul dengan tampilnya satu lagi putera Muslim,
Muhammad. Sebagaimana Abdullah, Muhammad juga meneguk manisnya derajat syahadah
di bumi gersang Karbala itu.
Dikisahkan pula
dalam sejarah bahwa di hari yang paling na'as untuk anak keturunan dan kerabat
suci Rasul itu, Hazrat Zainab Al-Kubra as sempat mengenakan baju baru kepada
kedua puteranya, Muham mad dan 'Aun, sebelum kemudian menyerahkan pedang kepada
mereka sambil menahan jerit hati yang pilu di dalam hati. Dengan linangan air
mata, wanita suci, pemberani, dan mulia ini meminta restu kepada kakaknya
supaya kedua puteranya itu ikut memper sembahkan jiwa dan raganya di jalan
Allah. Imam Husain
as tadinya masih ingin menahan keberadaan kedua putera itu. Namun, keingi nan
itu luluh setelah Hazrat Zainab tetap mendesak beliau supaya mengizinkan
kepergian mereka. Imam lantas merestui kepergian ke
dua kemenakan yang dikasihinya itu.
Yang maju terlebih
dahulu adalah Muhammad bin Abdullah bin Jakfar. Se perti syuhada sebelumnya,
Muhammad jatuh dan gugur se telah menghabisi ajal sejumlah serdadu musuh.
Setelah itu baru me nyusullah 'Aun bin Abdullah bin Jakfar. Dalam keadaan
bertahan dan menyerang pasukan musuh, dia mencoba mendekati jasad saudaranya
yang sudah tak bernyawa itu lalu berkata: "Saudaraku, nantikan aku yang
tak lama lagi akan menyusulmu."
Benar, tak lama
setelah itu 'Aun menyusul kepergian saudaranya ke alam keabadian setelah
tubuhnya mendapat serangan telak dari seseorang Abdullah bin Qathanah. Arwah
kedua putera Hazrat Zainab itu terbang tinggi bak dua merpati menuju kerimbunan
taman-taman surgawi.
Diriwayatkan pula
bahwa dua kakak beradik dari putera-putera Mus lim bin Aqil juga tampil ke
medan laga. Mereka adalah Abdurrahman bin Aqil dan Jakfar bin Aqil. Kedua
tampil untuk mempersembahkan jiwa dan raganya di jalan yang hak. Keduanya
kemudian disusul lagi oleh Muhammad bin Abi Said bin Aqil yang juga tampil
dengan lang kah mantap untuk menerjang pasukan iblis hingga titik darah pengha
bisan, titik darah yang terukir abadi dalam prasasti sejarah heroisme dan duka
nestapa perjuangan Ahlul Bait Nabi demi tegaknya agama Muhammad saww.
Insya Allah,
bersambung.......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar